Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > Misteri, Horror, Supranatural > Cerita Horor

Cerita Horor Kumpulan cerita-cerita mistis yang dibagikan sesama ceriwiser.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 7th June 2010
blueparadise's Avatar
blueparadise blueparadise is offline
Super Moderator
 
Join Date: Jun 2010
Posts: 5,258
Rep Power: 114
blueparadise has disabled reputation
Default Dikejar Arwah Istri

Daeng, 45 tahun, adalah seorang merbot alias pengurus masjid di sebuah desa di pedalaman Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tak hanya menjaga kebersihan masjid serta berbagai fasilitas pendukungnya, hampir setiap waktu sholat tiba, suara Daeng juga selalu terdengar di pengeras suara masjid itu. Memang, suaranya dalam melantunkan adzan tak sebagus seorang santri jebolan pesantren. Namun, kehadiran Daeng, terutama bila tiba waktu subuh, cukuplah untuk menandakan bahwa masih ada kehidupan di masjid itu. Syukur-syukur kalau ada 3 atau lima orang makmum yang datang untuk sholat berjamaah bersamanya. Maklum saja, keadaan kampung tempat Daeng tinggal memang sepi. Kaum pria dewasa umumnya bekerja ke Jakarta, atau kota-kota lain di sekitarnya, untuk menafkahi keluarga mereka. �Kadang-kadang saya merasa malu pada diri saya sendiri. Jujur saja, kemampuan ilmu agama yang saya miliki sebenarnya cuma pas-pasan saja. Tapi karena tidak ada yang lain, saya kerap dituakan dalam urusan agama. Ya, saya harus menerimanya, sebab mungkin hal ini sudah menjadi ketentuan Yang Diatas,� cerita Daeng, merendah.
Menurut Dimas, seorang sahabat yang memperkenalkan Misteri dengan Daeng, sosok ustadz sederhana ini sesungguhnya bukanlah warga asli kampungnya. Dia adalah seorang perantau dari daerah Bugis, Makasar. Daeng tinggal di kampung itu sejak menikah dengan Aminah, janda beranak dua. Disamping menjaga kebersihan masjid dan mengajar ngaji anak-anak setempat, Daeng juga rajin bercocok tanam palawija di lahan milik Aminah yang merupakan peninggalan dari suaminya terdahulu, yang meninggal akibat disambar petir.
Di balik kehidupannya yang amat bersahaja, Mang Ustadz, demikian dia akrab disapa oleh murid-murid kecilnya, sesungguhnya tokoh yang Misteri samarkan sebagai Daeng ini menyimpan sebuah pengalaman yang amat mendebarkan. Bahkan mungkin tak hanya mendebarkan, tapi sekaligus juga sadis, horor, dan amat mencekam. Seperti apakah jalan hidup Daeng? Berikut ini sebuah kesaksian yang khusus dituturkan pria Bugis itu kepada Misteri�:
Mungkin, tak seorang pun menyangka kalau dulu aku adalah perompak yang sangat kejam. Wajahku memang lumayan tampan dan berkesan lembut. Tapi di balik itu, sesungguhnya aku mempunyai hati yang sekejam srigala. Tak dapat kuceritakan berapa banyak kapal-kapal dagang yang kubajak. Tak dapat pula kuhitung berapa banyak orang yang kulukai, atau mungkin kubunuh dan mayatnya kulemparkan ke laut untuk kemudian jadi santapan ikan.
Ringkasnya, perjalanan hidupku memang amat kelam, penuh dengan nafsu iblis. Tetapi entah kenapa, Tuhan memberikan jodoh untuk pria berhati srigala ini seorang perempuan salehah. Dia adalah putri seorang sesepuh di sebuah pulau kecil yang ada di perairan kepulauan Riau. Jamilah, sebut saja begitu namanya. Dia tak hanya salehah, tapi juga cukup cantik di mataku. Kalaulah dia sudi menjadi isteriku, mungkin semata-mata karena ayahnya merasa takut padaku, ditambah kemungkinan kedua adalah karena sang ayah mengharapkan harta kekayaan dariku. Yang pasti, apapun kenyataannya, sesungguhnya Tuhan telah memilihkan dia untukku. Bukankah jodoh, rejeki, juga kematian hanya ada di tanganNya?
Walau aku yakin Jamilah tak pernah mencintaiku, tapi dia selalu coba untuk memberikan pelayanan yang terbaik untuk aku suaminya. Dia menjalani bahtera rumah tangga dengan batin yang amat tertekan. Bukan semata-mata karena bersuamikan bajingan seperti diriku, tapi dia juga terpaksa harus terpisah dengan keluarga yang amat dicintainya, sebab aku memang selalu berpindah-pindah tempat. Ditambah lagi, dia juga harus hidup dalam ketakutan bila suatu saat suaminya mati atau tertangkap oleh penegak hukum.
Tuhan punya kehendakNya sendiri. Ketabahan Jamilah hanya bisa bertahan kurang dari dua tahun lamanya. Memasuki usia perkawinan tahun kedua, malaria menyerangnya. Perempuan bertubung kecil dengan kulit kuning langsat ini tak bisa melawannya. Berbagai ramuan obat tradisional yang kuberikan tak bisa menyembuhkannya. Manteri kesehatan dan dokter juga sudah berusaha mengobati, namun hasilnya nol. Mungkin satu-satunya jalan Jamilah harus dirawat di rumah sakit besar yang hanya ada di Ibu Kota propinsi. Tapi, aku tak mungkin bisa melakukannya sebab kala itu kelompokku tengah menjadi target operasi aparat berwajib. Karena itulah, aku dan seluruh anggota kelompokku harus pandai menyembunyikan diri. Kalau ada seorang saja yang tertangkap, keadaan pasti bisa gawat. Orang yang tertangkap itu dijamin takkan kuat menghadapi siksaan aparat. Ujung-ujungnya, dia akan �nyanyi� di hadapan aparat, sehingga keberadaan kelompokku pasti akan mudah digulung.
Karena ketakutan akan tertangkap oleh aparat berwajib itulah aku sampai berbuat nekad. Sungguh, sebuah kenekadan yang amat sulit dimaafkan. Ya, aku telah membunuh Jamilah, isteriku, dengan tanganku sendiri.
Ceritanya, waktu itu musim penghujan di akhir tahun. Pas tengah malam, malaria isteriku mendadak kambuh. Mungkin karena suhu udara yang dingin, sekali ini serangan malaria keparat itu begitu hebat. Jamilah menggigil sambil merintih-rintih. Berulang kali dia menyebut nama Allah, dan berulangkali pula dia meminta agar umurnya diakhiri sebab dia tak sanggup lagi menahan penderitaan yang dialaminya.
�Ya, Allah! Kau ambil saja nyawaku jika memang sudah tiba saatnya. Aku tak sanggup menahan penderitaan ini!� Begitulah kira-kira rintihan Jamilah dengan suara bergetar, seirama dengan getaran tubuhnya yang menggigil amat hebat.
Betapa jahat dan biadabnya diriku. Bukannya merasa iba melihat keadaan Jamilah yang tengah menderita akibat sakitnya, aku justeru mengambil tindakan yang amat sulit untuk dibayangkan. Aku merasa amat terganggu dengan rintihannya itu. Dalam keadaan setengah mabuk akibat pengaruh minuman keras, setan begitu kuat merasuk ke dalam otakku. Perlahan, kudekati Jamilah yang tengah menderita di balik selimutnya. Kuraba batang lehernya. Lalu�krak! Aku mencekiknya dalam seketika.
Jamilah menjerit tertahan. Matanya yang indah itu melotot menatap wajahku. Tangannya yang kurus berusaha menggapaiku, seakan ingin memberikan perlawanan, atau mungkin memohon dikasihani. Tapi hal itu tak berarti sama sekali. Dalam sekejap, nyawa telah meninggalkan tubuhnya.
�Apa yang Abang lakukan? Mengapa Abang�?�
Mendengar suara ini secepat kilat tubuhku berputar dan langsung menodongkan badik ke leher Murad, tangan kananku. Tak kusangka, Murad tiba-tiba muncul dan menjadi saksi pembunuhan sadis yang kulakukan.
�Kalau kau sampai membocorkan peristiwa ini kepada yang lain, kau pasti akan kubunuh, Murad!� Ancamku sambil menekankan ujung badik ke lehernya.
�A�aku janji tidak akan melakukannya, Bang!� Jawab Murad dengan tubuh menggigil ketakutan.
�Ingat, kalau ada yang bertanya, katakan saja bahwa Jamilah meninggal karena tak kuat menahan penyakit malarianya. Kau mengerti, Murad?�
�A�aku mengerti, Bang!� Jawab Murad sambil berusaha mendorong tanganku yang masih menekankan badik di lehernya.
Ketika peristiwa itu terjadi, gerombolanku memang tengah bersembunyi di sebuah pulau tak berpenghuni di perairan Riau Kepulauan. Maksudnya tak lain dan tak bukan adalah untuk menghindari kejaran aparat yang ketika itu memang tengah gencar mengadakan operasi penyergapan.
Keadaan serba darurat. Karena itu bisa dibayangkan bagaimana nasib jenazah perempuan malang yang telah kubunuh itu. Dia bukan hanya tidak bisa kami perlakukan sebagaimana mestinya pengurusan jenazah seorang muslim, yakni dimandikan dan disholatkan. Bahkan, kami pun tak bisa mengkafaninya. Kami hanya bisa membungkus mayatnya dengan selembar tikar usang, lalu menguburnya dengan tanpa sepotong pun iringan doa, sebab di antara kami memang tak ada seorang pun yang bisa melantunkan doa-doa pengantar jenazah.
Tak seorang pun yang nampak bersedih dan kehilangan dalam prosesi penguburan itu. Kecuali Murad yang masih nampak murung. Dia selalu menghindari tatatapan mataku. Entah karena benci, atau mungkin karena takut.
Toh, ketakutan yang sesungguhnya memang melanda pada malam harinya selepas penguburan jenazah Jamilah. Sebuah keanehan yang amat sulit diterima akal sehat sungguh-sungguh menimpaku dan seluruh anak buahku yang berjumlah sekitar 20 orang.
Ya, malam itu hujan turun amat lebat, disertai angin yang keras bergemuruh. Anehnya, di antara cuaca yang amat buruk itu kami semua mendengar suara tangis seorang perempuan yang amat pilu. Tangis itu adalah tangis isteriku yang siangnya kami makamkan dengan amat tidak layak; Jamilah!
Mengapa semua ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin seorang yang telah mati bisa terdengar tangisnya? Apakah itu yang dinamakan hantu, atau mungkin arwah penasaran?
Kami semua tak tahu jawabannya. Namun yang pasti, kami benar-benar terteror oleh keanehan ini. Apalagi kejadiannya terus berlangsung selama tiga malam berturut-turut. Ya, suara tangis Jamilah selalu terdengar di antara gemuruh hujan dan angin. Hal ini, sempat membuat beberapa anak buahku yang penakut jadi stress.
�Sebaiknya kita tinggalkan pulau ini, Bang! Mungkin, arwah isteri Abang ingin menteror kita!� Usul Murad di hadapan anak buahku lainnya.
�Bagaimana kalau kita tertangkap patroli Angkatan Laut?� Tanyaku.
�Aku rasa kemungkinannya kecil, Bang! Cuaca belakangan ini dalam keadaan buruk. Mereka pasti tidak akan bisa rutin berpatroli,� alasan Murad.
Karena mayoritas menyetujui usulan Murad, maka aku pun tidak bisa mencegah lagi. Dan sejujurnya, aku pun sesungguhnya merasa tercekam dengan suara tangis Jamilah yang misterius itu. Apalagi, dalam tangisnya Jamilah kerap terdengar menyebut-nyebut namaku.
Setelah kesepakatan diputuskan, siang itu juga kami bertolak meninggalkan pulau tak bertuan itu. Kapal yang kunakhodai sendiri diam-diam sengaja kuarahkan ke Batam. Entah mengapa aku menginginkan ke Batam. Mungkin karena naluriku yang mangatakan bahwa sesuatu hal yang buruk memang akan terjadi.
Naluri seorang pelaut kawakan seperti aku kiranya memang tak pernah salah. Malam itu, ketika kapal masih berada di tengah samudera, suatu keanehan kembali terjadi. Cuaca yang semula cerah mendadak berubah kelam. Sebentar kemudian hujan turun dengan deras, disertai angin berhembus kencang. Di tengah buruknya cuaca ini, kembali suara tangis dan rintihan Jamilah terdengar dengan perih, namun sangat menyeramkan.
�Arwah isteri Abang rupanya ikut dalam kapal kita,� kata Murad.
�Diam kau, Murad!� Bentakku.
�Aku bisa diam, Bang! Tapi bisakah Abang menghentikan suara tangis itu? Semua anak buah Abang ketakutan. Mereka mungkin sebentar lagi akan mati.�
�Aku bilang diam kau!� Bentakku lagi dengan amarah yang mulai naik ke ubun-ubun. Mungkin juga karena dipengaruhi ketegangan situasi.
Tetapi Murad sepertinya sudah kalap. Dia terus saja bersuara, padahal biasanya dia langsung diam bila mendengarku berbicara dalam nada tinggi, �Ini salah Abang. Arwah Uni Jamilah pasti ingin balas dendam, sebab Abang telah membunuhnya dengan sangat kejam. Abang�.�
Murad tak sempat meneruskan kata-katanya. Dengan telak badikku menghujam hulu hatinya. Darah muncrat membasahi wajahku. Seketika Murad mati. Matanya mendelik memandangku. Aku menyandarkan mayatnya di dinding kapal.
Selepas pembunuhan ini, aku benar-benar merasa amat bodoh dan penakut. Apalagi di saat yang sama kulihat bayangan Jamilah berlarian di antara gelombang. Gaun putihnya yang panjang berkibar-kibar. Dia bagaikan Dewi Laut yang murka dan siap menenggelamkan kapalku.
Tiba-tiba, datang ombak besar menghantam buritan. Kapal pun terangkat, lalu kembali menghujam ke dalam ceruk gelombang setinggi rumah. Apa yang terjadi kemudian benar-benar sesuatu yang sulit dibayangkan. Kapal kehilangan kendali. Beratus-ratus kubik air langsung memenuhi lambang. Terdengar beberapa anak buahku berteriak ketakutan dan berusaha menyelamatkan, seiring dengan pecahnya lambung kapal di bagian belakang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini masih untung aku bisa menyambar sebuah baju pelampung. Berkat ijin Tuhan, baju inilah yang pada akhirnya menyelamatkanku.
Setelah terombang-ambing di laut hampir sepanjang malam, sebuah kapal nelayan tradisional menyelamatkanku. Kebetulan kapal ini mengarah ke Batam.
Ringkas cerita, aku sampai juga di Batam meski dalam kedaan compang-camping dan tanpa membawa bekal apapun. Untungnya, aku masih ingat alamat satu-satunya adik perempuanku, yang kebetulan bersuamikan seorang juragan perahu asli Batam. Kaki pun segera kulangkahkan untuk singgah di rumah adikku.
Yusmaniar, adikku, menyambut kedatanganku dengan rasa heran dan tak percaya. Hampir sepuluh tahun kami tak jumpa, dan begitu berjumpa keadaanku benar-benar seperti seorang pengemis.
�Kapal Abang pecah dihantam gelombang. Masih untung Abang selamat. Entah bagaimana nasib anak buahku yang lain,� ceritaku di hadapan Yusmaniar dan Nawardi, suaminya.
�Aku dengar Abang telah menikah. Di mana isteri Abang itu sekarang?� Tanya Yusmaniar. Sebuah pertanyaan yang mengejutkan. Namun aku terpaksa berbohong dengan mengatakan bahwa isteriku juga turut menjadi korban dalam kecelakaan itu.
Adikku dan suaminya memang bisa dengan mudah kubohongi. Tapi arwah Jamilah tetap saja bisa mengendus keberadaanku. Saat tengah malam tiba, dia selalu saja muncul dengan tangisnya. Kadangkala, arwah itu menarikku dari tempat tidur, lalu bayangannya muncul dalam balutan gaun panjang warna putih.
�Abang harus bertanggungjawab atas perbuatan Abang terhadap diri Jamilah. Sampai kapan dan di manapun Jamilah akan terus mengikuti Abang,� ancamnya.
�Ampunilah aku Jamilah. Abang terpaksa membunuhmu, karena Abang tidak tega melihat ka uterus menderita,� jawabku dengan merengek-rengek.
�Bohong!� Betak Jamilah. �Abang tidak pernah mempedulikan keadaanku. Bahkan Abang jauh lebih senang bila melihat aku mati, bukan?�
Aku tak bisa berkata-kata lagi, sebab seiring dengan kemarahannya wujud Jamilah yang semula seperti wujud dirinya di saat masih hidup itu perlahan namun pasti berubah jadi amat menyeramkan. Daging yang membungkus tubuhnya membusuk, dengan ulat-ulat putih yang bersijingkat di sana-sini.
�Tidak Jamilah! Pergilah kau dari sisiku. Pergi�pergiii�!�
Jamilah tertawa nyaring dengan suara yang amat menggidikan. Bersamaan dengan itu pintu kamarku terbuka. Dan satu suara yang amat kukenal langsung menegurku, �Ada apa, Bang? Kenapa berteriak-teriak seperti itu?�
Aku terkejut dengan sisa-sisa ketakutan yang masih membayang. Wujud Jamilah yang menyeramkan itu raib dalam seketika. Di kamarku tampak Yusmaniar dan suaminya. Mereka memandangku dengan heran. Ya, sebab mereka agaknya telah mendengar teriakanku tadi saat mengusir Jamilah.
�A�abang tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk saja!� Kataku sambil berusaha mengendalikan perasaan.
�Tadi sepertinya Abang menyebut nama isteriku Abang, Jamilah!�
�Ya, benar! Dia baru saja datang dalam mimpi Abang. Dia meminta pertolongan Abang. Dia sepertinya telah mati tenggelam,� bohongku sambil menatap Yusmaniar.
Celakanya, di malam-malam berikutnya kejadian yang sama selalu menerorku. Kenyataan inilah yang akhirnya membuatku menyerah, dan mengambil keputusan untuk segera meninggalkan Batam.
�Abang ingin pergi ke Jakarta. Abang ingin memulai kehidupan yang baru. Kalau Abang tetap di sini, sepertinya arwah isteri Abang yang mati tenggelam di laut itu akan selalu menghantui Abang. Aku harap kalian mengerti,� paparku di depan Yusmaniar dan suaminya.
Mereka sepertinya cukup mengerti dengan tekanan batin yang kuhadapi. Tanpa sungkan lagi, mereka memberi sejumlah uang sebagai bekal ongkos dan biaya selama perjalanan ke Jakarta. Kebetulan waktu itu dari Batam ke Pelabuhan Tanjung Priok aku naik kapal Lavina-I yang beberapa waktu lalu terbakar di perairan Kepualauan Seribu.
Dalam perjalanan dengan kapal Lavina inilah aku mengalami sebuah peristiwa yang nyaris saja merenggut nyawaku. Ceritanya, saat kapal tengah berlayar di samudera lepas arwah Jamilah tiba-tiba muncul di hadapanku. Kali ini dia tidak menakut-nakuti, melainkan mengajakku agar terjun ke laut, sebab dengan demikian kami bisa hidup bersama lagi.
�Di sini keadaan sangat indah, Bang. Kita tak perlu takut kepada apapun. Semuanya berlangsung damai. Kita hanya berdua dan selalu bermesraan.� Begitulah salah satu bagian dari rayuan Jamilah. Entah mengapa aku begitu terpesona dengan rayuannya, sampai-sampai tanpa sadar aku terus melangkah ke buritan kapal dan siap untuk terjun ke laut.
Namun, Tuhan masih berkehendak menyelamatkan nyawaku lewat seorang hambaNya yang salih. Saat aku telah bersiap terjun ke laut, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya mencengkram lenganku dengan kuat.
�Jangan kau turuti bujuk rayu Iblis yang menyesatkan, Anak Muda!� Kata pria berpeci haji itu.
Sejenak aku terkesima dan mulai menyadari kebodohanku. Begitu sadar aku langsung menangis dan bersimpuh di kakinya.
�Bersyukur dan bertakwalah hanya kepada Allah, Anak Muda! Sesungguhnya Dia-lah yang telah memberi hidayah padamu untuk menuju jalan taubatan nasuha,� katanya dengan bijak.
Ya, pria salih itulah yang kemudian menuntunku ke jalan Illahi. Namanya KH. Mustofa Abdulrahman, seorang pengasuh pondok pesantren salafiah di kawasan Jasinga, Bogor. Beliaulah yang kemudian membimbingku dengan ilmu-ilmu agama, sampai kemudian aku dijodohkan dengan Aminah, janda beranak dua yang suaminya mati disambar petir. Katanya, Pak Kyai mendapatkan perempuan jodohku ini lewat sebuah mimpi.
Kini, aku hidup bahagia walau dalam kesederhanaan. Alhamdulillah, Aminah memang sangat menyayangiku. Lebih dari itu, aku juga tidak merasa terganggu lagi oleh kemunculan arwah Jamilah, yang sesungguhnya hanyalah tipu daya Iblis laknatullah itu.
Semoga kiranya Allah SWT mengampuni dosa-dosaku dan di masa lalu, dan menuntunku ke jalan yang terang sehingga aku senantiasa menjadi insane yang takwa.





sumber : majalah misteri

__________________



Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 02:24 PM.


no new posts