Pilpres 2009 khabarnya SBY menginvestasikan lebih banyak dana untuk menang di Solo dan akhirnya dia bisa menang di kandang banteng, tapi itu belum cukup berhasil untuk menancapkan kuku di Jawa. Kemudian melakukan percobaan dengan mencalonkan anak buahnya di Pilkada untuk melihat seberapa besar peluangnya di Pilkada, tapi ternyata di luar dugaan jagoannya kalah telak karena Jokowi masih di percaya oleh lebih dari 90% warga Solo.
Sadar tidak mudah untuk menguasai solo dalam waktu dekat, akhirnya SBY mundur teratur, dan mengalihkan sasaran ke DIY yang juga merupakan sumbu Jawa, karena di Jogja kekuasaan Sultan mutlak maka dia menggulirkan isu monarki di dalam demokrasi, dan membuat RUU DIY. Hal ini untuk untuk membuka peluang orang di luar Keraton untuk berkuasa di Jogja, dengan demikian dia bisa memasang anak buahnya dalam pilkada.
Dalam analisis ngawur (utak-atik gathuk dalam istilah jawa), SBY Sadar betul bahwa untuk menguasai Indonesia harus menguasai Jawa (dalam konteks kultur dan teritori) seperti yang dilakukan oleh Soeharto, maka langkahnya jelas harus menguasai 2 Keraton di Jawa yaitu Solo dan Jogja. Langkah pertama adalah memasang orang Keraton untuk menjadi pemimpin partai , yang keduanya bukanlah orang sembarangan yang satu menantu Raja dan yang satunya adik Raja (Edy Wirabumi di Solo dan Prabukusumo di DIY).
Tentu saja tidak cukup dengan menjadikan orang dalam Keraton sebagai pimpinan partai untuk menancapkan kuku kekuasaan, tapi harus memimpin daerah itu. Setelah GAGAL TOTAL di Solo (Edy Wirabumi menjadi pesaing Jokowi), maka mau tidak mau SBY harus melakukannya di Jogja. Konsekuensinya dia harus merubah tatanan yang di patuhi masyarakat jogja jauh sebelum Indonesia ada. Mungkin langkah ini dinilai lebih realistis dan bisa dipaksakan dibandingkan jika harus mengamandemen konstitusi dan memperpanjang jabatan presiden. Dan pemaksaan ini semakin intensif setelah Prabukusumo membaca gelagat buruk tersebut dengan mundur dari Demokrat. Karena Prabukusumo menganggap negara ini sangat rakus dia sudah diberi hati tapi minta jantung. Anggapan ini tersirat dalam pernyataan terakhirnya bahwa Sultan HB IX sudah berkorban melepaskan kekuasaan tanpa batasnya dan bergabung dengan NKRI, yang artinya Raja tunduk kepada Presiden.
Upaya untuk membangun dinasty semakin terlihat ketika dalam substansi RUU menyatakan tertutup untuk calon independen, artinya orang hebat di Jogja harus masuk partai jika ingin memimpin Jogja. Dengan cara itu dia bisa merekrut orang yang paling potensial di Jogja untuk menjadi calon dari Demokrat tentu dengan imbalan "amunisi" yang tanpa batas, seperti yang dilakukannya untuk memenangkan pilpres di Solo.
Biar seperti Soeharto yang mampu membangun dinasti hingga 32 tahun dengan menguasai keraton (memperistri ibu tien). Sehingga tidak perlu harus menjadi Presiden terus-menerus tapi kuku kekuasaannya mampu memainkan peran di Indonesia.
Ini hanyalah analisis konyol yang jauh dari kebenaran dan keakuratan, dan analisis ini sangat subyektif karena ketidak sukaan saya terhadap SBY.