Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Religion > Buddha

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 18th November 2010
Buddha Buddha is offline
Ceriwis Lover
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 1,075
Rep Power: 16
Buddha mempunyai hidup yang Normal
Default Dhamma bagaikan rakit

A. Keterikatan mulia pada Dhamma


Seperti yang telah disebutkan, Buddha menasihati kita untuk menggunakan Dhamma ini selayaknya seseorang menggunakan rakit. Yakni kita seharusnya hanya menggunakan Dhamma ini untuk menyeberangi pantai seberang (Nibb�na), bukan untuk hal-hal lainnya, seperti untuk mencari perdebatan, permusuhan, kemahsyuran, bahkan bukan untuk sekedar menjadi seorang ahli Dhamma (yang masih belum mencapai pantai seberang). Buddha menyuruh kita untuk melepaskan rakit tersebut setelah tiba di pantai seberang.[MN 22].

Tetapi orang-orang bertanya, "Bukankah dengan berkeyakinan terhadap ajaran Buddha (melatih diri sesuai dengan Dhamma) itu juga termasuk keterikatan?" Benar! Tapi keterikatan semacam ini tidak dapat dikatakan tak pantas. Karena keterikatan tersebut bertujuan untuk mengurangi keterikatan lebih lanjut. Dalam perumpamaan rakit di atas, kalau kita tidak terikat dulu pada rakit itu, maka kita akan tenggelam. Jadi kita hanya terikat pada rakit itu untuk membawa kita ke pantai seberang yang aman.

Marilah kita mempelajari ulang nasihat Bhante �nanda mengenai hal ini. Pernah seorang bertanya kepada Bhante �nanda, "Apakah mungkin keinginan (keterikatan) tertentu dapat melenyapkan (segala) keinginan (keterikatan)?"

Bhante �nanda menjelaskan demikian [SN 51.15]:
Bagaikan seseorang yang berkeinginan untuk pergi ke taman, maka ia harus mampu membedakan mana arah yang benar dan salah [menuju ke taman tersebut], dan ketika ia telah tiba di taman tersebut, maka keinginannya(untuk pergi ke taman) tersebut akan lenyap dengan sendirinya.

Begitu pula keinginan (keterikatan) pada Dhamma, ia yang bijaksana berkeinginan mengenal (terikat) pada Dhamma, dan jeli dalam "membedakan" hal yang sesuai dengan Dhamma dan yang tidak, dan ketika ia telah mencapai tujuan akhir (Nibb�na), maka (segala) keterikatan akan lenyap dengan sendirinya."

Perinciannya adalah sebagai berikut:

Kita seharusnya dengan sungguh-sungguh menjaga s�la kita,bagaikan seorang menjaga harta berharganya, hanya sejauh untuk melatih pikiran ini. Pikiran ini juga seharusnya dilatih (termasuk keterikatan) hanya sejauh untuk menembusi Dhamma ini. Dan Dhamma yang telah ditembusi tersebut hanya akan menghasilkan lenyapnya semua keterikatan [AN 11.1, MN 24].

Inilah yang dinamakan "keterikatan mulia pada Dhamma."

Perumpamaan lainnya yang lebih rinci adalah sebagai berikut. Bagaikan seorang yang ingin mencapai puncak tebing, ia akan memegang erat-erat bagian tebing yang rendah dulu, dan kemudian melepaskan genggamannya pada bagian tebing yang lebih rendah itu untuk meraih bagian tebing yang lebih tinggi (naik ke atas). Proses ini akan diulang olehnya sampai akhirnya ia mencapai puncak tebing; di mana pada saat itu, ia tidak akan lagi mengenggam tebing tersebut [Pelajarilah perumpamaan yang serupa di MN
24].

Dengan demikian, ajaran Buddha tidak mengatakan, "Tidak diperbolehkan segala jenis keterikatan!" Lebih tepatnya, terikat pada hal dasar(moral) untuk mencapai hal yang lebih tinggi (pelatihan pikiran); dan setelah itu, terikat pada hal yang tinggi untuk mencapai kebebasan total (Nibb�na).

Karena setelah mencapai Nibb�na, segala keterikatan akan lenyap dengan sendirinya. Dan ia yang belum mencapai Nibb�na, tentu masih memiliki keterikatan di dirinya. Bedanya, keterikatan jenis apa yang berada di dirinya itu? Itu juga alasannya mengapa dikatakan bahwa Dhamma ini bersifat bertahap-tahap pelaksanaannya [MN 107].

Tetapi 'sudah tidak terikat lagi' seharusnya tidak dianggap sudah tidak memiliki s�la (tidak bermoral), dan seterusnya. Malahan oleh karena cara pelaksanaan s�la yang benar itulah maka seseorang akan meraih hasil selanjutnya (pikiran yang lebih terlatih).
Dengan demikian s�la tersebut dimengerti dengan benar manfaatnya (cara kerjanya), dan dipakai hanya sejauh untuk meraih manfaat yang lebih tinggi tersebut (pelatihan pikiran)yang masih terus ia kembangkan untuk meraih tahap yang lebih tinggi.

Kami tak mengatakan bahwa segala keterikatan terhadap Dhamma adalah pantas adanya. Hal-hal yang mengakibatkan keresahan diri adalah jenis keterikatan yang seharusnya diwaspadai oleh seorang Buddhis (baca poin no. 4 dari [AN 4.170]). Sedangkan kegirangan yang timbul dari pelatihan diri (Dhamma) seharusnya dipahami kemunculnya dan digunakan untuk mencapai ketenangan batin yang lebih tinggi tingkatannya. Pada akhirnya, ia juga seharusnya melepaskan keterikatan tersebut untuk mencapai yang Tertinggi, Nibb�na [AN 11.1, MN 22, MN 24].

B. Ketika ketidakkekalan dianggap nihilistik

Ketidakkekalan (anicca) memang adalah ajaran Buddha. Semuanya adalah sementara keberadaannya. Mulai dari materi yang berbentuk sampai kepada segala unsur batiniah yang tidak berbentuk.

Kebahagiaan yang diperoleh dari perbuatan baik adalah juga tidak kekal. Penderitaan yang diperoleh dari perbuatan jahat adalah juga tidak kekal. Yah, kalau dipikir-pikir untuk apa susah-susah berbuat baik? Mending "enjoy" saja lah, ya kan? Kalau berbahagia, kita menerimanya loh. Kalau menderita, kita juga menerimanya begitu.

Terus kalau semuanya adalah tidak kekal, apa yang menjadi tujuan hidup ini? Apakah kita hanya sekedar berusaha untuk melarikan diri dengan mengatakan semuanya adalah semu, semuanya adalah tidak nyata? Bila demikian adanya, maka niat berbuat baik akan dengan sendirinya terkikis habis, niat berbuat jahat tidak akan dilenyapkan.

Itu adalah pengertian terhadap ketidakkekalan yang tidak benar.
Seseorang yang memiliki pandangan nihilistik seperti yang disebutkan di atas memegang pandangan yang cukup berbahaya untuk dirinya dan orang lain. Sekilas terlihat pandangan di atas adalah sesuai dengan ajaran Buddha karena ada kata "ketidakkekalan" nya itu lho. Tapi kalau dianalisa dengan jeli, maka terlihat jelas itu adalah bukan lain "kegelapan batin" yang berkedok "Buddhis."

Jadi apa pandangan yang sesuai dengan Dhamma dan yang bermanfaat bagi kesejahteraan diri kita? Perbuatan jahat seharusnya dihindari untuk menjauhi diri kita dari penyesalan, penderitaan, dan keresahan batin. Perbuatan baik seharusnya dikembangkan untuk menghasilkan kebahagiaan, kegirangan, dan ketenangan. Ketidakkekalan seharusnya dipahami melalui kebijaksanaan dan ketenangan batin yang telah diperoleh sebelumnya dari terhindarnya perbuatan jahat dan berkembangnya perbuatan baik [AN 11.1, MN 22].

Dengan kata lain:

Hindarilah perbuatan jahat, kembangkanlah perbuatan baik, raihlah batin yang terhindar dari kerisauan, batin yang penuh energi, dan kegirangan;kemudian sifat-sifat batiniah ini dikembangkan untuk menghasilkan batin yang lebih tenang dan terkonsentrasi. Batin yang tenang dan terkonsentrasi inilah yang sanggup melihat "segala sesuatu seperti apa adanya" yang kesemuanya memang bersifat tidak kekal.

Jadi perbuatan jahat dihindari demi menghindarkan diri kita dari kerisauan batin. Perbuatan baik dikembangkan demi menghasilkan ketenangan batin. Karena tanpa batin yang tenang, bagaimana mungkin ketidakkekalan ini dapat dipahami dengan sebenar-benarnya? Jadi inilah manfaat dari penghindaran diri dari perbuatan jahat, pengembangan diri dengan perbuatan baik, dan pelatihan pikiran melalui meditasi. Singkatnya: Dengan melatih diri sesuai dengan s�la, kita akan meraih ketenangan. Dengan teraihnya ketenangan batin ini, kita kemudian menggunakannya untuk melihat kenyataan (Dhamma).

C. Benar dan salah: sejauh itu saja kah?

Terdapat dua hal ekstrim dalam hal ini. Yang pertama adalah sekelompok orang yang berpandangan: "Kalau bukan demikian, maka pasti salah. Hanya yang ini benar, yang lainnya salah." Ini adalah pandangan ekstrim jenis pertama. Jenis orang seperti ini adalah tergolong orang yang kolot, ekstrimis, yang umumnya kurang memiliki toleransi. Kesulitan yang akan ditempuh jenis orang pertama ini adalah ketenangan batin. Mereka cenderung akan sulit meraih batin yang tenang dan tentram, yang merupakan persyaratan dalam mencapai kebahagiaan dalam Dhamma.

Jenis ekstrim kedua adalah orang yang berpandangan, "Tidak ada benar dan salah. Semuanya adalah sama saja." Jenis orang kedua ini adalah orang yang liberal, yang umumnya tidak memiliki kepercayaan, yang skeptikal. Mereka cenderung akan sulit meraih kebijaksanaan yang mendalam, yang juga merupakan persyaratan dalam mencapai kebahagiaan dalam Dhamma.

Mengerti bahaya dari kedua pandangan ekstrim ini, maka seorang Buddhis seharusnya menelusuri jalan tengah, yang terelak dari dua ekstrim yang berbahaya yang disebut di atas.
Kalau kita meneliti ajaran Buddha secara lebih cermat, maka kita akan mengetahui dengan jelas bahwa ajaran Buddha adalah bersifat perlahan lahan meningkatkan pemahaman kita (pandangan), kemudian meningkatkan perilaku kita (s�la), dan setelah itu meningkatkan kualitas pikiran kita (meraih kebijaksanaan dan ketenangan batin yang lebih tinggi tingkatnya), dan pada akhirnya menyuruh kita untuk melepaskan semuanya!

Poin yang ingin ditekankan di sini adalah kata "perlahan-lahan." Banyak umat Buddha yang begitu ingin mencapai tujuan akhir (Nibb�na) sehingga mereka langsung tancap gas ke latihan meditasi tanpa mengerti secara jelas dulu apa yang akan diraih dari meditasi mereka dan apa peran meditasi dalam mecapai tujuan akhir tersebut. Mereka lebih memilih mengikuti ajaran seseorang yang terkenal dalam bidang meditasi, tanpa secara cermat dan teliti menganalisa metode yang diajarkan tersebut terdahulu. Tanpa ragu, kita dapat mengatakan bahwa "analisa Dhamma" adalah sesuatu yang harus dimiliki dan dikembangkan dalam diri seorang Buddhis. Analisa Dhamma adalah faktor kedua dari 7 faktor pencerahan, yang merupakan persyaratan utama yang telah disebut dan dijelaskan oleh Buddha berkali-kali [SN 46.16].

Pandangan adalah sebagai landasan utama. Pandangan yang tidak sejalan dengan Dhamma akan menghasilkan pikiran yang juga tidak sejalan dengan Dhamma, kemudian menghasilkan perkataan dan perbuatan yang juga tidak sejalan dengan Dhamma. Dalam hal ini, seorang Buddhis seharusnya mengutamakan pandangan mereka. Secara umum, Buddhis atau tidak bukanlah dinilai dari berapa liontin Buddha yang ia pakai atau dari organisasi apa yang ia ikuti, akan tetapi dari pandangannya terhadap hidup ini.

Seseorang dapat meraih pandangan yang sesuai Dhamma dengan banyak cara. Semua hal ini juga telah dijelaskan oleh Buddha, antara lain, rajin dan teliti mempelajari Dhamma, bergaul dengan mereka yang hidup sesuai dengan Dhamma, sering merenungi dan menganalisa Dhamma [yang telah didengar/dibaca tersebut], dan berusaha hidup sesuai dengan Dhamma [SN 55.55].

Maka kalau kita kembali ke topik pembahasan kita, "Benar dan salah, sejauh itu saja kah?" tentu kita akan menarik kesimpulan bahwa Dhamma mengajarkan kita secara bertahap-tahap cara untuk menghindari hal-hal yang merugikan (yakni : hal-hal yang menjauhkan diri kita dari tujuan Dhamma), kemudian mengembangkan hal-hal yang meningkatkan kualitas kita demi meraih ketenangan batin dan kebijaksanaan (keduanya adalah syarat kebahagiaan sejati dalam Dhamma). Dan dalam konteks ini, benar dan salah hanyalah berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing kita ke tujuan, dan bukanlah sesuatu yang mutlak (tidak terkondisi). Yakni ia sendiri bukanlah tujuan, melainkan alat yang dipakai untuk mencapai tujuan. Dan pada akhirnya alat ini juga akan dilepaskannya.

Contohnya bila seseorang terlalu terikat pada apa yang benar dan salah, dan tidak mengerti tujuan yang lebih mendalam darinya, maka ia akan berdebat sengit dengan orang lain, "Yang ini benar, yang lainnya salah."

Dari pandangan ini, maka kebencian akan muncul. Sebagai Buddhis yang terpelajar, kita dapat menyimpulkan tanpa keraguan bahwa, "Apapun yang menghasilkan kebencian adalah dengan sendirinya tidak sesuai dengan Dhamma." Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan ekstrim seperti ini adalah tidak sejalan dengan Dhamma.

Jadi dalam hal ini, kita seharusnya memiliki pandangan yang sesuai dengan Dhamma, yang dapat melihat langsung pandangan-pandangan dangkal yang ekstrim tersebut, dan setelah itu melenyapkan pandanganpandangan ekstrim tersebut dari diri kita. Ingat, pergunakanlah Dhamma ini bagaikan rakit!


Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 09:16 PM.


no new posts