FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Health Mencegah lebih baik dari mengobati. Cari tahu dan tanya jawab tentang kesehatan, medis, dan info dokter disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Awas Risiko Alergi Mengintai! Jumat, 24 Oktober 2008 | 17:43 WIB ALERGI sebagai bentuk reaksi menyimpang dari tubuh ternyata bisa menimpa siapa saja termasuk anak-anak. Kenyataannya, setiap orang memang memiliki risiko mengidap alergi meskipun tidak ada riwayat penyakit ini di dalam keluarga. Menurut dr Iris Rengganis SpPD-KAI, staf pengajar dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Alergi Immunologik Klinik, FKUI/RSCM, seseorang yang dalam keluarganya tidak mempunyai riwayat alergi setidaknya berisiko mengalami penyakit ini antara 10 hingga 15 persen. "Bilamana jumlah orang tua pengidap alergi tidak ada, kemungkinan anaknya untuk bisa alergi sekitar 10 sampai 15 persen ," ujarnya dalam media edukasi tentang alergi di Jakarta, Selasa (21/10) lalu. Risiko seorang anak mengidap alergi, lanjut dr Iris, akan jauh lebih besar apabila dipicu oleh hadirnya faktor genetika di mana salah satu atau kedua orangtuanya mengidap alergi. "Kalau salah satu orang tua ada yang alergi, kemungkinannya bisa mencapai 30 persen. Bilamana kedua orang tuanya alergi, risikonya menjadi hampir 50 persen," tegasnya. Ia menekankan pula, bila dalam sebuah keluarga ada beberapa anak, tidak semua anak memiliki risiko yang sama. "Tidak semua anak, tetapi bisa salah satu anak, atau dua dari tiga anak. Jadi tidak tergantung pada jumlah," tambahnya. Bentuk atau jenis alerginya pun menurut dr Iris tidak harus selalu identik atau sama dengan orang tuanya. Sebagai contoh, bila sang ibu mengidap alergi asma atau ayahnya alergi gatal karena udang, anaknya tidak harus selalu memiliki jenis alergi salah satu di antara alergi tersebut. Anak laki-laki Selain faktor keluarga, faktor jenis kelamin juga sedikit mempengaruhi risiko alergi pada anak. Menurut dr Iris, risiko alergi pada anak khususnya di bawah usia 12 tahun cenderung lebih besar dialami laki-laki ketimbang perempuan mengingat kematangan organ khusunya saluran pernafasan. "Saat masih di bawah 12 tahun, risiko perempuan mengalami alergi memang lebih sedikit daripada pria. Kenapa? Karena pada masa itu proporsi saluran pernafasan laki-laki belum begitu sempurna seperti wanita. Tetapi pada masa menjelang dewasa ketika dewasa, besar risikonya akan sama. Pada masa hamil, wanita yang punya asma kemungkinan bisa kambuh lagi karena dipicu faktor hormonal , meskipun tidak semua akan mengalaminya karena ini sangat individual," paparnya. Untuk menekan risiko alergi pada anak, dr Iris menyarankan untuk menghindarkan anak dari lingkungan atau suasana yang mencetuskan alergi. Karena dengan paparan yang terus menerus terhadap lingkungan yang banyak alergen, seseorang makin lama akan menjadi sensitif terhadap alergi. "Jadi dari kecil kita jangan dibiasakan dengan lingkungan alergi misalnya di rumah jangan terlalu banyak karpet, kasur kapuk atau benda-benda yang bersifat alergen. Makin kita cepat terpapar, makin mudah kita alergi. Jadi, lingkungan di rumah itu jangan dibikin rentan alergi dari kecil," jelasnya. Cetirizine, Antialergi Tak Bikin Berdebar Selasa, 21 Oktober 2008 | 19:37 WIB SALAH satu pengobatan yang dianjurkan dalam penanganan alergi adalah dengan pemberian obat antihistamin. Obat alergi di pasaran kini telah memasuki generasi kedua. Generasi terakhir ini diklaim memiliki keunggulan dari sebelumnya. Seperti dipaparkan Dr. Flora Amos, medical dari PT Bayer Indonesia dalam media edukasi bertajuk Jangan Abaikan Alergi di Jakarta, Selasa (21/10), obat antialergi generasi terbaru dengan bahan aktif Cetirizine Dihidroklorida terbukti lebih nyaman dan menguntungkan karena tak menimbulkan efek mengantuk sehingga tak mengganggu aktivitas pasien. "Generasi pertama (semisal CTM dan difenhidramin) biasanya menimbulkan rasa kantuk yang hebat serta memiliki dampak kurang nyaman pada pasien seperti jantung berdebar-debar," ungkapnya. Sedangkan antihistamin generasi kedua seperti cetirizine dan azelastine memiliki efek kantuk yang rendah pada dosis anjuran, tidak menimbulkan rasa berdebar-debar dan penggunaannya cukup sekali sehari. "Berbeda dengan antihistamin generasi pertama, antihistamin generasi terbaru umumnya bersifat mengurangi efek sedasi (rasa kantuk) dan sebagian lagi bersifat anti-inflamasi ringan," tambah Flora. Saat ini, lanjut Flora, obat antihistamin yang diproduksi oleh PT Bayer Indonesia dengan kandungan cetirizine dihidroklorida telah masuk ke dalam kategori Obat Wajib Apotek dari Badan POM sehingga dapat dibeli di apotek melalui resep dokter. Sediaannya saat ini terdiri dari kapsul yang mengandung cetirizine dihidroklorida 10 mg. Obat ini juga tersedia dalam bentuk sirup kemasan botol 60 ml, setiap 5 ml sirup mengandung cetirizine dihidroklorida 5 mg. "Cetirizine memang diindikasikan untuk pengobatan alergi seperti rinitis misalnya hidung meler atau bersin-bersin kalau pagi, atau juga utikaria atau biduran yang bila dalam suasana dingin atau kedinginan bisa timbul," ujarnya. Semantara itu Dr Iris Rengganis SpPD-KAI dari ahli dari Divisi Alergi Immunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM menyatakan cetirizine adalah obat yang relatif aman dan banyak direkomendasikan untuk alergi. "Berdasarkan pengalaman pirbadi, memakai cetirizine hingga 3 tahun sih aman-aman saja. Tapi tentu setelah itu kan orang tidak terus-terus dikonsumsi setiap hari. Tiga tahun juga kan tidak tiap hari. Awalnya bisa tiap hari, tapi pemakaian bisa jangka panjang, sewaktu kita perlu," terangnya. Untuk dosis dan pemakaian, penggunaan obat alergi cetirizine sebaiknya dikonsultasikan lebih dulu dengan ke dokter mengingat obat ini adalah obat resep. Tetapi setelah direkomendasikan oleh dokter, pasien biasanya boleh untuk kembali membeli resep yang sama sesuai anjuran. Alergi Jangan Dibiarkan! Selasa, 21 Oktober 2008 | 15:16 WIB KESADARAN masyarakat terhadap penyakit alergi saat ini relatif masih rendah. Banyak yang menganggap alergi hanyalah penyakit biasa, padahal alergi dapat menimbulkan beban biaya serta ancaman lebih besar bila dibiarkan dan tidak ditangani dengan tepat. "Walaupun alergi merupakan penyakit umum yang dijumpai di tengah masyarakat, sampai saat ini kesadaran terhadap penyakit ini masih rendah. Padahal, untuk mengatasi alergi diperlukan penanganan yang tepat sehingga tak menjadi beban dan menimbulkan penyakit lain yang lebih berbahaya," ungkap Dr. dr Iris Rengganis, Sp.PD KAI, ahli dari Divisi Alergi Immunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dalam media edukasi 'Jangan Abaikan Alergi' yang diselenggarakan Bayer Healthcare di Jakarta, Selasa (21/10). Dr Iris menerangkan, alergi janggan dianggap sepele karena berpotensi memicu penyakit lain dari mulai yang kronis semisal asma, hingga yang bersifat fatal dan mematikan seperti anafilaksis syok atau Steven Johnson Syndrome yang timbul akibat alergi pada obat. "Alergi obat ini memang yang paling kita takutkan. Ini memang menjadi dilema dan paling sering ditakuti oleh para dokter," ujarnya. Alergi, lanjutnya, juga dapat menimbulkan beban dan biaya yang besar bagi apabila pasien tidak melakukan penanganan yang tepat. "Pertimbangan pengobatan sangat penting karena biaya yang dikeluarkan akan sangat besar bila alergi dibiarkan," ujarnya Dalam pengelolaan penyakit alergi, penderita dapat melakukan berbagai upaya mulai dari menghidari pemicu alergi (alergen), mencari dan mendapatkan informasi tentang alergi lewat kegiatan edukasi dan penyuluhan, mendapat pengobatan yang tepat atau bahkan terapi kekebalan (immunoterapi). Lebih jauh, Dr Iris menjelaskan bahwa alergi merupakan suatu reaksi menyimpang dari tubuh berkaitan dengan peningkatan kadar imunoglobulin E (Ig E) yang merupakan suatu mekanisme sistem imun. Alergi adalah penyakit atau kelainan yang tidak menular tetapi kecenderungan seseorang mengalami alergi akan dipengaruhi dua faktor yaitu genetika (keturunan) dan lingkungan sebagai faktor eksternal tubuh. Hal itu merupakan salah satu penjelasan mengapa terjadi peningkatan peluang mendapat alergi. "Alergi terjadi karena adanya zat yang menimbulkan reaksi yang disebut alergen. Alergen dapat masuk dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan), percernaan (ingestan), suntikan (injektan) atau yang menempel pada kulit (kontaktan)," terangnya. Masuknya alergen ke dalam tubuh, kemudian akan memicu respon kekebalan tubuh (imun) membentuk antibodi yang berkaitan dengan alergen, dan hal inilah yang merangsang timbulnya reaksi alergi. Gejala-gejala alergi bisa berupa gatal-gatal, bersin-bersin, sesak napas dan lain-lain. Jenis alergi pun banyak macamnya. Dua jenis penyakit alergi yang sering dijumpai adalah alergi yang terkait dengan pernafasan seperti asma dan rinitis alergi (bersin dan pilek berulang terutama pada pagi hari) dan penyakit alergi yang terkait dengan kulit seperti urtikaria (gidu-biduran / kaligata), dermatitis atopik (eksem). Alergi rinitis biasanya ditandai dengan bersin-bersin, hidung terasa gatal, hidung berair atau tersumbat dan sukar bernapas, sedangkan pada mata akan terasa gatal, kemerahan dan berair. Bila penyakit ini dibiarkan, kemungkinan akan berkembang menjadi sinusitis. Urtikaria (gidu-biduran / kaligata) adalah kelainan kulit yang ditandai oleh bentol, kemerahan, dan gatal. Meskipun gejalanya merupakan manifestasi penyakit alergi, tetapi penyebabnya seringkali bukan karena alergen. Gejala khusus urtikaria biasanya terlihat bentol, kemerahan dan rasa gatal. Bila penyebabnya telah diketahui, misalnya dari makanan (seperti susu, telur, ikan laut, kacang-kacangan) maka pasien harus menghindari konsumsi makanan tersebut. Untuk menghindari alergi, Dr Iris berpesan agar masyarakat sedapat mungkin mengontrol lingkungannya sehingga tak membahayakan. "Misalnya menghindari tungau debu rumah seperti karpet, kapuk, bahan beludru pada sofa atau gordyn, ventilasi yang baik di rumah/ kamar, jauh dari orang yang sedang merokok, menghindari makanan yang diketahui sering menyebabkan alergi, seperti susu, telur, makanan laut, cokelat, serta menghindari kecoa dan serpihan kulit binatang peliharaan," ungkapnya. Alergi pada Usia Dewasa SAYA wanita berusia 36 tahun, sejak kecil menderita alergi (makanan laut, debu, dan udara). Selama SMP, SMA, dan kuliah, alergi saya tidak pernah kambuh lagi. Herannya sejak tahun 2003 alergi saya kambuh kembali. Saya telah memeriksakan diri ke dokter alergi hingga tahap tes alergi, penyuntikan, obat-obatan yang cukup banyak mengeluarkan biaya dan memang alergi banyak berkurang. Setelah tidak ke dokter lagi dan lepas dari obat, sampai sekarang saya masih kambuh meskipun gatal-gatalnya tidak sehebat dulu. Padahal, saya sudah berusaha mengurangi makan makanan atau hal lain yang menyebabkan alergi tersebut kambuh. Sekarang, seminggu sebelum/sesudah saya datang bulan alergi kambuh hingga mengakibatkan gatal-gatal pada kulit di bagian kaki, tangan, dan paha yang sangat mengganggu, terutama penampilan saya. Kenapa alergi tersebut bisa kambuh saat saya akan/selama datang bulan? Adakah hormon tertentu di dalam tubuh saya sehingga alergi kambuh? Apakah ada obat yg dapat menyembuhkan gatal-gatal pada saat akan/setelah datang bulan (haid)? Kenapa pada usia saya sekarang alergi masih kambuh, apa penyebabnya? Dokter alergi saya pernah bilang, seharusnya dengan usia sekarang alergi saya tidak kambuh kembali. Saya mohon penjelasan Dokter, jawaban dari dokter akan sangat membantu saya. Terima kasih T di J Alergi dapat mengenai segala usia. Memang di bidang alergi dikenal kaitan antara alergi dan usia. Alergi kulit pada dermatitis atopik bisanya timbul pada anak. Sedangkan asma acapkali mulai muncul juga pada usia anak, tetapi pada usia yang lebih tua. Bahkan jika anak mengalami alergi kulit bentuk dermatitis atopik, maka risiko mengalami asma di kemudian hari menjadi lebih besar. Pilek alergi timbul pada usia dewasa muda. Alergi yang Anda alami berupa gatal-gatal yang dalam istilah kedokteran disebut urtikaria. Sebenarnya penyebab urtikaria banyak. Salah satunya adalah alergi. Pencetus urtikaria dapat berupa makanan, obat, udara dingin, atau panas. Tetapi, urtikaria juga mungkin disebabkan hormon seperti yang Anda alami. Anda pernah mengalami alergi sewaktu kecil, artinya Anda termasuk penderita atopi (punya kecenderungan terhadap alergi). Keluhan urtikaria muncul kembali dapat disebabkan karena faktor alergi atau juga mungkin karena hormon. Sekarang mulai bermunculan laporan timbulnya urtikaria karena perubahan hormon, misalnya urtikaria sehabis melahirkan atau seperti yang Anda alami urtikaria yang berkaitan dengan menstruasi. Belum jelas apakah urtikaria tersebut semata-mata disebabkan hormon atau disertai faktor lain. Nah, urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria kronik. Jika Anda mengalami urtikaria lebih dari enam minggu, maka urtikaria tersebut termasuk urtikaria kronik. Meski sudah dilakukan berbagai pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain, adakalanya penyebab urtikaria tidak berhasil ditemukan. Terapi urtikaria pada prinsipnya sama. Upaya penting adalah menghindari bahan penyebab alergi dan upaya kedua adalah terapi antihistamin. Sudah tentu jika tidak ditemukan penyebabnya, sulit melakukan penghindaran terhadap alergen. Terapi antihistamin umumnya bermanfaat untuk mengatasi urtikaria. Saat ini tersedia antihistamin generasi baru yang efek sampingnya lebih minimal, tetapi harganya lebih mahal. Pada usia sekarang dapat saja Anda mengalami urtikaria. Bahkan juga cukup banyak orang berusia lanjut mengalami urtikaria. Urtikaria umumnya dapat diatasi, hanya saja perlu kesabaran karena urtikaria kronik dapat berlangsung lama. Untunglah obat antihistamin umumnya aman dan dapat dipakai dalam waktu lama. Anda dapat berkonsultasi kepada dokter spesialis kandungan mengenai gangguan yang Anda rasakan saat menghadapi menstruasi. Dokter kandungan mungkin dapat membantu mengevaluasi hormon Anda. Sementara itu, Anda mungkin memerlukan terapi antihistamin jika ada gejala gatal. Nah, mudah-mudahan Anda tidak merasa khawatir lagi akibat keluhan Anda dan dapat bekerja seperti biasa. (Dr Samsuridjal Djauzi) Sembuhkan Alergi Tanpa Jarum Suntik PENYAKIT alergi umumnya ditimbulkan oleh faktor keturunan dan lingkungan. Kadang untuk memastikan faktor pemicu itu tidaklah mudah. Melalui berbagai jenis tes di Klinik Alergi dan Imunologi, pemicu itu dapat diketahui. Selanjutnya tentu lebih mudah memilih terapi yang paling tepat. Angka kejadian alergi di seluruh dunia meningkat pesat dalam 30 tahun terakhir. Jenis alergi terbanyak yaitu eksim, alergi hidung dan asma. Alergi adalah penyakit yang biasanya ditimbulkan oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan. Kedua faktor itu saling berinteraksi hingga menyebabkan terjadinya alergi. Maka ada yang namanya alergi keturunan dan ada juga alergi lingkungan, tergantung faktor mana yang porsinya lebih besar. Timbulnya penyakit alergi, jelas Prof. DR. Dr. H. R. Karnen Garna Baratawidjaja, Sp.PD-KAI, FAAAI., memang tergantung dari besar-kecilnya pencetus. Jika faktor keturunan kadarnya besar dan faktor lingkungan kecil, reaksi alergi tetap bisa terjadi. Begitu pula sebaliknya. "Tapi kalau faktor keturunan besar dan lingkungan tidak memacu, alergi itu tidak akan terjadi," ujar ahli alergi dari Klinik Alergi dan Imunologi ini. Tes Reaksi Cepat Ditegaskan Prof. Karnen, penanganan alergi akibat faktor keturunan ini masih sulit. Meskipun saat ini banyak penelitian difokuskan ke arah itu. Penelitian biasanya dilakukan sejak bayi masih berada dalam kandungan. Memang lebih mudah mengetahui alergi akibat faktor lingkungan, yaitu dengan melakukan anamnese (wawancara dengan pasien). "Bila pasien yang datang mengalami gatal-gatal setelah makan udang, ya anjurannya jangan makan udang lagi. Pada pasien yang mengalami gatal-gatal sehabis luluran, bahan-bahan yang terdapat dalam lulur itu harus diperiksa," cetusnya. Ditambahkan bahwa untuk mengetahui hubungan antara penyebab dan timbulnya gatal-gatal itu tidak selalu mudah. Untuk memastikannya di Klinik Alergi dan Imunologi ini akan dilakukan beberapa tes. Ada tiga jenis pemeriksaan yang bisa dijalani, terutama untuk memperdalam kasus alergi, terutama yang diakibatkan faktor lingkungan. Pertama yaitu tes tusuk kulit (skin prick test). Pada pemeriksaan ini kulit akan diberi alat khusus yang bernama point. Alat ini diletakkan di atas kulit dengan cara agak ditekan-tekan. Point sendiri berupa bahan-bahan alami, misalnya berbagai jenis makanan, bahkan tepung sari. "Di sini sama sekali tidak menggunakan jarum suntik, maka itu tidak setetes pun darah mengalir," ujar Prof. Karnen. Tes tusuk kulit ini reaksinya cepat sekali, hanya sekitar 15 menit. Jenis tes lainnya adalah tes tempel (patch test). Bila dokter menduga kelainan kulit yang ada diakibatkan kontak dengan bahan kimia, maka satu-satunya cara untuk membuktikannya yakni dengan tes tempel ini. Alergi sejenis ini disebut dermatitis kontak alergi. Patch test dilakukan dengan menempatkan bahan-bahan kimia dalam tempat khusus (finn chamber) lalu ditempelkan pada punggung pasien. Waktu yang digunakan sekitar 48 jam dan selama pemeriksaan pasien dianjurkan untuk tidak melakukan kegiatan jasmani atau bekerja keras. Bagian tubuh yang ditempel juga tidak boleh terkena air, supaya tempelan bahan kimia itu tidak terkelupas. Dua hari kemudian pasien diminta datang kembali dan tes tersebut akan diangkat serta dibaca oleh dokter. Reaksi pada tes ini lambat, makanya setelah 72 jam dihitung sejak bahan ditempel pada punggung baru, bisa dilepas. Jenis tes yang terakhir adalah tes darah. Pada kasus alergi umumnya terdapat jenis antibodi IgE yang meningkat. Contohnya, orang yang alergi terhadap susu, akan menunjukkan adanya peningkatan IgE terhadap susu. Harapannya bila telah ditemukan penyebabnya, cara mengatasinya cukup dengan menghindari pencetus tadi. Namun kadang tidak segampang itu. Karenanya perlu diadakan uji darah dengan dibarengi diit alergi. Pemeriksaan Fungsi Paru Pemeriksaan lainnya lebih ditujukan kepada penderita asma. Salah satu gejala asma adalah sesak nafas dan batuk. Terkadang pada asma yang akut timbul bunyi. Bila hal itu terjadi perlu diadakan pemeriksaan dengan alat peak flow meter atau spirometri. Bila fungsi paru dinyatakan jelek baru diberikan obat inhalasi. Pemeriksaan fungsi paru tadi untuk mengetahui apakah ada kenaikan persentasi penyakit atau tidak. Pada orang yang diduga memiliki riwayat asma, tetapi saat pemeriksaan tidak dijumpai adanya gejala, biasanya akan dilakukan tes fungsi paru. Setelah itu baru diberikan obat asma yang namanya alat nebulasi. Sebelum ditemukan alat ini dokter kerap memberikan suntikan adrenalin. Di klinik ini sudah tidak lagi menggunakan suntikan tersebut. "Di sini tidak menggunakan adrenalin karena banyak sekali efek sampingnya. Terkadang tensi darah pasien bisa naik, biasanya itu terjadi pada orang tua. Di daerah-daerah alat ini masih langka, maka saya tak menyalahkan bila dokter menggunakakn suntikan andrenalin," ujar anggota American Academy of Allergy and Immunology ini. Pasien yang mengikuti perawatan di klinik ini juga mendapat learning centre (LC). Dalam LC setiap pasien diberi penyuluhan khusus secara perorangan oleh dokter. Misalnya, penjelasan rinci mengenai faktor-faktor pemicu. Dengan cara ini pasien akan lebih mengenal kondisinya, sehingga mereka lebih mandiri dalam mencegah kekambuhan penyakitnya. Klinik Alergi dan Imunologi Jl. Sisingamangaraja No. 49/51 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Telp. (021) 7223259-60, 7221445 Fax. 7395756 |
![]() |
|
|