|
Go to Page... |
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
[/quote]
Quote:
Agan ini thread pertama ane,semoga thread ini bermanfaat dan menghasilkan melon, ![]() ![]() dan mudah"an ga ![]() ![]() langsung aja cekibrooot.
Quote:
cerita dibawah ini yang seharusnya dicontoh oleh negara pemerintahan dan DPR kita. " Salah satu contoh teladan Negara yang memiliki budaya malu diantara sejumlah negara-negara yang ada saat ini adalah Negara Jepang. Seperti diketahui, budaya leluhur dan turun-temurun rasa malu kerap melekat dibudaya jepang. Dahulu, setiap kali seseorang warga Jepang membuat kesalahan fatal, karena malu menggugat diri, mereka melakukan meditasi dan kemudian memperbaiki diri atau mengundurkan diri, bahkan ada pula yang sampai ekstrem hingga harakiri (bunuh diri), karena rasa malu. Fenomena Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Kini, di Era serba Teknologi, Komunikasi & Informasi (Globalisasi), fenomena tersebut lambat laun berubah ke fenomena �mengundurkan diri� bagi para pejabat (menteri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa lalai (Keliru, ceroboh) serta gagal menjalankan tugasnya. Betapa budaya malu bangsa Jepang amat tinggi sehingga jika kita melihatnya sebagai ciri bangsa yang taat, patuh, tunduk terhadap aturan hukum dan norma yang berlaku di sosial dan masyarakat hingga terbentuk sikap disiplin yang tinggi.
Quote:
Dikarenakan budaya malu, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Dikarenakan budaya malu, orang Jepang secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan semisal pembelian tiket kereta, tiket masuk ke stadion (menyaksikan) pertandingan olahraga (sepak bola etc), begitupun kala antrian di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka (masyarakat jepang) pun berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.Bahkan baru-baru ini Bangsa Jepang yang saat beberapa waktu lalu mengalami musibah bencana Gempa Tsunami terjadi tidak membuat budaya tertib itu hilang dari Bangsa Jepang. Betapa tidak, baru-baru ini dunia dibuat decak kagum dengan mentalitas masyarakat jepang. Disaat terjadi Gempa dan tsunami yang demikian dasyat dan mematikan, mereka tetap mengantri dengan tertib di supermarket untuk membeli kebutuhan pasca gempa dan tsunami terjadi. Bukan hanya di supermarket saja, bahkan ketertiban masyarakat negeri sakura itu terlihat di tengah kemacetan lalulintas ketika tsunami baru saja terjadi. Antrian tertib sangat terlihat dengan jelas (terang wartawan yang meliput) mereka berupaya tenang walau kemacetan sudah merajalela, apalagi ketika lampu jalan berubah menjadi hijau (sebelum kota mati lampu semua) pengemudi tidak saling serobot, namun bergerak cepat teratur walau hanya berlaku satu baris mobil saja yang dapat lewat..Hal lain dapat kita lihat ketika Pemerintah Jepang mengevakuasi warganya ke dalam bis saat Tsunami lalu. Mereka sama sekali tidak ada yang menyerobot lebih dahulu naik kedalam bus tersebut, tertib dan mau antri. Hal tersebut terlihat nyata dalam tayangan stasiun televisi lokal Jepang, TBStv, ribuan warga yang berkumpul di utara Stasiun Shibuya, Tokyo, sedang mengantre dengan tertib untuk masuk ke dalam bis yang telah disediakan. (Sumber: http://kedaiberita.com/)"
Quote:
kisah pertama ![]() http://internasional.kompas.com/read...rena.Menjiplak
Quote:
kisah kedua ![]() sumber :
Quote:
Di satu sisi, mundur adalah wujud pertanggungjawaban dan moral. Namun di sisi lain, pengunduran diri ternyata berulang kali terjadi di Jepang, Sebelum Maehara, Menteri Kehakiman Yanagida mengundurkan diri bulan November 2010 karena merasa bersalah atas komentarnya yang tidak pantas di Parlemen. Bulan Juni 2010, Menteri Jasa Keuangan Kamei mundur akibat proses parlemen yang menurutnya tidak masuk akal. Di tahun 2009, ada sekitar 4 orang menteri yang mengundurkan diri karena berbagai alasan. Mereka mundur karena merasa tidak mampu memimpin Jepang, ataupun tidak sanggup memenuhi janji politiknya. Berulangkalinya pejabat Jepang mundur ini mengakibatkan ongkos politik menjadi begitu mahal dan Jepang terus terbelit dalam masalah ekonomi yang tidak kunjung usai. Fenomena mundur dalam jabatan bukanlah sebuah hal yang asing dan tabu. Perdana Menteri Jepang Naoto Kan ![]() "Bayangan bahwa Tokyo akan berubah menjadi kota kosong tanpa seorang penduduk sempat melintas dalam benak saya," ungkapnya dalam wawancara khusus dengan surat kabar Tokyo Shimbun kemarin (6/9). Apalagi, begitu krisis nuklir di PLTN Fukushima Daiichi kian memburuk, pemerintah Jepang tak punya cukup sarana dan prasarana untuk segera mengosongkan ibu kota. Menurut Kan, mustahil mengevakuasi seluruh penduduk Tokyo dan Kanto dengan sekaligus. Instruksi pemerintah untuk mengosongkan zona sekitar 20 kilometer di sekitar PLTN yang dikelola TEPCO itu juga tak bisa dilaksanakan dalam satu langkah. Ketika itu, pemerintah menerapkan serangkaian tahapan sebelum akhirnya mengosongkan zona 20 kilometer di sekitar PLTN. Seiring dengan terus memburuknya krisis nuklir dan tersendatnya rekonstruksi pasca-gempa dan tsunami, Kan mengaku selalu dihantui mimpi buruk. Apalagi, masyarakat menilai pemerintahannya terlalu lamban dalam mengatasi bencana alam pada 11 Maret lalu itu. Hingga kini, setelah Kan tak menjabat, proses rekonstruksi masih berlangsung dan krisis nuklir belum kunjung mereda. Status krisis nuklir Fukushima yang disamakan dengan bencana nuklir Chernobyl membuat Kan terpaksa mundur. Sebelum mundur itu pula, dia sempat mendeklarasikan keinginannya untuk tidak lagi menggunakan nuklir sebagai sumber energi di Jepang. Dia mengimbau seluruh jajaran pemerintahan untuk mengeksplorasi jenis energi baru yang bisa diperbarui. "Sebelumnya, saya yakin bahwa reaktor di Jepang aman karena didukung teknologi mutakhir. Tetapi, bencana 11 Maret mengubah seluruh pendapat saya itu," terangnya. Kan juga mengaku ngeri membayangkan makin luasnya zona steril di sekitar PLTN. Jika zona steril meluas, dia yakin bahwa status Jepang sebagai negara terancam hilang. "Mengevakuasi 30 juta orang bukanlah perkara mudah. Bahkan, hal itu mustahil dilakukan. Jika itu sampai terjadi, Jepang tidak akan mampu bertahan lagi sebagai negara," ramalnya. Apalagi, jarak PLTN Fukushima dengan Tokyo hanya sekitar 250 kilometer. Tanpa dukungan wilayah di sekitarnya, Tokyo tak akan mampu bertahan sebagai pusat pemerintahan. Sementara itu, korban badai tropis Talas di Jepang terus bertambah. Kemarin, tak kurang dari 46 orang dilaporkan tewas akibat taifun yang mengamuk di barat Negeri Sakura tersebut. Sekitar 50 lainnya dilaporkan hilang. Sejauh ini, ribuan warga masih harus bertahan di tempat penampungan sementara karena permukiman mereka hancur. PM Yoshihiko Noda dijadwalkan melawat ke lokasi bencana kemarin. Untuk sementara, kebutuhan makan dan minum pengungsi mengandalkan bantuan dari pemerintah setempat. "Setelah mendistribusikan 1.000 liter air minum dengan helikopter Senin lalu (5/9), kini kami berencana membagikan beras, mi instant, dan lebih banyak minuman lagi," kata jubir pemerintah. ( sumber ; http://www.jpnn.com/read/2011/09/07/...anpa-Penghuni-) Terkait:
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|