FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Business Segala topik apapun tentang bisnis di bahas di dalam sini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
|||
|
|||
![]()
Arcandra Tahar kembali menjadi trending topic. Putra Minang ini kembali ramai digunjingkan, karena ia dikabarkan berpeluang besar untuk diangkat kedua kalinya menjadi Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
![]() Sas-sus menyebutkan, ia bakal dilantik sepulang Presiden Jokowi dari lawatannya ke Tiongkok dan Laos. Sinyal ini setidaknya tertangkap dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, Rabu (7/9) lalu, Yasonna mengumumkan bahwa ia telah mengukuhkan status WNI Arcandra pada 1 September 2016. Pengukuhan ini diperlukan sehubungan dengan kisruhnya status kewarganegaraannya, yang diketahui telah menjadi warga negara Amerika Serikat pada Maret 2012. Lantaran belitan kasus ini, Presiden memberhentikan Arcandra dari jabatannya pada 15 Agustus lalu atau 20 hari sejak ia diangkat sebagai Menteri ESDM pada 27 Juli 2016. Namun, hanya selang dua hari, spekulasi bakal kembalinya Arcandra sudah merebak. Ia muncul di Istana Merdeka dan menemui Presiden Jokowi menjelang upacara penurunan bendera 17 Agustus. Menurut sejumlah sumber, kemungkinan kembalinya Arcandra terbuka jika prosesnya mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesia (WNI) bisa segera diselesaikan. Beberapa di antaranya disuarakan oleh Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut Pandjaitan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo. Rupa-rupa alasan di balik dukungan itu. Mulai dari dasar hukum, jasanya bagi negara, hingga bias ke soal suku dan ketaatan beragama Arcandra. Dari semua itu, yang esensial sesungguhnya melihat aspek hukum ihwal ada tidaknya pelanggaran atau potensi kisruh hukum di masa depan jika Arcandra diangkat kembali sebagai menteri. Status Kewarganegaraan Jika ditelisik, sejatinya ada sejumlah kejanggalan yang kasat mata. Menteri Hukum Laoly kini mengesankan bahwa sesungguhnya tak ada persoalan dengan kewarganegaraan Indonesia Arcandra. Salah satu argumen yang ia bangun, Arcandra telah resmi melepaskan kewarganegaraan AS berdasarkan dokumen Certificate of Loss of the United States, tertanggal 12 Agustus 2016 alias tiga hari sebelum ia diberhentikan Presiden Jokowi. Dari sini saja jelas bahwa ketika menjabat menteri, Arcandra berstatus warga negara AS. Argumen janggal lainnya, Kementerian Hukum menilai Arcandra hingga kini tetap berstatus WNI. Alasannya, pemerintah tidak pernah mengeksekusi pengguguran status WNI Arcandra secara formal. Ia pernah menyampaikan bahwa Kemenkumham tengah mengurus status kewarganegaraan Indonesia Arcandra yang hilang, setelah ia terdaftar sebagai warga negara AS. Sebab, Indonesia tidak mengakui dwikewarganegaraan (Republika, 20/8). Hanya saja, argumen yang kemudian dibangun Freddy saat itu dan diperkuat oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo, proses naturalisasi WNI Arcandra bisa dipercepat. Alasannya, ia dinilai telah berjasa untuk negara (Kompas.com, 19/8). Hal ini mengacu pada Pasal 20 UU Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyebutkan: "Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan RI oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR." Jasa Penghematan Masela Dalam konteks jasa bagi negara inilah, kemudian dikumandangkan peran besar Arcandra yang dinilai berjasa menghemat uang negara dalam rencana pengembangan Blok Masela di Maluku. Ia disebut-sebut berhasil “membujuk” kontraktor asal Jepang, Inpex Corporation, untuk menurunkan biaya pembangunan kilang darat (Onshore LNG) di ladang kaya gas itu senilai US$ 5 miliar. Santer juga beredar kabar bahwa keputusan Presiden Jokowi memilih pengembangan Blok Masela dengan skema darat ketimbang offshore atau kilang terapung (floating LNG) juga tak lepas dari bisikan Arcandra. Pertanyaannya, lagi-lagi soal seberapa valid argumen itu? Sejumlah praktisi migas senior mempertanyakan, bagaimana mungkin hanya dalam sekali pertemuan, bisa dicapai kesepakatan kalkulasi baru biaya pengembangan Blok Masela. Sebab, biasanya dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa mendapatkan kisaran biaya final di tahap final investment decision (FID), yang akan menjadi penentu akhir apakah sebuah proyek jadi berlanjut atau tidak. Pihak Inpex sendiri pernah mengutarakan bahwa revisi Rencana Pengembangan (PoD) Blok Masela—setelah Presiden memutuskan skema kilang darat—baru bisa diserahkannya pada 2019. Sedangkan tahap FID baru pada 2025. Sejauh ini, tak ada penjelasan gamblang dan memadai di balik pernyataan Arcandra tentang penghematan US$ 5 miliar itu. Juga ihwal argumen tajam di balik rekomendasinya mengusulkan skema kilang darat kepada Presiden Jokowi. Yang diketahui publik sejauh ini baru sebatas perdebatan dua kubu pendukung skema offshore dan onshore, sebelum Jokowi memutus kata final. Saat itu, Kementerian ESDM yang dipimpin oleh Sudirman Said, bersama Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, ekonom senior Faisal Basri dan LPEM-UI mendukung skema kilang terapung (floating LNG) yang diusulkan Inpex dan Shell. Di kubu lain, Menko Maritim Rizal Ramli bersama Luhut Pandjaitan ketika menjabat Menko Polhukam, Deputi Kantor Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo dan para alumni ITB angkatan 1973 (Fortuga) lebih memilih opsi kilang darat (Onshore LNG). Opsi ini pula yang diusung oleh Arcandra, dan akhirnya dipilih Jokowi. Skema onshore dipilih, karena dinilai lebih menguntungkan dan bisa memberikan efek berganda bagi perekonomian rakyat Maluku. Selain itu, menurut kubu pendukung onshore, biayanya pun lebih murah ketimbang skema offshore. Meskipun, banyak pula keraguan muncul, karena tak pernah ada penegasan langsung dari Inpex ihwal benar-tidaknya kabar itu. Keraguan ini yang sebaiknya segera dijawab Arcandra secara terang-benderang. Sebagai seorang pakar migas, sebaiknya ia pun lebih terbuka memaparkan pemikirannya, apalagi jika benar bahwa dirinyalah “pembisik” utama kepada Presiden tentang pemilihan opsi kilang darat. WoodMac dan Poten Penjelasan gamblang Arcandra kian diperlukan berhubung belum lama ini terbit laporan tentang analisis Blok Masela dari lembaga riset ternama Wood Mackenzie, yang bertolak belakang dengan pandangannya. Laporan berjudul “Onshore LNG: Evaluating the Option for Indonesia’s Abadi” itu dilansir pada 17 Agustus lalu, dua hari setelah Arcandra dilengserkan. Isinya pada dasarnya lebih menguatkan opsi offshore, ketimbang onshore. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil kajian Poten & Partners, yang disewa oleh SKK Migas. Bagi Arcandra, perbedaan kesimpulan dari Wood Mackenzie dan Poten ini tak bisa dipandang remeh. Keduanya adalah perusahaan konsultan dan riset kelas dunia di bidang energi dan migas. Wood Mackenzie berdiri sejak 1973 dan berbasis di Edinburg, Skotlandia. Sedangkan Poten berkantor pusat di New York dan sudah beroperasi sejak 75 tahun silam. Dari hasil kajian independen kedua lembaga riset itu disimpulkan bahwa sesungguhnya skema paling optimal untuk pengembangan Blok Masela adalah opsi offshore. Ada sejumlah faktor yang mendasarinya, di antaranya biaya, besarnya penerimaan negara, dan tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) bagi kontraktor migas. Dari sisi perbandingan biaya modal (capital expenditure), menurut hitung-hitungan WoodMac, biaya kilang darat mencapai US$ 19,1 miliar, jauh lebih tinggi ketimbang kilang terapung yang hanya US$ 14,1 miliar. Kesimpulan serupa diungkapkan oleh Poten, Inpex dan SKK Migas yang pro offshore. Sementara, kelompok pro onshore punya kesimpulan sebaliknya. Sumber: Katadata |
![]() |
Thread Tools | |
|
|