|
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Oleh: Komunitas Peta Hijau Jakarta Menjelang akhir bulan Oktober 2009, komunitas Peta Hijau Jakarta menggelar diskusi dengan tema �Kaitan Situ/Danau dan Krisis Air di Jakarta.� Diskusi yang digelar di Newseum Caf�, Jl. Veteran I, Jakarta ini berlangsung di Sabtu siang, 24 Oktober 2009. Dua pembicara menghangatkan ruang Newseum saat itu. Para pembicara yang hadir adalah Fatchy Muhammad dari Masyarakat Air Indonesia (MAI) dan Heri Syaefudin, seorang penggiat di Situ Pengasinan, Depok. Dan dimode-ratori oleh Shanty Syahril dari Peta Hijau Jakarta. Fatchy dalam paparannya mengritik para perencana kota di Indonesia yang mengikuti warisan pola pikir ahli- ahli dari Belanda masa lalu. Contohnya Jakarta dalam mengatasi banjir tahunan, air hujan yang berlimpah selalu dibuang ke laut lewat kanal-kanal sungai yang ada. Pembangunan proyek Banjir Kanal Timur demi mengatasi banjir di Jakarta adalah mencerminkan hal ini. Pola pikir yang sama juga dianut sebagian besar masyarakat kita ketika membangun rumah. Curahan air hujan yang jatuh di atap, diarahkan untuk masuk ke talang, lalu dari talang disalurkan ke parit/got. Dari parit pun mengalir ke sungai yang akhirnya berujung di laut. Padahal menurut Fatchy, air hujan mestinya �dita-nam� ke dalam tanah dan nantinya akan menjadi air tanah yang bisa dimanfaatkan. Karena air hujan pada dasarnya adalah air bersih, berupa air tawar. Dan cara �bertanam� air hujan ini adalah lewat sumur resapan (atau bisa juga dengan lubang biopori, namun sumur resapan lebih cepat dan efektif dalam menyerap air hujan ). Masyarakat Air Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini aktif mengampanyekan sumur resapan, sebagai salah satu solusi mengatasi banjir dan kelangkaan air tanah. Struktur tanah Jakarta sebenarnya cukup ideal untuk menyimpan air tanah. Menurut Fatchy, lapisan tanah Jakarta terdiri dari tanah liat dan pasir hingga 8 lapis. �Pasir adalah ideal untuk menyerap air,�ucapnya di depan peserta diskusi. Karena itu dia menyarankan bila membuat sumur resapan, hendaknya digali kedalamannya sampai menemukan lapisan pasir. Ketika nantinya air hujan yang dialirkan ke sumur resapan ini, dengan cepat lapisan pasir menyerap air tersebut. Tidak hanya sekedar berteori, Fatchy membuat sumur resapan di rumahnya. Di halaman rumahnya yang luas, dia membuat beberapa sumur resapan yang secara kasat mata tidak kelihatan, karena ada di bawah taman yang asri. Air hujan sederas apapun, semuanya mengalir ke dalam sumur resapannya. Tidak ada yang terbuang ke parit di luar halaman rumahnya. Menurutnya, biaya pembuatan satu sumur resapan kira-kira 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Dalam peraturan daerah Jakarta sebenarnya setiap bangunan rumah diwajibkan membuat sumur resapan. Namun aturan tetap aturan. Tidak banyak pemilik rumah yang membuat sumur resapan ini dan tidak ada tindakan tegas dari petugas Pemda soal ini. Konsep sumur resapan ini bisa diterapkan dalam manajemen tata air kota Jakarta. Menurut Fatchy, program membuat Banjir Kanal Timur bukanlah solusi yang tepat, karena air hujan terbuang percuma ke laut. Menurut dia, banjir di Jakarta bisa dihindari bila membuat banyak sumur resapan di Jakarta. Solusi lain sungai-sungai yang ada (ada 13 sungai di Jakarta), dikeruk kedalamannya hingga ketemu lapisan pasir. �Bukan dengan ditanggul semen kiri kanannya, yang justru menghambat penyerapan air ke tanah, �kata Fatchy. Bila kiri kanan dinding sungai adalah lapisan pasir, air sungai yang meluap tidak akan terjadi karena akan selalu terserap ke dalam tanah. Membuat situ/danau baru juga bisa menjadi solusi mengatasi kelangkaan air tanah. Situ/danau berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Namun sayangnya, banyak situ di Jakarta yang makin hari makin beralih fungsi menjadi perumahan ataupun pusat perbelanjaan. Pembicara kedua adalah Heri. Sejak awal tahun 2000-an Heri aktif mengonservasi Situ Pengasinan di Depok. Awalnya Heri yang sedang studi lanskap ini, prihatin melihat kondisi Situ Pengasinan yang kotor, penuh dengan sampah. Lalu dia berinisiatif membeli sebidang tanah di sekitar Situ tersebut. Dia menata lahannya menjadi asri, dilengkapi dengan berbagai fasilitas wisata, seperti tanaman hias, jogging track, outbound dll. Pada penduduk secara perlahan Heri melakukan pendekatan ke penduduk sekitar. Awalnya sulit, Heri dicurigai macam-macam. Namun lama kelamaan, penduduk sekitar Situ Pengasinan memahami pentingnya menjaga Situ. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mereka pun memulai usaha tanaman hias yang berkaitan erat dengan keberadaan Situ. Hingga sekarang akhirnya daerah Situ Pengasinan terkenal sebagai sentral pedagang tanaman hias. Keberhasilan pengelolaan Situ Pengasinan oleh masyarakat sekitar ini kemudian dijadikan percontohan oleh Pemda Depok. Banyak tamu-tamu dari luar Depok yang berkunjung ke Situ ini untuk belajar. Di daerah Depok sendiri akhirnya terbentuk forum antar masyarakat di sekitar situ (di Depok cukup banyak situ/danau alam). Dan mereka sendirilah yang berjuang mempertahankan dan memelihara situ. Berbagai tanggapan dan respon dari peserta diskusi. Umumnya mereka mendapat wawasan baru soal tata kelola air di Jakarta ini. Masih banyak hal lagi yang ingin diketahui, namun karena keterbatasan waktu, maka pada pukul 17.00 WIB diskusi pun ditutup oleh moderator. sumber: http://www.biruvoice.com/berita/kron...air-hujan.html
__________________
Semoga Ceriwis Makin Rame Ya
![]() |
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|