Banyak orang sering mengaitkan fasikulasi atau kedutan dengan mitos-mitos yang absurd. Kedutan pada masyarakat tradisional sering dianggap sebagai firasat karena munculnya cukup mengganggu dan berlangsung terus-menerus.
Namun, dalam dunia kesehatan, kedutan sebenarnya salah satu sinyal yang diberikan oleh tubuh melalui otot. Tak jauh berbeda dengan kram, kedutan merupakan hasil aliran listrik syaraf tak normal pada otot.
Bedanya, jika pada kram terjadi gelombang listrik yang terlalu besar, sedangkan kedutan terjadi aliran listrik secara involuntir, atau tanpa disadari dan terjadi terus-menerus. Kontraksi ini diteruskan melalui syaraf pada target otot di luar kontrol.
Menurut dr Yusak M Siahaan, SpS, neurologis dari Siloam Hospital Karawaci, bila dianalogikan, ibarat orang yang menerima informasi secara berlebihan dan sudah overload, lama-kelamaan akan melakukan hal-hal di luar normal, karena menerima informasi yang berlebihan.
Umumnya, kedutan terjadi pada bagian tubuh yang lelah seperti wajah, tangan, kaki, dan dada. Sifat lelahnya bukan diakibatkan aktivitas berat, tetapi dilakukan dalam jangka waktu panjang di luar batas normal, sehingga memicu kelelahan. Misalnya, terlalu lama menggunakan komputer, kurang tidur, bekerja terus-menerus tanpa istirahat, atau lainnya. Pada kondisi stres, kedutan akan semakin parah, bahkan kontraksi tanpa sadarnya akan semakin kuat.
Kedutan juga bisa merupakan pertanda gejala neuropati seperti ALS (amyotrophic lateral sclerosis). Gangguan ini merupakan penyakit degeneratif yang biasanya diidap orang-orang lanjut usia di atas 50 tahun.
Namun, umumnya kedutan akibat ALS tak terjadi secara mandiri, melainkan disertai gejala lain, seperti kesemutan dan kelemahan pada anggota gerak seperti tangan dan kaki. Jika disertai kelemahan pada otot napas, serangan penyakit ini dapat menyebabkan kematian.
sumber: kompas