Login to Website

Login dengan Facebook

 

Post Reply
Thread Tools
  #1  
Old 22nd April 2012
jenglotman's Avatar
jenglotman
Ceriwis Pro
 
Join Date: Apr 2012
Posts: 2,007
Rep Power: 16
jenglotman mempunyai hidup yang Normal
Default Dokter lebih mulia daripada Dukun??..Yang Boneng Aja..Baca Dolo Neeh!!

Citra dokter yang sedemikian mulia ternyata sekarang menjadi momok sebagai penghisap uang dari pasien, sederet resep diberikan untuk pasien padahal resep itu tidak ada hubungannya dengan penyakit...



Ditambah lagi dengan segala cara untuk mengeruk uang pasien harus diadakan pengecekan kesehatan di laboratorium yang seharusnya tidak perlu...



ada sedikit unek2 dari ceriwiser juga di forum sebelah mengenai kebobrokan dan keburukan seorang yang mempunyai tugas mulia itu




[/spoiler]
Spoiler for open this:
Spoiler for open this:
for keluhan nitramm:




Originally Posted by nitramm

Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru meminta rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu, yaitu mengenai 'caveat venditor' (produsen/penyedia jasa berhati-hatilah) .



Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit demam berdarah (DBD). Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari saya tunggui, jadi sangat saya tau perkembangan kondisinya.



Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah 'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.



Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.



Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung & biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus & pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.



Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa lab macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.



Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite & nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.



Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.



Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter & saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.



Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.



Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal & sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai 3 menit saya hitung.



Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya

untuk menunggu dokter visite.



Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia perlukan & jadi racun di tubuhnya.



Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.



Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.











"Malpraktek bukan kejahatan atau penipuan, jadi jangan diadili dengan pengadilan biasa. Perlu ada UU khusus yang mengatur profesi dokter," papar Rizal, yang mengharapkan adanya impunity bagi dokter dari jeratan pidana dan perdata (KUHP dan KUHPerdata) di peradilan umum (Peradilan Negeri).




[spoiler=open this] for IDI:




Pernyataan tersebut disampaikan oleh IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) saat memberikan masukan terhadap pembahasan RUU Praktek Kedokteran di Komisi VII DPR, pada Selasa (25/05).



Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI Dr. Broto Wasisto menyatakan bahwa substansi RUU Praktek Kedokteran berkaitan dengan peradilan khusus kedokteran tidak sesuai dengan visi IDI. "Kami mengingini tidak menggunakan kata pengadilan, tapi menggunakan kata majelis kehormatan. Majelis yang sifatnya independen berada di luar pengadilan," jelasnya.



Sekadar tahu, peradilan khusus kedokteran yang diatur dalam RUU Praktek Kedokteran yang diajukan DPR berada di bawah lingkungan peradilan umum. Di luar itu, Broto mengatakan bahwa IDI menolak peradilan khusus kedokteran karena khawatir masalah tindakan pelanggaran disiplin oleh dokter akan dikriminalisasi.



"Kalau seorang dokter atau pegawai kesehatan masuk ke pengadilan itu bisa ada stigmatisasi, artinya bisa menimbulkan perasaan yang tidak baik pada orang itu. Jadi, seorang dokter itu sampai timbul masalah disiplin diselesaikan oleh majelis disiplin yang khusus bukan pada peradilan," tegas Broto.



Meski berpendapat demikian, IDI juga menyatakan tidak setuju dengan konsep komite disiplin yang dimuat dalam RUU Praktek Kedokteran yang diusulkan oleh pemerintah. Pasalnya, komite disiplin yang diusulkan RUU versi pemerintah berada di bawah koordinasi Konsil Kedokteran sehingga dikhawatirkan akan timbul conflict of interest.



Menurut Broto, Majelis Kehormatan Disiplin yang diinginkan IDI adalah komite yang otonom dan independen di luar Konsil Kedokteran maupun peradilan umum. Majelis tersebut, lanjutnya, bertugas memeriksa dan memutus kasus pelanggaran disiplin dokter.



Selain itu, Majelis Kehormatan Disiplin juga bertugas menyusun pedoman dan tata cara penangagan kasus pelanggaran disiplin serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan disiplin dokter.



Apakah dengan konsep Majelis Kehormatan Disiplin ini IDI hendak membuat korps dokter kebal hukum? "Tidak begitu. Kalau dia menyalahi hukum oke masukan peradilan yang berkaitan dengan hukum. Tapi, kalau dia kesalahannya adalah kesalahan masalah etik maka masuk ke majelis etik," kata Broto kepada pers.











Sedemikian hebat perlindungan yang dilakukan oleh IDI terhadap para anggotanya yang bersalah....



apakah profesi tersebut masih bisa dibilang mulia melihat banyaknya realita dan keluhan yang terjadi dilapangan???



silahkan para ceriwiser sendiri yang memberikan pendapat..

sumber:Masih Muliakan DOKTER???

NB: SEKARANG NEH DUKUN MOLO JADI SASARAN CACIAN..PADAHAL ENGKONG2 KITE JAMAN DULU KAGAK ADA DOKTER YG ADA CUMAN DUKUN TAPI ENGKONG2 KITE WARAS PANJANG UMUR..HARE GENE DOKTER BEJIBUN PENYAKIT MAKIN BANYAK,YG MATI JUGAK MAKIN BERGELIMPANGAN..WOI MOD JGN AMPE NEH TRIT LU TUTUP YEE..AWAS YEE..KALO AMPE LU TUTUP BERARTI LU KAGAK PANTES JADI MOMOD FORSUP..LU PANTESNYA JADI MOMOD DP (NEMENIN ZEZA..SORRYZOY..GW TAROK NAMA LU DIMARIH BIAR TOB) ATAWA MOMOD LATIHAN POSTINGAN..EITSS..MOMOD HEALTH & MEDICAL




Sponsored Links
Space available
Post Reply

« Previous Thread | Next Thread »



Switch to Mobile Mode

no new posts