FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Cerita Horor Kumpulan cerita-cerita mistis yang dibagikan sesama ceriwiser. |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Kuawali kisah ini dengan menyebut Bismillah, seraya meminta ampunan ke hadirat Allah SWT atas dosa-dosaku yang telah membuat orang lain teraniaya baik lahir maupun batin. Sebut saja namaku Abidas Zaunuf, yang akrab dipanggil Abi saja. Aku asli Minang dan memperoleh gelar sarjana juga di Bumi Kanduang tersebut. Tepatnya di kota Padang, sebagai ibu negeri Sumatera Barat.
Setelah namaku diawali dengan titel Drs, aku lebih cenderung ingin berwiraswasta. Dengan bantuan modal dari ayah yang dikenal sebagai pedagang sukses, aku membuka sebuah cafe di jantung kota. Selain letaknya yang strategis, cafe yang kubuka juga menyediakan makanan antara lain soto dan sate, dengan menu penyajian yang sangat khas. Barangkali dengan adanya terobosan itu, bisnis cafeku memang cukup berhasil. Setiap siang dan malam hari, cafeku selalu ramai dikunjungi oleh mereka yang ingin bersantai sambil menikmati makanan enak yang tersaji. Umumnya para pelangganku muda-mudi dari tingkat elit, hingga mahasiswa dan mahasiswi. Banyak di antara mereka yang sengaja datang untuk pacaran atau memadu kasih sambil menikmati menu hidangan yang ada Kalau pengunjung sedang ramai, aku sebagai Big Bos, terkadang tak sungkan turun langsung membantu anak buah untuk melayani pelanggan. Mengantarkan pesanan pelanggan, sehingga orang-orang sulit membedakan mana yang pelayan dan mana sang pemilik cafe. Sebagai pria yang masih bujangan, semasa masih kuliah, aku pernah naksir seorang gadis. Namanya Junizar, berwajah keibuan, namun memiliki sosok tubuh yang sangat menggairahkan. Menurut cerita teman-temanku, katanya dia berdarah biru. Ya, masih keturunan kerabat dekat para bangsawan Minang tempo dulu. Mendengar cerita itu, aku menganggap Junizar terlalu anggun buatku. Aku yang keburu minder memang hanya sekedar naksir. Tidak lebih dari itu. Tak mungkin diriku sebagai orang awam akan mampu mempersunting gadis yang nama lengkapnya Puteri Junizar tersebut. Begitulah pikiran yang muncul dalam otakku. Beberapa tahun kemudian, tepatnya setelah meninggal kampus, gadis itu memang segera dapat kulupakan. Apalagi setelah mulai sibuk dengan bisnis cafe ini. Yunizar benar-benar enyah dari dalam hatiku. Sampai kemudian peristiwa malam itu terjadilah. Ketika itu pengunjung cafeku sedang ramai. Aku pun turun tangan melayani pelanggan. Waktu itu aku kebetulan kebagian mengantar pesanan soto dari sepasang muda-mudi yang sepertinya tengah asyik pacaran. Tak kusangka, gadis di meja yang akan kuantar pesanannya itu ternyata adalah Junizar. Semula aku ingin menegurnya. Namun niat ini secepatnya kuurungan, karena kulihat Junizar sedang asyik ngobrol dengan pasangannya. Lagi pula, kalau benar gadis itu memang Junizar, aku tidak ingin merusak acara kencan mereka. Toh, aku sudah lama tidak mengingatnya lagi. Jadi buat apa buang-buang waktu dan energi untuk menanyakan hal-hal yang tidak terlalu perlu. Peristiwa malam itu berlalu dan aku tak mengingatnya lagi. Namun, sekitar seminggu kemudian, gadis yang mirip Junizar tersebut datang lagi ke cafeku. Kali ini kedatangannya tidak ditemani cowoknya tempo hari, akan tetap bersama seorang perempuan setengah baya. Aku memastikan dia pasti adalah ibu si gadis. Kudengar sayup-sayup mereka ngobrol, bahwa soto di cafe ini terkenal enak di kota Padang. Aku sedikit merasa sumringah. Mungkin karena itu tanpa piker panjang segera kusapa mereka, �Selamat datang di cafe sederhana ini, Etek Puti. Kalau nggak salah anak gadis etek bernama Junizar, bukan?� Keduanya sejenak saling berpandangan. �Wa-ang tahu dari sipa, yuang (Kamu tahu dari siapa, Buyung)?� Perempuan setengah baya itu balik bertanya dalam bahasa Padang. �Urang katurunan bangsawan gampang dikenal, Etek!� Ujarku dengan nada datar. Tak lupa sedikit senyum kuperlihatkan sebagai bumbu untuk terus bersikap ramah dan sopan pada setiap tamu dengan mengamalkan �tamu adalah raja�. �Oya�?� Nyaris serempak ibu dan anaknya bersuara. Karena kata-kataku barusan terkesan memuji dan mereka nampak merasa kagum. �Tapi�..� �Tapi apa, yuang?� Cepat ibu Junizar bertanya. �Tapi, maaf�dulu semasa kuliah aku pernah naksir pada Junizar. Karena aku tahu dia berdarah biru, aku mundur!� Kataku setengah bercanda, sambil sengaja kutatap Junizar dan berharap semoga dia masih mengenaliku. �Hai, kami Abi kan?� Tanya gadis itu sambil tersenyum lepas. Aku pun tertawa menyambutnya. �Tak kusangka kau kerja di cafe ini,� sambungnya. Sebelum aku sempat menjelaskan bahwa cafe ini adalah milikku untuk sekedar membanggakan diri, ibu Junizar langsung nyambar, �Tentu saja kau harus mundur, karena memang tidak layak pria seperti kamu berangan-angan ingin memiliki gadis bangsawan!� Aku terdiam. Kata-kata ibu Junizar sepertinya sangat meremehkan diriku, dan diam-diam mulai melukai hatiku. Namun aku tetap sabar dan senyum saja. Dan, aku sudah ingin berlalu ketika Junizar bersuara, �Hai, tunggu dulu, saya belum ngomong!� Spontan aku berhenti melangkah dan berpaling, �Ada apa lagi, hei puti mancik di ateh pagu? (puteri tikus diatas loteng)?� Ungkapan itu meluncur saja tanpa kusadari sama sekali. Mungkin karena rasa sangking jengkelnya. Soalnya, ungkapan tersebut merupakan sindiran yang terkesan mengejek dan nyeleneh terhadap mereka yang selalu ingin membanggakan diri sebagai keturunan darah biru di Ranah Minang. �Apaaa�?� Reaksi dari Junizar cukup hebat, wajahnya menjadi merah padam. Aku sama sekali tak menyangka kalau dia akan tersinggung hebat, sebab semasa di kampus dulu aku dan teman-teman sering mengolok-oloknya demikian. �Saya dipanggil anak tikus? Dan kamu sendiri siapa? Mungkin lebih buruk dari beruk di rimba. Ya�.beruk yang suka mengejek!� Ujarnya kemudian dengan suara setengah berteriak. �Maaf, aku tak sadar telah mengolok-olok kamu demikian. Ah, bodohnya aku. Aku merasa kita masih seperti di kampus dulu. Sekali mohon maaf! Anggap saja apa yang kuucapkan tadi sebagai canda dan tak perlu diambil hati!� Aku datang mendekatinya sambil mengulurkan tangan, tapi Junizar dan ibunya tidak ada niat menyambutnya. Kemudian mereka segera berlalu sambil memperagakan wajah tak sedap. Bahkan, Junizar sempat meludah di depan cafe dengan disaksikan banyak orang. Hinaan meludah di depan umum ini sempat membuat darahku mendidih. Kalau si Junizar itu laki-laki, mungkin dia sudah kubuat babak belur. Saat itu, aku hanya bisa menumbuk-numbuk telapak tangan sangking geramnya. Ketika itulah seorang tamu, persisnya lelaki paruh baya, menyarankan agar ludah yang membasahi tanah di depan cafe kuambil. Memang, setelah cafe agak sepi, aku segera mencungkil tanah tempat jatuhnya ludah Junizar tadi. Dengan sapu tangan kusimpan cungkilan tanah berpasir itu. Anehnya, Bapak yang tadi menyarankan agar aku mengambil air ludah itu mendatangiku dan membisikan sesuatu di telingaku, �Ingat anak muda, nanti malam kau campur air ludah itu dengan air kelapa. Masukkan ke dalam tempurung kelapa itu, lalu bungkus dengan kain warna hitam, dan kau ikat dengan benang merah!� Entah mengapa, aku begitu percaya dengan saran Bapak itu. Begitu tiba dirumah, sesuai bisikan tamu tersebut, tanah berpasir yang ada air ludah Junizar kumasukan ke dalam tempurung kelapa. Tempurung kelapa ini kemudian kubungkus dengan kain warna hitam, lalu mengikatnya erat-erat dengan benang merah. Aku yang selama ini tidak pernah melakukan hal yang berbau mistik, menurut saja apa yang dijelaskan tamu cafe itu. Si Bapak itu tadi mengatakan hal ini perlu kulakukan agar gadis tersebut tidak lagi mengulangi perbuatannya menghina lelaki. Bahkan, katanya, pelan tapi pasti dia akan minta maaf padaku. Menjelang tengah malam, aku telah berkurung diri di dalam kamar. Aku duduk bersimpuh untuk mengawali ritual mantera yang dinamakan Mantera Ratu Balqis pemberian Bapak misterius tadi. Di depanku arang sudah memerah, menyala. Lalu tempurung kelapa yang berisi bekas air liur Junizar segera kuasapi di atas pedupaan yang saat itu menggunakan kemenyan putih yang tengah mengepul membentuk gumpalan putih yang kental. Lalu mantera Ratu Balqis kulafalkan. Karena mantera itu cukup pendek, aku dengan mudah bisa menghafalkannya. Setelah ritual ini selesai, tempurung kelapa berbungkus kain hitam tersebut kugantungkan di atas atap bubungan rumah dengan menggunakan tali ijuk. Semuanya persis seperti yang disarankan si Bapak misterius yang seperti baru pertama kali mengunjungi cafeku. Dengan demikian, ritual itu sudah selesai, dan aku tinggal menunggu hasilnya beberapa hari ke depan. Hal demikian yang dikatakan tamu di cafeku malam itu. Apa yang dikatakan Bapak itu memang menjadi kenyataan. Buktinya, tiga hari kemudian, gadis itu datang ke cafeku sendirian. Sungguh sulit diterima akal sehat, Junizar yang cantik namun angkuh itu bersembah sujud di bawah kakiku, disaksikan banyak orang. Sebenarnya aku mulai kasihan padanya, namun karena aku masih belum bisa melupakan penghinaannya tempo hari, aku cuek saja. �Maafkan saya, Uda�saya sadar meludahi Uda di depan umum. Malam itu membuat Uda sangat terhina!� Ujar Junizar dengan nada memelas dan menghiba. �Aku memang pantas diludahi, jadi tidak ada yang perlu aku maafkan!� Jawabku. Tangan gadis ini membetot kedua kakiku di bawah, segera kulepaskan dan kusingkirkan dengan agak kasar, sehingga dirinya terjerembab dan terjengkang. Hatiku memang masih menyimpan dendam berkarat terhadap Junizar. Apalagi aku tahu, peristiwa ini semata karena kekuatan Mantera Ratu Balqis yang pernah kuamalkan malam itu. Jadi permintaan maaf itu bukan ungkapan murni dari lubuk hatinya. Keesokan malamnya, gadis itu kembali menemuiku dan ditemani cowoknya. Pemuda yang berpakaian rapi dan parlente ini langsung menyalamiku seraya berkata, �Saya heran, hari-hari terakhir ini, Junizar sering menyebut nama Anda. Sepertinya dia selalu membayangkan wajah Anda. Ada apa sebenarnya dengan kalian?� �Tidak ada yang serius, hanya di antara kami berdua pernah terjadi pertengkaran kecil beberapa waktu yang lalu!� Jawabku tenang-tenang saja. �Apa masalahnya?� Susul si cowok bertanya. �Silahkan tanya saja pada cewek Anda itu!� �Sudah saya lakukan, tapi Junizar tidak mau mengatakannya.� Aku terdiam sambil menatap wajah pasangan muda-mudi di depanku silih berganti. �Uda Abi, tolonglah saya�.maafkan apa yang telah terlanjur saya perbuat malam itu!� Junizar datang mendekat sambil mengulurkan tangannya. Tapi aku segera berupaya mundur dua langkah sambil menepis tangan itu. Kini, pandanganku terarah ke cowok Junizar dengan agak sinis. �Pertanyaan Anda barusan sudah terjawab, bukan?� Ujarku kemudian. �Meskipun aku bukan keturunan bangsawan di Ranah Minang ini, jelek-jelek begini masih punya harga diri sebagai seorang lelaki!� �Lalu mengapa tiada maaf darimu, Hah?� Cowok Junizar setengah membentak. Malam itu, cafe masih sepi. Tamu yang datang baru satu dua orang yang duduk cukup jauh dari kami berdiri. Jadi mereka tidak memperdulikan diriku yang tengah bertengkar mulut dengan pacar Junizar. Pertanyaan cowok Junizar tidak kutanggapi. Aku terus berlalu guna menghindari konflik yang semakin memanas. Apalagi, orang-orang mulai ramai berdatangan, memasan ini dan itu. Dan Junizar segera diseret cowoknya keluar dari cafe lalu masuk ke dalam mobil yang cukup mewah. Setelah itu, Junizar tidak muncul-muncul lagi. Ada kabar, si cowok memutuskan hubungan dan meninggalkan Junizar karena dibakar api cemburu. Dia berprasangka buruk bahwa antara aku dan Junizar pernah melakukan skandal cinta yang serius. Begitu ditinggal cowoknya, Junizar mengalami depresi dan menanggung beban mental yang berat. Lebih tepat, disebut gila. Melalui bibirnya yang mungil dan indah, sering keluar kata-kata sendu, �Aduhai Uda Abi sayang, mengapa Uda tidak sudi memaafkan diriku?� Demikian yang disampaikan padaku oleh Ibu Junizar ketika menemuiku di cafe. Dengan mata berkaca-kaca, beliau mengabarkan nasib malang Junizar, puteri mereka satu-satunya. Selain kurang waras, kesehatan gadis tersebut juga semakin menurun, tubuhnya sudah seperti kulit pembungkus tulang. Aku menjadi sangat terenyuh juga menyimak ceritanya. Perasaanku mulai mengambang. Berusaha mengusir rasa dendam di hati ini. Lalu bersama ibu Junizar aku datang membesuknya sekalian ingin memberi maaf pada gadis malang itu. Dengan harapan bisa membantunya menjadi sehat dan waras kembali tanpa ada pamrih seujung kukupun. Namun, niat itu ternyata membuahkan petaka. Junizar yang sedang dipasung dalam kamar tidur, memperagakan dendam kusumat kepadaku saat muncul di ambang pintu. Tubuh kerempeng setengah telanjang tersebut, tampak meronta-ronta ingin melepaskandiri dari belenggu rantai besi yang mengikatnya. Sepertinya kalau terlepas dia akan segera menerkamku layaknya singa kelaparan. �Hai�! Kau laki-laki tak tahu diuntung, muka macam beruk ingin menikahiku? Tak usah ya�begini-begini aku masih berdarah bangsawan di era Kerajaan Bundo Kanduang dulu. Terkutuklah kau muka beruk. Aku tidak perlu dimaafkan lagi, sudah terlambat. Enyah kau dari sini! Muak aku memandang wajah berukmu itu!� Aku hanya tertegun dan terpana saja serta semakin prihatin setelah melihat keadaan Junizar. Mungkin aku sudah terlambat, karena Mantera Ratu Balqis yang pernah kuamalkan beberapa waktu yang lalu sudah habis masa energinya. Dan saat ini Junizar sudah terbebas dari pengaruh itu. Bahkan berbalik menyerangku tanpa tedeng aling-aling. Aku hanya bisa mendoakan agar Junizar panjang umurnya dan sembuh seperti sediakala. Namun doa itu tidak terkabul, begitu esok paginya, aku mendapat kabar bahwa gadis malang tersebut telah tiada. Aku turut berkabung, bahkan sangat berduka atas meninggalnya Junizar. Tiga hari berturut-turut aku menaburkan bunga di pusara almarhumah sekalian mendoakan dengan tulus agar arwahnya tenang di alam barzah. Anehnya, pada malam tertentu, aku sering menyaksikan penampakan sosok Junizar muncul duduk di cafe seorang diri agak di pojok. Memperagakan wajah sendu dan pucat. Namun, begitu kudatangi, sosok itu menghilang. Ternyata, bukan aku saja yang melihat penampakan aneh itu. Banyak juga pengunjung cafe yang pernah menyaksikannya. Agaknya, karena itulah orang-orang yang datang ke cafeku semakin hari semakin sepi. Karena mereka dihantui oleh keberadaan setan di tempat itu. Setelah cafeku pailit, akhirnya aku memutuskan untuk menutupnya. Aku pun pergi merantau ke kota Medan untuk alih profesi. Di ibu kota Sumut ini kebetulan ada paman yang punya perusahaan dagang yang bonafid. Sejak aku menyandang gelar sarjana, pamanku itu telah pernah mengajakku datang ke Medan untuk membantu bisnisnya. Pada saat pertama kali menginjakkan kaki di kota Medan, paman nampak agak pangling menyaksikan penampilan dan wajahku. Aku dan paman memang sudah lebih sepuluh tahun tidak jumpa. �Kenapa paman? Kok paman memandangku seperti ada yang tidak beres dengan wajahku?� Tanyaku heran ketika menyalaminya. �Ya, mungkin ada yang tidak beres, karena dulu wajah itu lumayan tampan. Sekarang kulihat lebih mirip dengan wajah beruk. Kurasa kau telah terkena kutukan oleh seseorang yang sangat membencimu. Apakah yang telah kau lakukan terhadapnya?� Sejenak aku terperangah dan terpana sambil meraba-raba seluruh wajah, dan terasa memang ada tumbuh bulu-bulu halus di permukaan dan mulutku agak monyong ke depan. Jadi paman tidak bercanda, sehingga tanpa malu-malu kuceritakan apa yang kualami di kota Padang sebelum memutuskan merantau ke Medan. �Mantera Ratu Balqis? Memang kurang populer, karena berasal dari Muslim Syiah di Irak. Penggunanya harus hati-hati, karena kalau salah mengamalkannya, akibatnya bisa menjadi bumerang. Pengguna atau pelakunya akan mendapat kutukan!� Jelas Pamanku. Paman kemudian mengajakku ke Tanjung Morawa, bertemu dengan seorang Kyai Muslim Syi�ah. Aku diruqiyah, untuk membuang noda-noda kutukan tersebut. Hampir sebulan aku tinggal bersama Kyai, sampai wajahku kembali normal seperti semula. Usiaku semakin bertambah, dan aku sepertinya mulai tidak berselera melihat kemontokan tubuh perempuan. Mungkin pengaruh kejiwaan sejak kematian Junizar. Entah sampai kapan aku bisa tahan tidak menikah, hanya waktu saja kelak yang akan menjawabnya. Terus terang, jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, selalu terbesit harapan ingin bersatu dengan Junizar meskipun hal itu mungkin terjadi setelah aku mati kelak. Sampai kini, aku tahu tahu siapa sesungguhnya Bapak yang telah memberiku petunjuk dan amalan Mantera Ratu Bilqis itu. Apakah dia manusia, ataukah berasal dari bangsa jin kafir yang memang ingin menyesatkanku. Akhirnya, aku selalu berdoa semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku! sumber : misteri
__________________
![]() |
#2
|
|||
|
|||
![]()
Mantera Ratu Balqis, sepengetahuan saya itu adalah amalan penunduk, terutama ditujukan kepada kaum hawa saja. Sekeras apapun seseorang hampir pasti akan menjadi tunduk dan lemah. Kelihatannya si pengamal, melakukan dengan hati yang panas. Inilah kekeliruan itu. Jika diamalkan dengan hati yang dingin dan tidak dendam, maka insya Allah tuahnya tidak akan membahayakan siapapun juga.
Sesungguhnya tidak harus mengamalkan Ratu Balqis, masih banyak amalam AlQur'an yang bisa kita amalkan sendiri, tanpa resiko apapun, insya Allah. |
#3
|
||||
|
||||
![]()
Seet, serem banget Ndan
kalo ane jauh2 dah, ngeri bgt ![]() |
#5
|
||||
|
||||
![]()
wuih... serem ndan... klo ane mending gk mau berurusan dengan yang kek gitu..
![]() |
#6
|
||||
|
||||
![]()
mantap......
![]() ![]() |
![]() |
|
|