FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]()
Semangat memperbaiki diri terasa begitu menggelora saat ruh kita baru "di-charge" melalui ibadah haji, umroh, pelatihan ESQ, muhasabah, perjalanan qolbu, wisata ruhani, dll. Seorang muslim, memang, tidak boleh putus asa dari ampunan dan rahmat Allah SWT. Tapi itu tidak berarti ia boleh meremehkan dosa sekecil apapun. Boleh jadi proses perbaikan diri dan pengharapan akan ampunan Allah menjadi sia-sia karena kecerobohan diri sendiri. Karenanya, berbagai penghalang yang bisa menghambat proses perbaikan diri harus di jauhi. Setidaknya ada 5 sikap yang harus dijauhi:
1. Menganggap enteng dosa. Hati yang tidak gundah dan tidak merasa takut melakukan dosa. Perasaan ini merupakan buah kebodohan seseorang terhadap kemahakuasaan Allah. Allah yang menciptakan manusia dengan bentuk yang paling bagus, yang menundukan isi langit dan bumi baginya, yang melimpahkan nikmat lahir dan batin, dan Ia dapat berbuat apapun menurut kehendak-Nya. Kedurhakaan sekecil apapun terhadap Allah SWT tentu tidak mungkin diremehkan. Rasulullah saw bersabda, "Orang mukmin itu memandang dosanya seperti gunung yang seolah akan menimpahnya. Sedangkan orang munafik itu melihat dosanya seperti lalat yang lewat di atas hidungnya. Lalu ia menepisnya agar terbang." (HR. Bukhari) 2. Anggapan bahwa hidup masih panjang. Kematian masih jauh, masih banyak kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena itu sisa hidupnya masih digunakan untuk melakukan hal yang sia-sia, mengumbar hawa nafsu, memperbanyak tidur, menunda-nunda amal, dan mengikuti jalan syetan. Padahal tidak ada yang pernah tahu tapal batas usia seseorang. Kematian tidak pernah minta izin untuk datang. Relakah engkau, jika melihat orang lain membawa bekal, sementara engkau sama sekali tidak membawa bekal? Begitu bunya salah satu syair salaful shalih tentang kekawatiran datangnya maut. 3. Terlalu optimis mengandalkan ampunan Allah. Sikap berlebihan seperti ini seperti sikap golongan Yahudi yang disinggung dalam Al-Qur'an, "Mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini dan berkata, kami akan diberi ampun". (QS. Al-Araf:169). Siapa yang menjamin bahwa Allah akan memberi ampun? Allah akan mengampuni siapapun yang dikehendaki, dan akan menolak ampunan siapapun yang ia kehendaki. "Siksa-Ku akan kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu." (QS.Al-Araf:156). Rahmat Allah tak datang dengan sendirinya melainkan harus dengan ketaatan yang bisa mendekatkan pelakunya kepada rahmat itu sendiri. 4. Jauh dari Al-Quran. Al-Quran adalah petunjuk hidup sekaligus syifa bagi manusia. Al-Quran, melalui tafsirnya, memberikan guidance bagaimana seorang muslim harus hidup dan bersikap. Lantunan ayatnya akan menggetarkan jiwa orang-orang yang senantiasa ingin memperbaiki diri. Sensitivitas getaran ini akan semakin kuat dalam memotivasi setiap amal shaleh dan menenangkan jiwa mereka. Namun, getaran ini juga akan melemah seiring dengan sikap kita yang jarang berinteraksi dengannya. Bagaimana mungkin seseorang ingin memperbaiki diri tapi lebih sering membaca koran daripada Quran? Mungkin perbuatan kriminal dan nafsu menguasai dunia akan lebih menggerakan hatinya daripada melakukan amal shaleh. 5. Berteman dan bergaul dilingkungan yang tidak kondusif. Hati manusia sangat terpengaruh oleh lingkungannya. Seseorang yang bertekad memperbaiki diri sudah seharusnya meninggalkan lingkungan yang rusak, lalu mencari lingkungan dan komunitas yang bisa memberikan pengaruh baik bagi hati dan jiwanya. Tanpa itu perbaikan diri tidak akan berjalan baik, karena bisa dipastikan seseorang merasa sangat sulit untuk berubah. Semangat perbaikan diri Seharusnya selalu menyala Dalam jiwa setiap muslim Karena Allah tidak pernah menutup pintu taubat, Sebelum nyawa seseorang sampai di tenggorokan. Ampunan Allah jauh lebih luas dari dosa-dosa hamba-Nya |
![]() |
|
|