Sejarah Guruh Gipsy & Awal Lahirnya Prog-Rock Indonesia

[lumpiabasah]

Sumber; www.mizan.com



Dentang bunyi gamelan terus membahana, menyelimuti atmosfer progressif rock yang terus mengalun. Kemudian, suara koor penyanyi wanita menyenandungkan lirik lagu bernuansa kemerdekaan dan kemegahan alam Indonesia. Atmosfer inilah yang tertera dalam lagu "Indonesia Maharddika" dari band progressif rock lawas, Guruh Gipsy.



Guruh Gipsy merupakan proyek yang tercetus usai kepulangan seniman muda yang juga putra mantan Presiden RI, Guruh Sukarno Putra, dari Negeri Belanda. Guruh langsung menggandeng band Gipsy yang digawangi Chrisye, Kinan Nasution, Oding Nasution, Abadi Soesman dan Roni Harahap.



Kolaborasi ini terbilang cukup unik. Guruh telah dikenal sebagai seniman kontemporer yang kerap bereksplorasi dengan musik Bali dan tarian-tariannya. Sedangkan, nama band Gipsy mengharu-biru karena keberaniannya membawakan musik progressif rock ala Genesis, Emerson Lake and Palmer dan Gentle Giant. Maka, tak heran jika kolaborasi keduanya menghasilkan ragam inovasi. Ragam inovasi itu tersirat dalam satu-satunya album mereka, "Kesepakatan dalam Kepekatan", yang dirilis pada 1976. Dalam album itu, Guruh Gipsy menyilangkan alunan rock Barat yang terdapat di bebunyian alat musik elektronik dengan seni kontemporer khas Bali yang ada pada suara gamelan.



Meski sebelumnya sudah ada beberapa band yang mencobanya, namun kolaborasi itu terbilang cukup langka di dekade 1970-an. Penggarapan dan penerbitan album itu pun tergolong 'berani'. Pasalnya, seperti dikatakan oleh pengamat musik, Denny Sakrie, karya ini merupakan sebuah eksperimen yang dinilai banyak menghabiskan biaya produksi dan memiliki nilai terobosan yang ambisius. Bahkan, album ini didapuk oleh pengamat musik sebagai salah satu karya yang sarat pengorbanan dan ambisi kala penggarapannya.



Angka penjualan album itu saat itu terbilang kurang sukses. Bisa dikatakan, album itu diabaikan pada masanya. Namun, album itu menjadi penting bagu belantika musik Indonesia, khususnya rock, karena menjadi tonggak bagi lahirnya progressif rock di Indonesia. Karenanya, kini album itu menjadi buruan kolektor musik. Mereka rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah demi mendapatkan album bersejarah itu.



Rekaman "Kesepakatan dalam Kepekatan" dimulai Juli 1975 sampai November 1976. Mereka menggunakan studio rekaman Tri Angkasa di bilangan Jakarta Selatan. Tudio itu tercatat sebagai studio rekaman 16 track pertama dan paling canggih di Indonesia. Maka tak heran jika teknologi itu menuai antusiasme Guruh Gipsy menyelesaikan enam lagu selama 16 bulan di studio itu.



Salah satu lagu mereka yang paling monumental adalah �Indonesia Maharddika�. Lagu itu menggambarkan kejeniusan Guruh mengkomposisi tembang progressif rock Barat dengan dipadukan pada unsur etnisitas Indonesia. Alat musiknya pun perpaduan antara alat musik modern dengan alat musik etnik Bali, seperti gamelan dan gerong.



Tak hanya dari segi musik, Guruh pun memiliki terobosan dalam pakem penulisan lirik. Padahal, saat itu, industri musik Indonesia digempur oleh lagu-lagu berlirik lugas dan berbau kisah cinta. Namun, Guruh hadir dengan lirik berisi tentang nuansa sosial dan budaya, yang ditulis dengan gaya bahasa puisi dan metafora.



Dalam booklet Guruh Gipsy, sang kreator Guruh Sukarnoputra mengatakan bahwa album itu sangat mengesampingkan segi komersil. Album itu, menurutnya, dirilis sebagai bentuk kekecewaan atas maraknya serbuan musik asing. Guruh ingin 'menyentil' masyarakat Indonesia saat itu untuk melestarikan kesenian Indonesia. "Musik kami lahir dari keprihatinan," kata Guruh.