
Peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari yang artinya kalau guru memberikan contoh yang buruk maka muridnya akan berkelakuan lebih buruk lagi. Sekarang kalau peribahasa tersebut diartikan secara harfiah, hasilnya akan mengundang tawa sang murid, sang guru benar2 kencing didepan kelas.
Zaman sekarang, zamannya demokrasi, murid tidak selamanya mau menuruti gurunya. Seperti contoh perselisihan antara guru dan murid di Tanjungpinang, murid akhirnya kalah dengan kekuasaan, terpaksa mereka harus berhenti dari sekolah itu karena tidak ada kata damai lagi.
Demikian juga banyak terjadi, sang murid menjadi pelampiasan sex sang guru. Yang masih hangat dalam pemberitaan adalah kasus yang dihadapi oleh Anand yang menghadapi tuduhan pelecehan sexual oleh murid wanitanya.
Posisi guru memang dilematis, disatu sisi dia adalah harapan terbentuknya generasi bangsa, dilain sisi harus pula dibebani dengan urusan kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan pendidikan anaknya sendiri. Mungkin lebih tepat, guru harus terkencing2 mendengar beban biaya yang harus ditanggungnya untuk pendidikan anaknya. Bayangkan saja, universitas negeri saat ini sudah mulai menjaring murid, tapi uang masuknya paling murah berkisar Rp. 40.000.000,- s/d Rp. 50.000.000,-. Demikian juga Universitas swasta, sudah mulai penerimaan mahasiswa baru dengan mengharuskan setor paling sedikit Rp. 20.000.000,- dengan resiko uang hilang kalau tidak jadi masuk universitas itu.
Selepas pendidikan yang biayanya mahal itu, persoalan belum selesai, lowongan kerja yang sempit membuat persaingan menjadi lebih ketat untuk menjadi PNS, tariff pun keluar dengan sendirinya antara Rp. 100 juta sampai Rp. 150. juta. Kalau dipikir2 zaman orde baru dulu, masuk PNS cukup pake koneksi sudah dapat masuk menjadi PNS. Sekarang ini, katanya walaupun pake koneksi juga harus tetap bayar, koneksi tidak berlaku, duit yang berlaku.