Jakarta - Isu separatisme kembali menyeruak. Ketimpangan pembangunan di pusat dan daerah diduga menjadi pemicunya.
"17 Agustus adalah hari yang sangat sakral, mendebarkan jantung hati kita. Itu hari proklamasi kemerdekaan kita. Andaikan negara ini adalah sebuah badan, apakah kita yang ada di Jakarta merasakan kesakitan yang ada di perbatasan," ujar pengamat politik LIPI, Ikrar Nusa Bakti.
Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi bertajuk 'Kesetaraan Lembaga Perwakilan untuk Membangun Daerah' di Gedung DPD, Senayan Jakarta, Jumat (5/8/2011).
Menurut Ikrar, hampir 66 tahun Indonesia namun masih terjadi ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Ketimpangan pembangunan itulah, menurut Ikrar yang membuat masyarakat di daerah perbatasan bersuara.
"Kami ini warga negara Indonesia atau bukan? Kenapa kami tak diperhatikan? Selalu dianggap zona merah, rawan berbahaya sehingga ditaruh tentara seperti itu," kata Ikrar menyuarakan masyarakat perbatasan.
Ikrar pun mengkritik pemerintah baik pusat maupun daerah. Menurut Ikrar, pemerintah pusat dan daerah sering lempar tanggungjawab atas pembangunan di wilayah perbatasan.
"Soal jalan misalnya, kalau rusak yang diperdebatkan adalah apakah itu jalan negara, jalan provinsi atau apa. Itu saja jadi perdebatan lama," kata Ikrar mencontohkan.
Beberapa hari terakhir aksi kekerasan bernuansa separatisme menyeruak di Papua. Terakhir, 1 Agustus lalu, kelompok bersenjata Papua melakukan aksi yang menewaskan 4 orang, seorang di antaranya anggota TNI dan melukai sejumlah orang lainnya.
sumber