FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Save Our Planet Forum diskusi tentang penyelamatan lingkungan hidup, tips, dan ide untuk GO Green |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
|||
|
|||
![]() SUMBER ![]() Suprapti, petani organik dari Samigaluh Oleh IDHA SARASWATI KOMPAS.com- Lulus kuliah sebagai sarjana pendidikan 18 tahun lalu, Suprapti memilih menjadi petani. Namun, bekal ilmu mendidik agaknya masih membekas kuat sehingga dia lalu menjadi petani yang menjadi rujukan bagi petani lainnya. Ia menularkan pengalamannya mempraktikkan pertanian alami kepada masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Ditemui di Madrasah Tsanawiyah Negeri Sidoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Suprapti tengah menilai siswa yang mengikuti ujian praktik membuat pestisida alami dari daun dan buah-buahan. Ada siswa yang membuat pestisida dari umbi gadung, cabai, bawang putih, hingga daun kenikir. Kepada setiap kelompok, ia menanyakan bagaimana proses pembuatan pestisida itu atau bagaimana cara penggunaannya. Meski Suprapti sesungguhnya bukan guru di sekolah itu, berkat kegigihannya mempraktikkan sekaligus mengampanyekan pertanian alami, pengelola sekolah mengundangnya menjadi guru ekstrakurikuler. Selama berada di sekolah itu, Suprapti bersama sejumlah guru lainnya tidak hanya mengajarkan cara membuat pestisida alami kepada siswa. Ia juga mengajak siswa mengonservasi lingkungan sekolah yang berlokasi di lereng Bukit Menoreh itu, dengan menanam pohon yang bisa menyimpan air dan membuat kompos. Para siswa diajaknya dekat dengan alam. Segala hal yang dia ajarkan kepada siswa juga dipraktikkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebagai petani, Suprapti dan suaminya, Purwohadi (45), yang memiliki sawah seluas 1.000 meter persegi telah berhenti menggunakan pupuk dan pestisida kimia sejak tahun 2005. Keduanya juga memutus rantai ketergantungan terhadap produsen benih. Caranya, mereka menangkarkan sendiri benih padi dan sayuran lain yang ditanam di areal tanah tersebut. Untuk menjamin ketersediaan pestisida, pekarangan rumahnya yang terletak di Dusun Bleber, Sidoharjo, Samigaluh, Kulon Progo, tampak asri dengan berbagai jenis tanaman. Ada pohon kleresende, manding, dlingo, hingga kelapa yang bagian-bagian pohonnya bisa dimanfaatkan sebagai pestisida alami. Pestisida alami itulah yang ia bawa ke sawah untuk membasmi serangga yang mengganggu padi. ”Pokoknya, kami mandiri, mulai dari benih, pestisida, hingga pupuk,” katanya. Praktik semacam inilah yang kemudian dia tularkan kepada tetangganya, sesama perempuan petani yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Nusa Indah. Untuk praktik pertanian alami pula, Suprapti menjadi pendamping bagi enam kelompok tani lain di wilayah Desa Sidoharjo dan sekitarnya yang mayoritas beranggotakan laki-laki. Alhasil, sawah dan rumahnya menjadi tujuan bagi kelompok petani dari berbagai daerah di Indonesia yang ingin belajar tentang pertanian alami. Berhenti dari guru honorer Ketika lulus kuliah tahun 1992, Suprapti pernah menjadi tenaga guru honorer di sebuah sekolah menengah pertama di Bantul, Yogyakarta. Namun, ia merasa tidak betah bekerja dalam ruangan sehingga memutuskan berhenti merintis karier sebagai guru. Dia lalu mengubah haluan dengan menggeluti pertanian. Suprapti bergabung dengan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) di Kulon Progo. Keinginan menggeluti pertanian itu berawal dari pengalamannya saat melihat kehidupan petani di daerah pinggiran DI Yogyakarta. Petani dan nelayan tak bisa hidup sejahtera karena mereka tidak memiliki akses untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka kesulitan mencari modal usaha dan mendapatkan peluang pasar. Bersama KTNA, dia kerap mengikuti berbagai pertemuan petani berskala nasional. Dia juga belajar dari cara hidup petani dan komunitas tani lain di berbagai daerah. Dari situlah ia lantas memutuskan untuk total menjadi petani pada tahun 2000. ”Saya mulai turun ke sawah sejak saat itu. Saya tidak merasa malu dengan predikat petani,” katanya. Kelompok wanita Hasil belajar dari petani di berbagai daerah itu dia bawa ke dusunnya. Sebagai Ketua KWT Nusa Indah, Suprapti mengajak anggotanya mempraktikkan pertanian alami yang dipadukan dengan peternakan. Pola ini ternyata mampu meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok itu. Selain itu, kelompok ini juga memiliki bank kompos. Setiap tiga bulan sekali, para anggota KWT Nusa Indah menabung pupuk kompos sebanyak 25 kilogram. Kompos yang terkumpul diolah bersama. Hasilnya sebagian besar digunakan untuk memupuk lahan yang dikelola kelompok, sisanya dijual sehingga mereka pun mendapat penghasilan tambahan. Tak berhenti di sawah dan lahan pekarangan, bersama KWT Nusa Indah Suprapti merambah urusan dapur. Mereka mengubah cara memasak dengan menggunakan tungku hemat energi. Teknologi tungku sederhana itu dipelajarinya dari Lembaga Swadaya Masyarakat Dian Desa. Dengan tungku itu mereka tetap memasak dengan menggunakan kayu bakar. Namun, kayu bakar yang terpakai jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sebelumnya. Tungku juga dilengkapi cerobong asap sehingga asap pembakaran langsung keluar ke pekarangan yang dipenuhi pepohonan. “Karena membutuhkan kayu, otomatis kami juga perlu menanam pohon. Ini berarti kami pun menghijaukan lingkungan. Cara ini jauh lebih hemat daripada kalau kami menggunakan gas, apalagi minyak tanah,” kata Suprapti, yang puluhan anggota kelompoknya telah berhasil memiliki dua sampai empat ekor kambing. Beranjak dari urusan tungku, ia menggagas pembuatan tempat cuci piring. Tempat cuci piring itu dinilai lebih ramah bagi perempuan karena mereka bisa mencuci piring dalam posisi duduk atau berdiri, bukan jongkok seperti selama ini. Belakangan ini, sejumlah petani miskin di Dusun Bleber telah memiliki tempat cuci piring meskipun rumah mereka umumnya masih berlantai tanah. Siklus alam Suprapti menuturkan, manusia bisa hidup nyaman dengan menuruti siklus alam. Pertanian alami yang dikombinasikan dengan peternakan menjadi jawabannya. Hasil dari pertanian itu dimanfaatkan untuk pakan ternak. Sebaliknya, kotoran ternak dia manfaatkan untuk memupuk tanaman. Siklus itulah yang mendorong para perempuan petani di dusunnya menanam aneka jenis tanaman sehingga berdampak positif bagi lingkungan. Ketika tanaman tumbuh subur, sumber-sumber mata air di Bukit Menoreh yang tandus akan terhindar dari kekeringan. Jika tanaman tumbuh subur, longsor di perbukitan Kulon Progo diharapkan tak lagi mengancam. SUPRAPTI • Lahir: Sleman, DI Yogyakarta, 12 November 1966 • Pendidikan: Sarjana Pendidikan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Yogyakarta, 1992 • Suami: Purwohadi (45) • Anak: Riana Devi Purwandari (15) Last edited by papaBear; 19th June 2010 at 11:17 AM. |
#2
|
||||
|
||||
![]()
namnya suprapti kaya kepsek di skul ane,hahah
|
![]() |
|
|