TEMPO Interaktif,
Banyuwangi -Deretan daun hijau itu sudah tampak dalam jarak kurang lebih 500 meter. Kebetulan saat itu cuaca juga sedang terang. Keelokan semakin tampak tatkala pemandangan itu didekati.
Ya itulah pemandangan yang ada di Mangrove Bedul, Banyuwangi, Jawa Timur yang saya kunjungan Desember 2010 lalu. Pertama menginjakkan kaki, kita akan disuguhi deretan hijau mangrove yang memanjang berkilo-kilo meter di bibir pantai.
Wisata ini terletak di Desa Sumberasri, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi atau 50 kilometer dari pusat kota Banyuwangi atau butuh waktu dua jam perjalanan. Mangrove bedul berada di segara anakan, kawasan Taman Nasional Alas Purwo.
Dinamakan Bedul karena konon dulunya banyak ikan bedul yang hidup di laut ini. Ikan bedul ini mirip ikan gabus yang hidup di air payau.
Saat menuju dermaga, saya menjumpai sejumlah nelayan sibuk mempersiapkan jala. Mereka memakai perahu kayu yang hanya bisa ditumpangi satu orang. Sementara anak-anak kecil bertelanjang kaki berlomba mencari kepiting laut di antara semak mangrove. Tawa mereka menambah keriuhan suasana.
Untuk masuk kawasan itu, kita hanya merogoh karcis masuk Rp 2.500. Tapi itu belum termasuk tarif paket wisata yang disediakan. Paket wisata yang wajib dicoba adalah berkeliling hutan mangrove dengan perahu. Biayanya Rp 300 ribu untuk pulang pergi. Tarif ini sudah termasuk ongkos sewa perahu dan fee guide lokal.
Kalau bepergian sendiri, barangkali tarif keliling hutan dengan perahu ini cukup mahal. Supaya lebih murah, saya mengajak 6 orang kawan. Selain bisa patungan, perjalanan juga bisa lebih ramai dan tidak membosankan karena berperahu pergi dan pulang butuh waktu dua jam.
Perahu yang dipakai berkeliling merupakan kreasi nelayan setempat. Namanya Gondang-Gandung. Terdiri dari dua perahu nelayan yang dimodifikasi dengan atap dari terpal, lantai, dan kursi dari kayu. Gondang-Gandung bisa mengangkut paling banyak 10 penumpang.
Laju Gondang-gandung bergerak pelan. Air laut cukup tenang tanpa riak gelombang. Di kanan kiri, mangrove membentang sepanjang 16 kilometer membentuk sabuk hijau yang siap menahan gelombang besar.
Menurut Kepala Badan Pengelola Wisata Mangrove Bedul, Eko Kurniawan, jenis mangrove yang hidup ini merupakan terlengkap di Indonesia dengan 27 jenis yang tumbuh di lahan seluas 2.300 hektare. "Kerapatan antara 300 meter hingga 500 meter," katanya.
Sekitar 10 menit perjalanan, saya berjumpa dengan lima orang ibu di tengah laut yang sedang mencari kerang. Air laut setinggi dadanya tak dihiraukannya. Seperti para nelayan, para ibu ini menggantungkan hidup mengais kerang yang tumbuh subur di perairan ini. Mereka tak akan segan melambaikan tangannya, sebagai isyarat mengucapkan selamat menikmati perjalanan.
Pemandangan lain adalah ketika kawanan monyet berekor panjang bergelantungan di ranting-ranting mangrove. Mereka berlompatan turun menuju tepi pantai, berebut sisa makanan.
Tiba-tiba salah seorang teman saya berteriak terpukau sambil menunjuk ke arah datangnya elang laut putih. Lebar sayapnya lebih dari 1,5 meter. Elang terbang rendah di atas air laut, berjarak 3 meter dari Gondang-gandung yang kami naiki. Di saat seperti inilah kamera harus digerakkan cepat. Karena beberapa saat kemudian, elang kembali terbang menjauh.
Tak hanya elang laut, kalaukita sedang beruntung kita bisa menikmati satwa lain seperti biawak, burung bangau dan blibis. Bahkan pada Oktober-Desember terdapat sekitar 16 jenis burung migran dari Australia diantaranya cekakak suci (Halcyon chloris/Todirhampus sanctus), burung kirik-kirik laut (Merops philippinus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan trinil semak (Tringa glareola).
Badan Pengelola Wisata Mangrove Bedul juga menyediakan paket wisata lain yang lebih murah. Dengan biaya Rp 4 ribu kita sudah bisa menaiki Gondang-gandung selama 10 menit, menyebrang menuju Pos Bedul selatan. Dari pos ini, kita bisa berjalan kaki selama 30 menit dan akan bertemu dengan pantai selatan.
Di pantai ini, memang lebih ramai pengunjung karena ongkosnya lebih murah dibanding harus ke Ngagelan. Sepasang muda-mudi asyik bercengkerama sambil bermain ombak. Sementara pengunjung yang membawa anggota keluarganya berlindung di antara pepohonan pantai, membentangkan tikar dan menyantap bekal yang mereka bawa dari rumah.
Sejak Wisata Mangrove Bedul ini dibuka setahun lalu, pengunjung tak pernah sepi. Wisata ini menjadi alternatif selain mengajarkan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
Kepala Desa Sumberasri, Suyatno, 47 tahun, mengatakan, wisata ini juga turut mengubah perilaku warganya. Dulu, kata dia, aksi pembalakan kayu mangrove dan satwa dilindungi cukup sering terjadi. Setelah wisata ini dibuka dan melibatkan peran serta masyarakat, perilaku merugikan itupun berangsur-angsur berkurang. "Semuanya ikut menikmati dampak dari wisata ini," kata dia.
Tak hanya mengelilingi mangrove. Perjalanan ini juga bisa diteruskan menuju Pantai Ngagelan. Pantai ini merupakan tempat pendaratan penyu untuk bertelur sekaligus tempat penangkaran penyu milik Taman Nasional Alas Purwo. Jenis penyu yang biasa mendarat seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas).
Untuk menuju Ngagelan, kita harus berjalan kaki kurang lebih satu jam, menembus belantara hutan tropis. Jangan lupa untuk menyiapkan bekal seperti air mineral atau makan siang karena tubuh kita dituntut benar-benar fit.
IKA NINGTYAS