Dahulu, Dr. Alfian pernah menengarai bahwa salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah terpecah belah dan sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini. Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih universal.
Namun adalah Hatta sendiri yang kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka. Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Mosca,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara alamiah melalui universitas - universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
Para alumni universitas-universitas ini bukan saja diharapkan loyal pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
