|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() Likenya boleh kakaaa... Disadari atau tidak, "Like" bisa dikatakan lebih mahal daripada sebuah gengsi. Bahkan "Like" mulai bertransformasi menyaingi harga diri manusia. Kok bisa? Tunggu, tunggu. Anda atau bahkan teman anda pasti pernah mengalami hal-hal seperti ini. ![]() Teman anda baru saja memposting sebuah foto di salah satu media sosial. Kemudian teman anda ini meminta anda untuk "like" fotonya. Entah tujuannya untuk apa, tapi kenapa untuk menyukai suatu hal harus dipaksa? Atau, anda baru saja masuk ke dalam suatu mall ternama di Jakarta. Sebutlah anda sedang makan di salah satu restoran di sana. Kemudian teman anda bilang, "gue update di path ya, tapi gue updatenya di stirbuk aja, biar keren." Memang, tidak masalah sebenarnya. Bahkan update path di wc umum pun tidak ada salahnya. Tapi kenapa harus di stirbuk? Padahal kita tidak benar-benar ada disana. Apakah dengan pamer bahwa kita sedang minum kopi seharga 50ribu itu berarti kita keren? Bahkan sampai harus menipu demi sebuah gengsi? Kenapa kita harus jauh-jauh ke mall untuk menipu orang lain? Sekalian saja kita update di Camp Nou, padahal kita sedang tidur-tiduran di kamar. ![]() Suka atau tidak, media sosial mulai mengalami pergeseran fungsi, yang awalnya hanya alat komunikasi kini menjadi sarana pamer orang-orang "kebelet eksis". Awalnya fitur "like" diciptakan sebagai pemanis media sosial. Tapi justru sekarang menjadi sebaliknya. Like menjadii raja. Bahkan menguasai diri kita sendiri. ![]() Mungkin di mindset kita, foto yang diupload di media sosial harus punya banyak like. Bahkan mungkin kita sudah membuat standarisasi minimal like foto. Yang berarti apabila kita memposting foto selfie, dan sedikit like, artinya foto tersebut gagal. Entah mungkin kita kurang cantik, atau bajunya harus dibuat lebih ketat dan lebih seksi. Padahal, fungsi media sosial adalah untuk membagikan momen-momen di dunia nyata, ke dunia maya. Tapi sadar atau tidak, justru saat ini kedua hal itu menjadi terbalik. Tidak, tidak. Saya tidak ingin mempermasalahkan "kebelet eksis" atau antek-anteknya. Tapi ada satu hal yang menggangu saya. ![]() "Kita menjalani dunia nyata dan mengabadikannya di dunia maya, atau kita menjalani dunia maya dan mengabadikannya di dunia nyata?" Nyatanya, ketika sedang bersama kawan, pacar, keluarga, kita sering sibuk dengan smartphone kita. Yang berarti kita sedang mengabadikan dunia maya di dunia nyata. Berhenti berwacana hanya di media sosial. Berhenti caci-maki di media sosial. Buat sebuah aksi, biarpun kecil, dan tidak dilihat banyak orang sekalipun. Large Image Link (332 kB) "Karena sebuah revolusi tidak akan lahir dari tempat tidur (dan smartphone)." Merasa JLEB nggak? Alah..nggak usah malu-malu gitu deh untuk mengakuinya. Sebarkan artikel ini di media sosialmu, dan lihat apakah teman-temanmu yang lain juga merasa JLEB. |
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|