FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Jakarta - Indonesia, baik pemerintah dan rakyatnya, sedang dirundung banyak masalah terkait kenaikan harga dan pesimisme akan masa depan. Cendekiawan Yudi Latif, menuding hal itu terjadi karena prinsip gotong royong seperti dinyatakan di Pancasila tak dilaksanakan. Padahal, kata dia, Presiden RI pertama, Soekarno, sudah pernah menunjukkan contoh bagaimana harus melewati semua masalah. Dengan gotong royong, dalam 10 tahun, Soekarno berhasil membawa Indonesia sebagai salah satu pemimpin di Asia Afrika. Menurut Yudi, tak ada kata lebih buruk dibanding pesimisme, sama seperti yang dirasakan Pemerintah dan Masyarakat Indonesia saat ini. "Seorang psikolog bilang, bahwa optimisme yang mendorong keberhasilan, bukan sebaliknya. Bangsa inipun dibangun atas dasar optimisme. Negara ini dibangun atas dasar politik harapan, bukan politik ketakutan," kata Yudi saat acara Silaturrahmi dan Buka Puasa bersama dengan 100 tokoh pemuda dalam rangka memperingati Bulan Bung Karno di Kantor TMP, Menteng, Jakarta, Sabtu (28/6). Kata Yudi, APBN Indonesia saat ini sudah mencapai lebih dari Rp 2000-an trilliun, dan banyak yang merasa itu sangat kurang. Padahal, saat Republik Indonesia pertama kali didirikan pada 1945, kas negara saat itu kosong. "Kas negara saat itu nol. Usai dilantik jadi Presiden, Bung Karno itu pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki. Karena tak ada uang. Dia berjalan dengan kawan-kawannya, lalu melihat tukang sate. Dia lalu memesan 50 sate, dan duduk di pinggir got. Itulah cara dia merayakan diri menjadi presiden," kata Yudi. Sudiro, salah satu tokoh pemuda saat itu, lalu melihat presidennya berjalan kaki. Kata Yudi, Sudiro merasa dirinya tak patriotik karena membiarkan presidennya berjalan kaki. Dia lalu menyetop sebuah mobil merek Buick milik pejabat jawatan kereta api Jepang. Saat itu, mobil itulah yang terbaik yang ada di Jakarta. "Oleh Sudiro, mobil itu diambil dan si supir yang orang Jawa diajak untuk mempersembahkannya untuk presidennya. Entah kenapa si supir juga setuju," kata Yudi. "Setelah dapat supirnya, mobil Buick itu dibawa ke belakang halaman rumah Bung Karno. Sekarang mobil itu ada di Gedung Joeang, Jakarta. Itulah mobil yang didapat dengan menjambret dan dilakukan secara gotong royong," jelas Yudi sambil tertawa. Kata Yudi, begitulah kondisi republik ketika awal berdiri. Namun, 10 tahun kemudian di 1955, Soekarno berhasil membawa Indonesia jadi pemimpin Asia Afrika dengan pelaksanaan Konferensi. Menurut Yudi, karakter Soekarno yang kuat menjadi jawaban semua keberhasilan itu, hingga Sultan Yogyakarta bersedia menyumbang 2 juta gulden untuk kas republik. Ada juga Sultan Syarif Kasim dari Riau yang sudah kaya sejak dulu, dan bersedia menyumbangkan kekayaannya pada negara. Kepada keturunannya dia meminta agar jangan pernah meminta kembali harta kekayaan itu dari negara, walau setelah itu dia dan keluarganya jatuh miskin. "Di Aceh, Bung Karno terbang, menemui para ulama dan kyai yang menyumbang emas batangan. Sultan Bone dan sultan-sultan lain juga melaksanakannya. Itu masih sumbangan material. Belum yang lain," kata Yudi. "Tanpa semangat gotong royong itu, Indonesia merdeka akan berdarah-darah. Tapi dengan semangat pengorbanan dan gotong royong, hasilnya tak buruk-buruk amat." Bagi Yudi, kondisi saat ini takkan sulit apabila semua bersedia menambahkan semangat gotong royong dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, demi kepentingan bersama. "Indonesia itu kaya. Tapi kalau kita hanya memperjuangkan kepentingan kelompok dan pribadi, apapun yang dimiliki negara ini takkan ada artinya. Tetapi bila kita gotong royong, itulah yang akan membuat kita menjadi bangsa besar. Sama seperti BK yang dalam 10 tahun bisa memimpin Asia-Afrika, membuka jalan bagi Indonesia menjadi pemain besar di tataran dunia," tandasnya |
![]() |
|
|