FAQ |
Calendar |
![]() |
|
News Semua berita yg terjadi di dunia internasional ataupun lokal diupdate disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() lustrasi BPJS Kesehatan (Istimewa) Jakarta- Tingginya minat masyarakat untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan terus melonjak sejak tahun pertama beroperasi. Hingga pertengahan Juli 2015, jumlah peserta sebanyak 148,5 juta jiwa dan ditargetkan mencapai 168 juta hingga akhir tahun. Sementara pembayaran klaim fasilitas kesehatan (faskes) sendiri mencapai Rp 4 triliun sampai Rp 4,5 triliun tiap bulannya. Tingginya pengguna Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada 2014 menyebabkan keuangan BPJS Kesehatan defisit. Klaim membengkak, lebih besar daripada premi yang diterima. Ini yang disebut mismatch antara iuran dan pengeluaran. Kondisi ini sudah diprediksi sebelumnya. Mismatch pada tahun 2014 dilaporkan mencapai Rp 3,3 triliun, dan untuk menutupi kekurangan tersebut BPJS Kesehatan sudah punya dana cadangan limpahan dari PT Askes sebesar Rp 5,67 triliun. Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengatakan, mismatch diperkirakan masih terjadi di tahun 2015, bahkan angkanya mencapai Rp 6 triliun. Untuk mengatasi ini, pemerintah telah menyuntikan dana sebesar Rp 5 triliun dari APBNP 2015. "Selain dengan dana talangan ini, BPJS Kesehatan juga melakukan upaya pengendalian dan intensifikasi penerimaan iuran guna mencegah terjadinya defisit," kata Irfan Humaidi di Jakarta, Kamis (31/7). Upaya pengendalian itu di antaranya memastikan bahwa tidak ada upcoding dan potensi fraud atau kecurangan di rumah sakit. BPJS Kesehatan juga menetapkan masa aktif kepesertaan menjadi 14 hari dengan tujuan meningkatkan iuran peserta. Selain itu mendorong terlaksananya sistem rujukan berjenjang. Artinya, 144 diagnosa atau penyakit yang tergolong ringan cukup ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), tidak dilimpahkan ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL). BPJS akan memberlakukan penguncian 144 diagnosa di dalam aplikasi pelayanan di faskes. Dengan dikunci dalam aplikasi, maka 144 diagnosa ini diselesaikan di Puskesmas atau klinik, tidak perlu di rujuk ke rumah sakit. Itu artinya, 144 diagnosa ini, seperti batuk flu, diare tanpa dehidrasi berat tidak akan dilayani di FKTL tetapi dikembalikan ke FKTP. "Selain itu, untuk kasus persalinan normal diupayakan semaksimal mungkin di FKTP. Sebab, pada dasarnya kompetensinya sudah ada di FKTP dan sudah berjejaring dengan bidan. Kecuali persalinan dengan penyulit," kata Irfan. Saat ini belum semua faskes melakukan mekanisme ini karena kemampuan sarana pendukung dan tenaga kesehatan belum merata di seluruh daerah baik secara kualitas maupun kuantitas. Harapannya di tahun depan sistem ini sudah diberlakukan secara merata di seluruh daerah. Sistem rujukan berjenjang sendiri bertujuan untuk kendali biaya dan kendali mutu. Untuk kepentingan peserta, mereka terdaftar di FKTP dekat tempat tinggalnya, sehingga tidak perlu jauh ke rumah sakit. Juga tidak perlu mengantre di rumah sakit bila penyakitnya bisa diselesaikan di FKTP. Sistem rujukan juga mengoptimalisasikan kompetensi tenaga kesehatan (nakes) yang ada di FKTP dan FKTL. Sebab, bila 144 diagnosa bisa diselesaikan oleh nakes di FKTP, nakes di FKTL lebih mengintensifkan pelayanan kepada pasien yang kritis dan kronis. Bila semua rujukan ini berjalan, menurut Irfan, pelayanan di rumah sakit juga menjadi optimal. Misalnya, di rumah sakit tipe C dan D saat ini sekitar 20% sampai 30% kasus yang ditangani sebetulnya bisa diselesaikan di tingkat FKTP. Bila kasus yang banyak ini dikembalikan ke FKTP, dokter di rumah sakit tipe C dan D lebih intens dan fokus pada pasien yang memang membutuhkan penanganan lanjutan atau spesialis. Pasien yang kritis tidak harus lama mengantre dengan pasien yang sebetulnya bisa diobati di FKTP. |
![]() |
|
|