FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Nasional Berita dalam negeri, informasi terupdate bisa kamu temukan disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
"Air mata belum juga kering, masyarakat Yogya masih berduka (karena bencana Merapi)."
Rabu, 1 Desember 2010, 12:58 WIB Arfi Bambani Amri, Anggi Kusumadewi ![]() VIVAnews - Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai, pernyataan Presiden yang mempertanyakan status Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak tepat untuk disampaikan saat ini. "Air mata belum juga kering, masyarakat Yogya masih berduka (karena bencana Merapi). Masak sekarang sudah dibangkitkan oleh persoalan lama. Harusnya kan selesaikan dulu persoalan Merapi," ujar Pramono di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Sebelumnya, Presiden SBY menyebut secara implisit bahwa Yogyakarta menerapkan sistem monarki yang bertabrakan dengan nilai-nilai demokrasi. Pernyataan ini menyulut kemarahan masyarakat kota gudeg tersebut, terutama kalangan terpelajar seantero Yogya. "Sampai-sampai mereka minta referendum," kata Pramono. Menurutnya, pemerintah harus berhati-hati menyikapi persoalan status keistimewaan Yogyakarta, karena warga Yogya sangat ekspresif. "Orang yang memberi masukan ke Pak SBY (mengenai Yogya) terlalu terburu-buru. Hal ini harus diselesaikan secara terbuka sebelum terjadi disinformasi lebih jauh lagi," kata fungsionaris PDIP tersebut. Pramono melihat persoalan terkait status Yogyakarta bisa berdampak serius kepada pemerintah, karena masyarakat bisa mengintrepetasikan ucapan Presiden secara berbeda. "Keistimewaan Yogya sebetulnya tidak boleh diganggu-gugat oleh siapapun karena termasuk dalam kontrak para founding fathers ketika mendirikan bangsa ini," ujar Pramono. Oleh karena itu, lanjutnya, persoalan mengenai penetapan gubernur dan wakil gubernur Yogya pun bukan masalah demokrasi atau tidak demokrasi, melainkan sudah kesepakatan para pendiri bangsa yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah pendirian republik. "Hal ini tidak perlu diperdebatkan dan dimasukkan ke wilayah politik," kata Pramono. Istilah monarki yang dilontarkan oleh SBY pun ia nilai sangat tidak tepat. "Kalau kita memenggal-menggal sejarah, maka hal itu akan mengancam kesatuan bangsa," ujarnya. Pada Jumat lalu, Presiden SBY menyampaikan pengantar dalam rapat terbatas membahas persiapan RUU Keistimewaan Yogyakarta yang kemudian jadi polemik. SBY menyatakan, sistem monarki jangan sampai berbenturan dengan konstitusi dan demokrasi. Keesokan harinya, Sri Sultan Hamengku Buwono X menggelar jumpa pers khusus menanyakan balik mengenai maksud SBY. (umi) � VIVAnews |
#2
|
||||
|
||||
![]()
nice info ndan...
|
![]() |
|
|