|
Go to Page... |
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
BAGI orang Jawa, tentu tidak asing lagi dengan apa yang disebut asok tukon atau pasok tukon. Kalau diterjemahkan, asok atau pasok artinya membayar, dan tukon artinya pembelian. Jadi, asok tukon adalah membayar pembelian. Dengan arti seperti itu, mau tidak mau asok tukon mengindikasikan terjadinya transaksi jual beli. Anehnya, asok tukon tidak berlaku pada pembelian rumah, motor, tanah, peralatan rumah tangga, tetapi hanya terdapat pada upacara lamaran formal di Jawa. Bentuknya adalah pemberian sejumlah uang dari pihak laki-laki kepada orang tua perempuan, ditambah pemberian khusus kepada sang pujaan hati. Seperti pakaian sapangadeg (kain panjang, kebaya), perhiasan, dan lain-lain. Di Jawa, asok tukon berbeda dengan pemberian mahar (mas kawin). Mas kawin diberikan khusus kepada pengantin perempuan sebagai bagian dari keresmian upacara pernikahan sesuai agama yang dianutnya, sedangkan asok tukon lebih sebagai peristiwa adat dan kepantasan. Karena dalam realitasnya, banyak kalangan yang kurang mampu juga tidak memberikan asok tukon pada calon mertua.
Yang terasa aneh adalah, mengapa peristiwa ini disebut asok tukon? Benarkah perempuan dibeli oleh laki-laki yang ingin menikahinya? Benarkah orang tua pihak perempuan menjual anaknya kepada calon menantu? Misalnya benar, mengapa perempuan dapat diperjualbelikan semacam benda atau barang? Sedangkan kalau peristiwa tersebut bukan jual beli, mengapa disebut asok tukon yang artinya jelas-jelas membayar pembelian? *** Bukan hanya di Jawa, pada masyarakat yang menganut paham patriarkhat terdapat pula anggapan bahwa derajat perempuan berada di bawah laki-laki. Sehingga dalam pernikahan, perempuan dianggap mengabdi kepada suami (laki-laki). Karena itulah, perempuan Jawa masa lalu sering dikategorikan sebagai swarga nunut neraka katut. Seorang janda yang tidak segera mendapat suami lagi, derajatnya juga jatuh. Karena dianggap ora payu rabi sehingga disindir dengan unen-unen berbunyi : gambret singgang mrekatak ora ana sing ngeneni. Artinya: gambret singgang: buah padi yang berasal dari tunas setelah rumpunnya dipanen/dipangkas, mrekatak: menguning, ora ana sing ngeneni: tak ada yang memanen. Selesai dipanen, umumnya rumpun padi segera dipangkas dekat tanah untuk memudahkan membajak sawah. Tetapi, jika karena suatu dan lain hal pengolahan tanah terlambat, dari sisa rumpun itu akan keluar tunas baru (singgang). Apabila dibiarkan membesar, tunas-tunas itupun dapat berbunga dan berbuah. Tetapi buahnya sedikit, kecil-kecil, dan kebanyakan tidak bernas. Maka bulir padi yang tumbuh dari singgang itu dibiarkan saja oleh petani karena tidak menguntungkan kalau dipanen dan menjadi makanan burung belaka. Bukan rahasia lagi jika orang tua yang berpandangan tradisional, umumnya akan merasa malu dan menanggung aib jika anak perempuannya sampai batas usia tertentu (antara 25 - 27 tahun) belum menikah. Sebab, apa pun alasannya, akan muncul anggapan anak gadisnya ora payu rabi. Karena itulah, di pedesaan masih banyak orang tua yang mengizinkan anak perempuannya menikah dalam usia muda, meskipun akhirnya bercerai karena tidak ada kecocokan dengan suami. Mengapa bersikap demikian, karena mereka beranggapan lebih berharga jadi janda kembang atau janda muda daripada jadi perawan tua, gara-gara takut dianggap ora payu raibi tersebut. Maka, tidak mengherankan jika di kalangan orang tua tradisional akan sangat bangga dan bersyukur ketika anak perempuannya yang sudah cukup umur datang pria melamarnya. Dengan demikian, si anak sudah payu rabi, sudah ada laki-laki yang ngersakake lan bakal nguripi selawase. Sebab, dengan terjadinya pernikahan, orang tua memang tidak lagi bertanggung jawab terhadap kehidupan anak perempuannya karena telah jadi milik suaminya. Seperti peribahasa: cilik diitik-itik, bareng gedhe dipasangi benik. *** Dalam konsep kejawen, asok tukon bukanlah pembayaran atau pembelian terhadap nilai perempuan yang akan dinikahi atau dimiliki. Tetapi merupakan pangarem-arem, atau bebungah, atau semacam hadiah. Dalam pandangan lain, asok tukon sering pula dimaknai sebagai srakah (bantuan ongkos pernikahan). Soalnya, di Jawa tidak terdapat konsep orang tua menjual anak perempuannya dalam konteks pernikahan, tetapi menitipkan kepada sang menantu. Asok tukon bukan manifestasi jual beli. Melainkan penghormatan yang diwujudkan secara material sebagai penghargaan kepada calon mertua yang telah mengizinkan anak perempuannya dinikahi. Semiskin apa pun, nyaris tidak ada orang tua yang waras tega menjual anak perempuannya, apalagi kepada calon menantunya sendiri. Ia sudah cukup bahagia ketika anak perempuannya payu rabi. Maka, jika asok tukon dipahami sebagai pembelian terhadap perempuan, sesungguhnya hanya salah kaprah yang muncul dari arogansi laki-laki ketika merasa terjadi perpindahan hak milik serta penguasaan terhadap eksistensi perempuan setelah yang bersangkutan dinikahi. Sebuah kekeliruan yang patut segera dibenahi. sumber |
#2
|
||||
|
||||
![]()
terus terang ane ga ngerti ndan....
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|