Klaim pemerintah mengenai efisiensi dari penyederhanaan administrasi dan birokasi skema kontrak bagi hasil gross split minyak dan gas bumi (migas) mengundang pertanyaan. Alasannya pengendalian manajemen dan kegiatan operasional masih mendasarkan pada model kontrak lama.
Catatan dari Reforminer Institute yang didirikan Pri Agung Rakhmanto mempersoalkan setidaknya tiga pasal dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 tahun 2017 yang mengatur mengenai manajemen hulu migas. Poin tersebut ada di Pasal 15, 16 dan 23.
Pasal 15 Permen ESDM 8/2017 menyebutkan peran SKK Migas di dalam pemberian persetujuan atau penolakan terhadap rencana kerja dan anggaran yang diajukan kontraktor. Kemudian Pasal 16 juga mengatur tentang persetujuan atau penolakan terhadap rencana pengembangan lapangan (POD) yang pertama kali maupun yang selanjutnya.
Sedangkan Pasal 23 mengatur tentang peran SKK Migas di dalam pengendalian dan pengawasan terhadap kegiatan operasional hulu migas. “Ketentuan-ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang seberapa jauh pengendalian manajemen kegiatan di dalam sistem gross split yang diterapkan akan berbeda dengan Production Sharing Contract (PSC) sebelumnya,” kata Pri dikutip dari Reforminer Quarterly Energy Notes periode April 2017, Rabu (27/4).
Baca Selengkapnya ==> Efisiensi Gross Split