FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Lounge Berita atau artikel yang unik, aneh, dan menambah wawasan semuanya ada disini dan bisa dishare disini. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
[/quote][quote] Maaf kalo respot ![]() ![]() Seperti yang Anda semua tahu, beberapa saat lalu Diknas mengeluarkan kebijakan baru mengenai syarat kelulusan mahasiswa S1, S2, dan S3. Syarat baru tersebut adalah harus menulis makalah yang dimuat di jurnal ilmiah. Kalau disahkan, anak S1 pun harus menulis sebuah makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusannya. Ini menimbulkan polemik di dunia akademik (wih ada irama cantiknya). Dunia maya yang memang penuh dengan akademisi langsung bereaksi, berdebat, dan lempar-lemparan tombak. Setelah dikritik ribuan pihak, akhirnya Diknas melunakkan sikap dengan menyatakan bahwa itu hanya �anjuran� dan bukan peraturan yang mengikat. Good! We won! Walaupun Pak Menteri masih bersikeras bahwa seharusnya mahasiswa S1 dapat melakukan ini. Juga orang2 yg ga ngerti bedanya makalah jurnal ilmiah dengan makalah konferensi, tugas akhir mahasiswa, atau artikel komedi di internet. Well, saya sudah pernah mengalami pendidikan S1 dan sudah pernah mengalami susahnya menulis makalah jurnal, and I can tell you, it�s friggin� nearly impossible. Jadi saya ingin kalian semua mengerti seberapa susahnya, agar tidak serta merta ikut bilang, �Yah masa gitu doang ga bisa.� Saya akan jelaskan satu persatu alasannya, yang didasari fakta yang dengan senang hati seperti biasa kami cantumkan link-link nya di sini. Note: Please remember kita cuma bahas yg buat S1 di sini. 1. Penelitian Itu Mahal, Jenderal� Salah satu latar belakang dikeluarkannya peraturan yang kemudian diubah menjadi �anjuran� tadi, adalah karena Malaysia mempunyai jurnal ilmiah 7 kali lipat lebih banyak dari Indonesia. Yup, benar sekali kawan2 yang kami hormati, ini memang alasan paling dasar dan paling awal yang dikemukakan dan ada di surat edaran resminya. Serius. Kami gak mengada-ada. Wow Malaysia lagi ternyata penyebabnya! Asik banget ya? Dulu gw pikir cuma orang2 tolol aja yang kerjaannya banding2in sama Malaysia, ternyata kaum berpendidikannya juga. Holysh*t. Ternyata memang apa yang dilakuin Indonesia tu semuanya ujung2nya cuma ga mau kliatan kalah sama Malaysia. Tapi biar begitu okelah kita hargai alasan Dikti dengan sok mengkajinya secara logis. Well, sebagai peneliti, kami di thePoskamling juga tau betul inti dari kemajuan penelitian itu apa selain kerja keras : DUIT! Bukan, bukan masalah gaji, bro! Read first before you put derogatory comments below. Ini masalah penelitiannya itu sendiri. Coba pikir, kalau nggak ada uangnya, mau beli alat dan bahan pake apaan kita? Pake prihatin? Gimana mau bayar pengeluaran laboratorium yang super mahal coba, apalagi buat lab yang high-tech. Dan inilah faktanya : Anda tahu dana riset yang digelontorkan oleh pemerintah Malaysia untuk memperoleh hasil semenakjubkan itu? Jawabannya : BESAR SEKALI, teman2. Menurut Bank Dunia, pada tahun 2006 Malaysia menggelontorkan dana 4 kali lebih besar dari Indonesia, demi bulu hidung Aphrodite! ![]() Masalah dana ini serius sekali, lho. Kalau memang Diknas jadi mau pake kebijakan ini buat meningkatkan jumlah jurnal ilmiah Indonesia, tanpa mengubah anggaran, well, saya punya perumpamaan yang menggambarkan keadaan ini dengan mudah. Ada 2 pabrik roti, yang satu sebenarnya punya kekayaan dan modal lebih besar dari yang lain, tapi cuma mau keluar uang sedikit untuk membeli bahan2 roti. Entah kenapa, mungkin uangnya buat beli pesawat buat direktur utamanya. Nah, ujung2nya, pabrik yg lebih miskin menjual lebih banyak roti (ya jelas lah wong duid buat beli bahannya lebih banyak). Si pabrik kaya ini kesel, iri dengki, dan mungkin karena didesak sama direkturnya, manajer2nya harus mencari cara entah gimana buat naikin produksi. Nah, karena manajer2nya juga ga mau ambil pusing, langsung aja bikin pengumuman : Mulai minggu depan produksi roti harus naik 7 kali lipat! Entah gimana caranya! ![]() Lanjut post 2 Terkait:
|
![]() |
|
|