FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Assalamu�alaikum dan salam sejahtera, Permisi teman-teman, saya nubie mau mencoba menulis postingan pertama. Dijamin tidak akan repost karena ini murni tulisan saya sendiri. Selamat menyimak. Kemacetan agaknya sudah dianggap bukan hanya masalah di Jakarta, tetapi sudah menjadi bagian dari Jakarta itu sendiri. Hampir setiap hari dan sepanjang hari ruas-ruas jalan di Jakarta dipadati kendaraan, bahkan jalan tol sekalipun. Berbagai pihak kemudian melontarkan solusi, yang kadang dibarengi dengan sikap menyalahkan pihak lain, terutama pemerintah. Ada yang mengatakan seharusnya pemerintah bisa membangun jalan baru dengan cepat untuk mengimbangi pertumbuhan kendaraan bermotor. Tetapi, solusi ini terasa mahal karena membangun jalan membutuhkan biaya yang banyak, apalagi jalan layang (fly over). Ada pula yang mengatakan transportasi massal harus diperbanyak. Ini diterjemahkan pemerintah Jakarta dengan meluncurkan busway yang sayangnya mengambil jalur jalan yang sudah ada. Akibatnya kemacetan bukannya berkurang tetapi makin menjadi-jadi. Saya punya pandangan sendiri mengenai masalah kemacetan. Sederhana saja. Jakarta itu macet karena jumlah kendaraan terlalu banyak. Dan jumlah kendaraan terlalu banyak karena penduduk di Jakarta terlalu banyak. Luas Jakarta tidak bertambah, 650 km persegi, tapi jumlah penduduknya sudah 12 juta. Bayangkan jika rumah kalian yang tadinya hanya diisi 4 atau 5 orang tiba-tiba harus diisi 20 orang. Tentu sumpek rasanya. So, solusinya adalah, kurangi jumlah penduduk Jakarta. Caranya? Kembalikan penduduk Jakarta yang berasal dari daerah untuk kembali ke daerahnya masing-masing. Tentu ini tidak dilakukan dengan metode pengusiran, tetapi dengan cara yang santun dan terorganisir. Cara ini dapat dimulai dengan pendataan atas semua penduduk Jakarta yang ingin kembali ke daerah, entah itu mereka yang menjadi pegawai pemerintah, swasta, sampai mereka yang bekerja di sektor informal. Nah, setelah itu, masalah selanjutnya adalah bagaimana mereka mendapat pekerjaan jika pindah ke daerah. Untuk pegawai di pemerintahan atau perusahaan, hal tersebut dapat dibicarakan dengan instansi tempatnya bekerja. Bukan tidak mungkin si pegawai merasa tidak nyaman di Jakarta sementara instansi cabang di daerah memerlukan tambahan pegawai. Untuk mereka yang bekerja di sektor informal, koordinasikan dengan pemda setempat sehingga mereka punya tempat usaha. Sektor informal di sini misalnya pedagang (tidak termasuk pengemis, pengamen, ataupun pelaku kriminal). Kemudian, bagaimana dengan penduduk yang (maaf) berada di bawah garis kemiskinan dan memiliki pekerjaan kelas �rendah� ? Menurut saya, salah satu solusinya adalah transmigrasi. Ya, mungkin kalian semua sudah lupa atau melupakan istilah itu. Tapi tentu saja transmigrasi yang saya maksud di sini adalah transmigrasi yang �beradab�. Dengan segala hormat kepada Bapak/Ibu yang bekerja di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, saat ini Anda tampaknya terlalu sibuk mengurusi tenaga kerja kita yang bermasalah di luar negeri, itupun tidak selesai-selesai. Transmigrasi tampaknya menjadi anak tiri. Transmigrasi sekarang ini ibarat misi bunuh diri : masuk hutan, diberi rumah yang kurang layak, minim fasilitas umum, dan tidak dibantu untuk bersosialisasi dengan penduduk setempat. Jadi ya wajar kalau tidak ada yang mau bertransmigrasi. Padahal, transmigrasi sangat penting untuk pemerataan penduduk. Selama ini kita berkumpul di Jawa, khususnya Jakarta. Sementara, di luar sana, hutan-hutan dibabat sembarangan dan sumber daya alam kita disedot oleh perusahaan asing. Itu karena kita tidak �menanam� penduduk kita di sana. Upaya lainnya adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Oke, ini terdengar sok pintar dan sangat birokratis, tapi saya tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat. Dengan membangun pusat pertumbuhan, maka akan tercipta lapangan pekerjaan. Ini solusi jangka panjangnya. Kita perlu membuat penduduk di daerah tidak terjebak untuk buru-buru datang ke Jakarta tanpa bekal yang cukup, hanya karena mereka mendengar Jakarta itu serba enak (padahal sebenarnya tidak). Kalau di daerah tersedia lapangan kerja yang cukup dengan gaji yang wajar, saya yakin penduduk di daerah tidak akan merasa perlu ke Jakarta tanpa harus dilarang-larang (sampai dirazia segala). Terakhir, kita perlu ingat bahwa populasi yang terlalu tinggi di satu wilayah akan berdampak negatif di banyak hal. Tidak hanya kemacetan, tetapi juga masalah sosial (kriminalitas), kesenjangan ekonomi, bahkan masalah politik. Contohnya, selama ini pulau Papua adalah pulau terbesar di Indonesia, tapi minim perhatian. Kenapa? Salah satunya karena wakil di politiknya sedikit. Kenapa wakilnya sedikit? Karena jumlah penduduknya sedikit. Dan tampaknya pemerintah �malas� membangun di sana, karena untuk apa membangun di daerah yang penduduknya jarang-jarang. Pemerataan penduduk tidak hanya akan memberi manfaat untuk Jakarta, tetapi juga daerah lain. Sekian tulisan dari saya. Mohon maaf kalau terlalu panjang atau kurang menarik. Saya menunggu komen dari teman-teman sekalian, syukur-syukur dapat ![]() ![]() Wassalam. Terkait:
|
![]() |
|
|