FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
|||
|
|||
![]()
Jika pada cerita lalu wanita adalah makhluk yang termarginalkan, maka
kisahnya kini berubah didewakan. Konon, dahulu para wanita setengah mati untuk mendapatkan pekerjaan, maka sekarang justru banyak pria yang harus gigit jari terhadap wanita atas dominasi daftar lowongan. Cukup ekstrim melihat terobosan sistem Kapitalisme ini, ketika kemudian wanita menjadi sasaran perbudakan. Dengan modal suara sumbang atas nama kebebasan/ kemerdekaan (independent) dan keterbukaan (open minded), maka Liberalisme telah memainkan peran di atas legalitas Kapitalisme. Dalam ranah ini, maka lahirlah konsep emansipasi wanita, kesetaraan gender, yang memupuskan kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Alhasil, konsep tersebut telah membiarkan wanita untuk menentukan nasibnya sendiri. Sebab, aturannya kini tak seorang pun yang berhak memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu. Usut punya usut, gerakan yang berorientasi pada feminisme ini berasal dari Barat yang merupakan respons dan reaksi terhadap situasi kehidupan masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu penyebabnya ialah pandangan �sebelah mata� terhadap perempuan (misogyny) dan berbagi macam anggapan buruk (stereotype) serta citra negatif yang dilekatkan kepada mereka. Semua itu bahkan telah mengejawantahkan dalam tata-nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik (Lihat Dr.Syamsuddin Arif, �Feminisme dan isu Gender,� dalam Orientalis dan Diabolisme Pemikiran: 103-104). Awalnya terkesan sebuah �kewajaran�, tetapi akhirnya menjadi kebablasan. Dan sebagian di Dunia Islam pun menjadi latah ikut-ikutan. Tampak wanita telah diadu maskulin dengan lelaki, begitulah ghalibnya. Ironis. Padahal kodrat atau fitrah seorang wanita tentu bukan untuk diciptakan sebagai rival seteru seorang pria, tetapi untuk menjadi kawan yang saling bekerjasama, saling melengkapi sesuai dengan sifat dan potensi masing-masing di antara mereka. Konsep yang bertolak dan berpangkal dari Kapitalisme tersebut nampak jelas telah menjungkir-balikkan logika, sebab kalau hanya untuk mengejar dan mengungguli sepak terjang pria, maka seorang wanita tak perlu bersusah payah beradu maskulin, karena mestinya cukuplah dengan adu feminin. Lihat apa hasilnya ketika perbudakan itu digalakkan, seorang wanita yang mestinya menjalankan fungsi tugasnya dalam rumah tangga menjadi kewalahan dan kekurangan waktu untuk mendidik anak-anaknya karena berlebihan jam pekerjaan (Lihat Husain Matla, �Firaunisasi ibu-ibu� dalam Demokrasi Tersandera, 73). Demikian satu contohnya. Akan tetapi, yang harus digaris bawahi disini, contoh tersebut bukan lantas dimaksud untuk mengembalikan wanita pada tatanan marginal. Lain daripada itu, sebagai usaha untuk memposisikan wanita pada wilayah proporsional, dengan kembali kepada aturan yang akan mengatur dengan keadilan, itulah syariat Islam. Apa yang ditawarkan oleh Islam dalam peranan wanita tiada lain dan tiada bukan adalah aturan yang memuliakan. Adalah salah kaprah jika timbul wacana, stigma, dan propaganda �pembatasan peranan wanita�, karena kebebasan wanita dalam Islam itu bebas, namun terikat. Maka kata yang lebih tepat yang mestinya disematkan bukanlah kata �membatasi� apatah lagi �mengekang�, tetapi �mengatur�. Dan aturan itu berfungsi sebagai kontrol agar supaya tetap pada koridor yang telah ditetapkan oleh Allah yang Maha Mengatur. Berbeda sekali dengan aturan kapitalisme yang tidak relevan. Disebut tidak relevan karena tidak sesuai dengan fitrah. Maka Syariat Islamlah satu-satunya jalan yang mampu membebaskan wanita dari jerat perbudakan, yang bertopeng dibalik istilah kebebasan, atas nama dan kepentingan: Kapitalisme. |
![]() |
|
|