Large Image Link (741 kB)
Beberapa tentara mencari Sumardi, seorang aktivis Pemuda Rakyat pada 1965 di Solo, Jawa Tengah.
“Mana Sumardi PKI, mana Sumardi PKI,” bentak tentara pangkat rendahan dari Jakarta. Sumardi tak di rumah, yang ada istrinya.
“Sumardi ndak ada, Pak,” jawab sang istri.
“Kamu PKI juga, ya?!” lagi-lagi tentara itu menbentak.
“Ndak, Pak, saya garwane.” (Bukan, Pak, saya istrinya)
“Apa?! Gerwani?! Tangkap dia!” teriak tentara.
Maaf, jangan berburuk sangka dulu kepada saya. Saya tidak sedang
melecehkan korban kekejaman pasca peristiwa G 30 September 1965. Sebab sesungguhnya memang ada sejumput humor di balik horor peristiwa 1965. Termasuk
sense of humor seorang tahanan politik yang ternyata berperan penting dalam mempertebal daya tahan hidup di tengah penindasan.
Ada sebuah kisah. Pada 24 Juli 2005 lalu, digelar acara “Temu Rindu Menggugat Senyap” yang bertempat di pelataran SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), Bugisan,
Yogyakarta. Para perempuan lanjut usia korban tragedi 1965 yang berasal dari berbagai kota di Jawa berkumpul. Mereka berasal dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Purwokerto, Cilacap, Kebumen, Klaten, Boyolali, Blitar, Surabaya, dan Jakarta. Para ibu ini, yang tertua di antara mereka berusia 96 tahun, hadir tanpa embel-embel organisasi, baik organisasi masa lalu maupun masa sekarang. Mereka hanya punya satu tujuan: berjumpa teman-teman yang telah bertahun-tahun terpisah.
Lebih dari 300 perempuan lanjut usia eks-tahanan politik LP Plantungan itu saling berpeluk-cium ketika bersemuka, menitikkan air mata, sambil mensyukuri kabar masing-masing dengan sikap jenaka. “Oalah… kowe ki isih urip to. Tak daraki wis mati!” (Oalah, kamu ini masih hidup
tho. Aku kira sudah mati!).
Dari acara “Temu Rindu Menggugat Senyap” di Yogya tersebut, saya lantas mendapati fakta bagaimana humor menjadi hal yang sangat penting bagi proses pemulihan dan penguatan para tapol. Berikut ini salah satu contoh lain tentang lelucon yang terjadi di antara sesama tapol ketika di penjara. Saya ambil dari status Facebook salah seorang tapol di Pulau Buru,
Tedjobayu Sudjojono.
AD ASTRA PER ASPERA (kubuat di Unit I, Inrehab Buru)
Oey Ting Han doktoral Fakultas Kehutanan UGM hari ini sakit. Bersama Pronodi, Mas Kardi dan Bung Nyarlan, aku mengantarkan Ting Han ke rumah sakit. Begitu rutinnya kami-kami menghadapi sakit sehingga kita semua menganggapnya sebagai bahan bercanda. Bahkan yang sakit seperti Ting Han ini malah ikut-ikutan melucu. Ini mungkin yang menjadikan kami “survive”. Artinya semuanya kami jadikan bahan guyonan. Ya, habis digebuki, sakit keras, kaki luka kena kampak, kejatuhan pohon, menerima surat bahwa istri minta cerai, pacar yang menikah dengan orang lain, kematian, kehilangan; semuanya adalah hal yang tidak perlu dipikir secara serius.
“We bear it with an easy mind.” Memang sedih sebentar, tetapi sehari setelah itu kami telah melupakannya, tertindih oleh persoalan-persoalan lain yang datang kemudian. Dan kalau mau hidup, anggaplah semua itu sebagai lelucon yang tidak punya arti penting. Anggaplah semua itu sebagai variasi hidup yang harus dihadapi dengan hati lapang. Esok pagi semuannya akan berlalu dan cerah kembali. Ad Astra Per Aspera., lewat penderitaan mencapai bintang!
Kalau dipikir, kadang-kadang guyonan kami memang keterlaluan untuk ukuran orang normal. Suatu hal yang biasa seorang teman yang sakit keras dan diopname, salah satu teman yang menengoknya membawa meteran untuk mengukur panjang badannya agar bisa dibuatkan peti mati dan lubang kubur. Sementara yang lain membuka petinya untuk membagikan pakaiannya kepada yang masih hidup. Yang sakit akan berteriak sejadi-jadinya sambil tertawa. Biasanya dia akan cepat sembuh karena merasa diperhatikan oleh kawan. Seolah-olah ia akan diingatkan,
“Kamu harus sembuh hanya dengan kemauan sendiri. Kalau kamu berkecil hati dan putus harapan, puyuh tempat tinggalmu!”
Seperti kami ketahui bersama, ada sebuah koppel rumah yang tidak kami pakai. Kavlingnya lalu kami buat untuk tempat pemakaman yang berada di jalan antara Unit I dan Air Mendidih. Jalan itu kami namai Jalan Puyuh. Kami yakin Tuhan pasti menjaga hamba-hambanya yang memiliki kemauan keras untuk hidup. Bukan manusia-manusia lemah yang tidak memiliki harapan dan memandang hari esok sebagai hari dengan cuaca mendung yang diliputi awan hitam
Contoh lainnya juga sempat ditulis Martin Aleida dalam
“Cekikikan Bersama Pram”, tentang sisi humor P
ramoedya Ananta Toer yang mana selama ini dikenal sebagai pribadi yang sangat serius.
Suatu hari, kawan-kawan Pram mengerubung kembali, laksana merpati pulang ke sarang. Mencari Pram di rumahnya.
“Ada apa ini?” bingung Pram bertanya kepada mereka.
“Lho, kan Bung dapat hadiah Magsaysay. Dapat 350.000 dolar Amerika!” jawab seorang.
“Itu kan pengakuan terhadap saya,” tangkis Pram.
“Lah.. Bung di Buru kan tidak kerja…!” sahut seorang lagi.
“Kami yang bekerja untuk Bung. Yang membelikan rokok saya!” letup yang lain.
“Saya yang membawa telor dan sayuran untuk Bung!”
“Saya yang memperbaiki mesin ketik kalau rusak!”
“Bung jangan lupa, saya yang menyelamatkan manuskrip Bung. Ingat, kan saya yang menyelundupkannya ke Namlea. Kalau tidak dunia bebas takkan bisa membacanya!”
Pengalaman saya di lima penjara yang ‘hanya’ dua tahun juga membuktikan bahwa humor sangat membantu menjaga kewarasan. Saat menonton televisi di dalam tahanan, misalnya, saya tak pernah tersinggung ketika
host sebuah acara mengatakan, “Jangan kemana-mana setelah pesan-pesan berikut ini.” Dipikirnya saya bisa kemana-mana ‘gitu? Kurang ajar. Tetapi, saya percaya, “stel kendo” atau
nyantai adalah cara terbaik menghadapi penindasan.
Tulisan ini akan saya pungkasi dengan cerita kawan saya, seorang kriminal abal-abal, di Rutan Salemba. Suatu saat ia menjambret di sebuah pasar. Ia lalu dikejar massa sambil diteriaki “jambret, jambret tangkap!” Ia terus berlari. Namun, ketika ada yang mulai teriak “PKI tangkap, PKI tangkap!” ia mendadak berhenti, lalu berkata kepada orang-orang yang mengejarnya:
“Saya memang jambret. Tapi saya bukan PKI!”