FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Cerita Horor Kumpulan cerita-cerita mistis yang dibagikan sesama ceriwiser. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Pesawat Korean Airline mendarat mulus di bandara Soekarno-Hattta l6 Oktober 2002 pukul l6.45 WIB. Selama 7 jam aku terbang di angkasa sejak berangkat dari bandara Kempoo, Seoul. Aku begitu bangga melihat negeriku, Indonesia yang ternyata memiliki airport semewah itu. Maklum saja, aku sudah lama meninggalkan Indoensia. Persisnya sejak 5 April l97l.
Tiga puluh satu tahun lamanya aku tinggal di Seoul, Korea Selatan, dan selama itu pula tak sekalipun aku dapat mudik ke kampung halamanku di Jakarta. Kesibukan pekerjaanku di pabrik karoseri Hyundai, salah satu pabrikan kendaraan terbaik Korsel bersama Daewoo, membuat seluruh waktuku tersita. Taksi yang kutumpangi dari terminal kedatangan merayap mulus di jalan tol bandara menuju jantung Jakarta. Sesampainya di dalam kota, aku pun tercengang demi melihat gedung-gedung pencakar langit yang bertebaran di sepanjang Jl. S.Parman. Padahal saat kutinggalkan dulu, daerah itu masih kumuh, banyak rumah-rumah liar bertebaran, merusak pemandangan kota. Di Jakarta dulu aku hidup sebatangkara. Ayah dan ibuku meninggal bersamaan dalam suatu musibah kebakaran. Rumah kami yang kecil di daerah Palmeriam, Jakarta Timur, habis dilalap api. Semua sanak saudara tidak ada satupun yang dapat membantuku. Maklum, mereka golongan orang-orang miskin. Om Her, adik Papaku, berniat baik mengambilku untuk tinggal bersama mereka di Berlan. Tapi setelah tinggal setahun, aku tak tahan bersama mereka karena tanteku sangat galak. Selain itu tenagaku juga diperas, seperti mencuci pakaian, piring, menyapu dan mengepel tiap harinya. Aku juga kerap tak diberi jatah makan yang laik. Kerena kekejaman yang kuterima seperti itu, maka tekadku untuk hidup mandiri pun semakin bulat. Pada suatu saat aku membaca sebuah iklan di potongan koran Pos Kota, yang mencari tenaga kerja pembantu rumah tangga untuk ditempatkan di luar negeri. Maka secara diam-diam aku mendatangi perusahaan pengerah tenaga kerja itu di daerah Slipi, Jakarta Barat. Alhamdulillah, setelah menjalani serangkaian test fisik, keterampilan dan wawancara, aku langsung diterima. Yang banyak menolongku adalah ketrampilanku dalam menggunakan sedikit bahasa Inggris. Memang, saat masih duduk di SMP Widyakarya, aku sudah rajin belajar bahasa internasional itu. Pak Hasan Wiryo, guru bahasa Inggrisku kerap memberiku privat tanpa bayaran. Ayahku kala itu sangat mendukung dan berterima kasih sekali. Ringkas cerita, di perusahaan pengirim tenaga kerja itu aku menandatangai kontrak MOU, bahwa semua keperluanku diurus perusahaan tapi gajiku selama kerja dipotong sekian persen oleh mereka. Karena tidak bermodal sama sekali maka aku senang saja menerima kontrak itu. Ijin kerja, paspor, visa, ongkos sampai baju lengkap disediakan, maka aku pun diberangkatkan ke Seoul. Di Ilchiro Road Seoul aku disambut oleh Pak Hans, biro mereka di sana dan aku langsung dipekerjakan di rumah Tuan Kim Young Doo, salah seorang manager pabrik mobil Hyundai. Tiga tahun di rumah mereka, dari l97l sampai dengan 1974 dan bekerja sebagai pembantu, oleh majikanku yang baik itu aku dimasukkan ke pabrik sebagai karyawan tak tetap. Tugasku membuat minuman dan menyediakan makanan bagi karyawan. Kejujuranku mengantarkan aku pada suatu keajaiban. Ya, aku ditempatkan Tuan Kim di staf keuangan hingga terakhir menjadi kepala bagian keuangan perusahaan. Tuhan begitu adil dengan karunia kasih yang maha dahsyat bagi ummatnya yang lemah. Karena tanganNya, aku yang yatim piatu dan melarat di Indonesia bias menjadi orang di tanah rantau. Namun kenyataan ini tidak membuatku lupa diri. Untuk itulah, aku menanamkan uangku di Jakarta. Aku membeli beberapa hektar tanah di Depok, di Bekasi dan Bogor melalui tangan Om Her. Lewat Bank tertentu aku membuatkan Om Her rekening dan dialah yang mengurus pembelian itu di Indonesia sementara aku tetap di Seoul. Om Her belakangan hidup sendiri setelah Tante Anna meninggal karena sakit gagal ginjal tahun l979. Lewat Om Her pula aku membeli rumah bangunan Belanda abad l9 yang diarsiteki Edward Van Hield di Jalan Manunggal l8 B, Menteng, Jakarta Pusat. Rumah di atas tanah 2300 meter dan berbangunan 380 meter itu, kata Om Her pernah jadi perkara karena mau dijadikan Pemda DKI sebagai cagar budaya. Tapi karena sertifikat kepemilikannya ada di tangan Mr. Ruud Heinneil di Rotterdam, maka Pemda DKI kalah di pengadilan tata usaha dan rumah antik itupun dijual Mr.Ruud kepadaku. Tak terasa, taksi masuk ke daerah Menteng. Aku segera mencari alamat rumahku yang ditempati Om Her dan dua anaknya. Begitu menemukan alamat itu, taksi langsung masuk ke halaman yang pagarnya tidak terkunci. Om Her sedang merawat tanaman di selatan rumah dan aku mengagetkannya. Dua anaknya, Tien dan Anggia, sedang tidak ada yang belakangan diketahui mereka sedang bekerja. Om Her nampak bingung dan bertanya-tanya siapa aku. Memang kepulanganku sangat rahasia dan aku tidak memberitahu siapapun agar surprise. Om Her mengucek matanya berulang kali, ingin memastikan siapa sebenarnya aku. Sebab selama 30-an tahun berpisah, aku tidak pernah bertemu dia kecuali suara di telpon dan tidak mengirimkan foto-foto. �Maaf, Anda siapa dan ada keperluan apa?� tanya Om Her, penasaran. �Anda Om Her kan? Pamanku yang suka kentut sembarangan?� candaku. �Astagfirullah, Tanti, Tanti keponakanku! Tanti Si Gendut yang suka ngompol?� teriak Om Her. �Mau bikin kejutan ya, kok enggak beru tahu kalau mau pulang? Kejutan, ini benar-benar kejutan. Untuk Om Her tidak punya penyakit jantung. Kalau ada kasus jantung, pastilah Om Her mati mendadak melihat kenyataan ini!� desis Om Her, sambil memeluk dan mencium keningku. Malam pertama aku tinggal di rumah bangunan Belanda itu kami lewatkan dengan makan malam bersama. Semua makanan khas Betawi yang sudah lama tidak saya santap, disediakan Om Her di meja makan. Anggia dan Tien sangat girang akan kedatanganku dan rencanaku untuk kekmbali tinggal di Indonesia. Mereka bercerita banyak hal dan juga menanyakan banyak pula menyangkut pengalaman hidupku di Korea Selatan. Habis sholat Isya� tubuhku terasa lelah dan aku pamit untuk tidur. Sebuah tempat tidur empuk dan kamar yang besar telah tersedia di sebelah utara menghadap ke taman bunga. Om Her benar-benar menyiapkan perlengkapan rumah tangga setelah beberapa kali aku mentranfer uang untuk keperluan itu. Om Her memang dapat dipercaya dan jujur, bahkan bon-bon pembelian itu teratur rapih diperlihatkannya kepadaku. Om Her yang memilih hidup sebgai duda, menempati kamar paling depan dekat ke jalan. Anggia dan Tien ambil kamar di tengah. Sementara di lantai atas, masih ada tiga kamar kosong yang besar-besar dijadikan gudang. Gudang itu tempat menyimpan banrang-barang peninggalan Mr. Ruud. Pukul 2l.30-an aku terlelap, pukul 24.00 tiba-tiba aku terbangun. Ada rasa dingin menggigit tulangbelulangku dan aku menangkat selimut bulu beruang. Kututupi tubuhku yang dingin walau AC tidak dinyalakan. Sesaat setelah selimut kutarik, tiba-tiba terdengar suara merintih yang pelan di arah jendela kamar. Lamat-lamat kudengar suara itu yang belakangan terus mengeras dan keras. �Tolong, tolong saya, tolong�tolong..saya sakit,� bunyi suara itu. Entah kenapa tiba-tiba bulukudukku merinding. Jantungku berdebar dan nyaliku sedikit ciut. Tapi sebagai wanita yang terbiasa hidup keras, aku bangkit juga dari tempat tidur untuk mendekatkan kupingku ke jendela. �Takut? Apa yang harus kutakutkan?�kata hati kecilku, melakukan perlawanan. Dari lubang kisi-kisi bangunan tua itu, aku mendengar dengan jelas suara wanita yang terus menrintih dan minta tolong. Karena suaranya cukup jelas dan itu suara wanita, maka kubukakan jendela sedikit dan kulongokkan kepalaku ke luar. Duh Gusti, disinari lampu taman, aku dapat melihat dengan jelas seorang wanita dengan baju putih rambut terurai panjang ke depan. Rambut tebal hitam panjang itu menutupi seluruh bagian mukanya, hingga muka wanita itu tidak nampak sama sekali. �Siapa kamu? Kenapa malam-malam begitu ada di sini? Bukankah kamu melompat pagar rumah saya yang terkunci rapat?� �Tolong, tolong saya Tanti! Tolong saya!� pintanya. Aku terperanjat hebat, perempuan aneh yang kukira gelandangan gila itu ternyata mengenal namaku. Setelah kutanya berulangkali siapa dia dan minta tolong apa, dia tidak menjawab pertanyaan itu dengan jelas. �Tanti, aku minta tolong padamu Tanti, agar aku dimaafkan. Tidak banyak permintaanku, aku hanya minta kau memaafkanku. Hidupku susah, sesangsara dan sangat menderita bila kau tidak memaafkanku Tanti. Tolong Tanti, kau mau memaafkanku kan?� desaknya, dengan suara bergetar dan getir. �Memaafkan? Salah apa Ibu kepadaku? Dan bagaimana aku dapat memberi maaf bila aku tidak tahu apa kesalahan ibu dan siapa sebenarnya Ibu?� tekanku. Dengan tangannya yang terlihat kurus dan berurat, wanita itu menyibak rambutnya lalu melipat rambut itu ke belakang. Masa Allah, wajah itu sungguh sangat jelas kulihat, yaitu wajah Tante Anna, istri Om Her dan ibu Anggia dan Tien sepupuku yang meninggal tahun 79 lalu. Wajah itu pucat kecut dengan bibir putih dan mata bolong kehitam-hitaman. Jantungku berdebar hebat, batinku mengkerut dan sekujur tubuhku terasa dingin merinding. Keadaan tengah malam itu sungguh suatu keadaan aneh dan penuh misteri. Bagaimana seorang manusia yang sudah meninggal dan hidup lagi datang kepadaku dengan baju kain kafan. Tante Anna yang pernah memperlakukanku dengan sadis itu menjadi pocong dan datang untuk meminta maaf. Oh Tuhan! Beberapa saat aku kehilangan kendali diri. Tubuhku masih berdarah tapi rasanya aku tak mampu bergerak. Kakiku seakan kestrum listrik voltage besar dan tanganku kaku bagaikan terkena sirep. Sesaat setelah tersadar akui berhadapan dengan hantu Tante Anna, aku buru-buru menutup jendela dan menghambur ke kamar depan. Kukedor pintu kamar Om Her dan kuceritakan apa yang baru saja kulihat. Karena tubuhku bergetar dan peluh mengucur di mukaku, Om Her segera mengambil air putih di kamarnya dan menyodorkan gelas kepadaku. Setelah aku minum dan agak tenang, Om Her menceritakan kenyataan yang sesungguhnya terjadi. Dengan kepala tertunduk dan mata yang basah, Om Her memberi tahu bahwa Tante Anna sudah berulangkali datang ke rumah itu. Dia datang dalam bentuk pocong dengan ciri-ciri seperti yang kulihat. �Kenyataan ini menjadi rahasia saya dan anak-anak. Semua anak-anak sudah melihatnya dan kami menjadikan kasus itu sebagai aib pribadi dan tak boleh tersiar keluar. Hanya kami yang tahu dan kami berjanji untuk menyimpan dalam-dalam kenyataan itu karena sungguh memukul perasaan kami sekeluarga. Om bukan punya maksud jahat untuk tidak memberitahu hal ini pada Tanti, soalnya tadinya Om sudah yakin bahwa arwah Anna sudah sempurna di alam Barzah karena telah kami sempurnakan dengan ritual beberapa malam sejak penampakan pertama terjadi. Memang beberapa tahun terakhir arwah itu tidak datang lagi, maka itu Om yakin arwahnya sudah diterima layak di alam kubur. Tapi malam ini, dia muncul lagi dan mau minta maaf padamu!� desis Om Her, setengah mengeluh. Om Her tahu persis begitu besar dosa Tante Anna kepadaku. Selain diperlakukan tidak wajar dengan kekerasan fisik, aku juga disiksa batin olehnya ketika tinggal bersama mereka. �Saya tahu betul Tanti tersiksa, tapi Om tidak bisa berbuat apa-apa. Om tidak bisa membela dan tidak bisa menolong karena Tante Anna juga melakukan hal yang sama kepada Om. Jujur saja Om saat itu sangat takut pada Tante dan Om menyerah kalah!� ungkpa Om Her. Dengan jiwa besar dan ungkapan penuh harap, Om Her minta agar aku memberi maaf malam itu juga pada Tante Anna. �Dengan pemberian maafmu, maka insya Allah arwah Tante Anna akan sempurna dan dia tidak gentayangan lagi menjadi pocong!� harap Om Her. Karena memang aku telah melupakan kejadian lalu dan menutup rapat-rapat peristiwa itu, maka dengan ihlas aku memberi maaf papa almarhumah Tante Anna. Ungkapan maaf itu membuat Om Her sangat terharu lalu membimbingku untuk kembali pada tempat pocong Tante Anna terlihat. Sesampainya di jendela kamarku dan Om Her membuka daun jendela, Tante Anna masih berdiri kaku di situ. Kali itu rambutnya kembali ke depan dan menutupi seluruh permukaan wajahnya. Sebelum Tante Anna bicara, aku langsung menyatakan pemberian maafku sesuai perintah Om Her. �Aku sudah lama melupakan kejadian lalu. Aku sudah lupa perbuatan apapun yang pernah dilakukan Tante terhadapku dulu. Untuk itu, dengan hati yang ihlas dan sungguh-sungguh, aku memaafkan Tante dan menghapus semua kejadian itu menjadi putih bersih. Tante kumaafkan dan aku pun meminta maaf bila ada kesalahanku di masa lalu kepada Tante!� lirihku. Mahluk itu menjulurkan tangan kanannya kepadaku, lalu aku menyalami tangan itu. Tapi aneh, tangan yang kujabat tidak berasa apa-apa, selain rasa dingin seperti kapas yang basah. Psaat itu sosok itu mundur lalu terbang menghilang ke atas awan. Sejak itu, Tante Anna tidak muncul lagi dan rumah tua ku pun menjadi tenang. Kini aku tetap tinggal bersama Om Her dan kedua putrinya yang jelita. Kami hidup bahagia dan damai di rumah tua bangunan tahun l899 yang unik dan antik. Sekarang ini, walau aku dicap sebagai gadis tua dan sering diledek Om Her sebagai perawan peot, aku sangat nikmat hidup di antara dua sepupuh dan pamanku yang lucu. Kami membuat beberapa usaha seperti restoran, travel biro dan penerbitan di jantung kota. Sementara di Bogor kami membangun villa dan bungalow buat disewakan bagi mereka-mereka yang berlburan bersama keluarga. Keesokan hari setelah aku memaafkan Tante Anna, kami semua berziarah ke makam Tante di Karet Bivak, Jakarta Pusat. Makam yang sudah dibeton dan menyisahkan sebagai tanah di bagian tengah itu, memunculkan fenomena misteri baru yang sulit diterima akal sehat. Di makam itu tumbuh bunga mawar merah dengan tujuh bunga yang ranum dan harum semerbak. Padahal bunga itu tidak pernah ditanam oleh seorang pun, termasuk Om Her dan anak-anaknya. Bunga mawar itu tumbuh sendiri dan dikatakan Om Her sebagai pertanda bahwa Tante Anna sudah pergi ke Taman Firdaus, taman sorga yang dijanjikan Allah di beberapa kitabbullah. Amin sumber : majalah misteri
__________________
![]() |
![]() |
|
|