TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Partai Hanura Wiranto menyatakan, pemerintah harus konsisten pada ambang batas parliamentary threshold bila ingin menyederhanakan jumlah partai. Hal ini dikatakan Wiranto saat menjadi pembicara dalam mentoring session bertema �Political Mind: Membangun Demokrasi yang Sehat, Mungkinkah Partai Politik di Indonesia Dikurangi?� di kantor Ary Suta Center, Jl. Prapanca, Jakarta, Kamis (13/1).
Menurut Wiranto, ambang batas yang ditentukan pemerintah dalam beberapa Pemilu terakhir berubah-ubah. Pada Pemilu 1999 dan 2004, ambang batas ini dibuat dengan menggunakan ukuran electoral threshold (ET). Sedangkan pada Pemilu 2009, ambang batas menggunakan parliamentary threshold (PT) yang besarnya 2,5 persen. Untuk Pemilu 2014, kemungkinan akan berubah besaran parliamentary threshold-nya.
Suara partai di DPR, kata Wiranto, saat ini pecah menjadi tiga kutub soal besaran ambang batas di parlemen. Partai Golkar dan PDIP menginginkan PT berada di angka 5 persen. Sedangkan di kutub kedua ada Demokrat yang menginginkan 4 persen, yang kemungkinan bisa ditawar menjadi 3 persen. Partai lainnya, seperti PKS, PPP, PKB, PAN, Gerindra, dan Hanura, berada di kubu yang masih menginginkan PT di angka 2,5 persen.
Dalam pandangan Wiranto, PT yang realistis berkisar antara 2,5 persen sampai 4 persen. Dengan penetapan ambang batas seperti ini, maka jumlah partai akan menjadi sekitar 5 sampai 8. Bekas Panglima TNI menilai, jumlah partai tersebut cukup memadai guna mengawal demokrasi di Indonesia. Ia menertawakan fenomena jatuh bangunnya partai di negara ini. Partai yang tidak lolos seleksi bukannya bubar, tapi malah membuat partai baru alias hanya berganti nama. �Harusnya bubar saja,� kata bekas KSAD ini.
Ia menilai bahwa partai-partai politik di Indonesia lahir karena alasan pragmatis. Dampaknya, partai gagal menjalankan misi politik, melakukan kaderisasi kepemimpinan dan pendidikan politik rakyat. Wiranto mengakui bahwa kelahiran partainya, Hanura, merupakan jalan tengah antara kepentingan pragmatis dan misi idealis.
Wiranto menjelaskan, proses penyederhanaan partai politik yang dilakukan dari era pemerintahan Presiden Soekarno sampai Soeharto menggunakan jalan fusi. Tapi, peleburan partai itu terjadi lebih karena kehendak pemerintah, bukan keinginan rakyat. Situasinya sangat berbeda di masa sesudah era dua presiden itu, di mana pemerintah tak bisa lagi memaksakan dengan jalan yang sama.
Pada tahun 1999, ada 48 partai yang menjadi peserta Pemilu, dari 181 yang mendaftar. Tahun 2004, 24 partai menjadi peserta Pemilu dari 234 pendaftar. Dan tahun 2009, terdapat 38 partai peserta Pemilu dari 123 yang mendaftar.
Pakar Hukum Tata Negara Adnan Buyung Nasution, yang juga hadir di acara itu mengatakan, ia adalah salah satu orang yang bisa disalahkan atas banyaknya partai politik dalam pemilihan umum tahun 1999. Tapi dia menambahkan, jumlah partai yang banyak sebenarnya tak masalah. "Biar Pemilu yang menyeleksi,� katanya.