FAQ |
Calendar |
![]() |
|
News Semua berita yg terjadi di dunia internasional ataupun lokal diupdate disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]() ![]() Foto: Chaidir Anwar Tanjung Jakarta - Empat permohonan jaksa untuk menghukum mati diamini pengadilan Indonesia yang tersebar di 3 wilayah, kemarin. Mereka adalah 2 WN Malaysia, 1 WN China dan 1 WNI karena terlibat dalam kartel narkoba internasional. Lonceng kematian pertama ditabuh Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru kepada Ng Hai Kwan (50). WN Malaysia itu masuk ke Riau dari Malaysia pada April 2015. Kedatangannya diendus Polda Riau dan akhirnya ia ditangkap di sebuah hotel di Pekanbaru dengan barang bukti 46,5 kilogram sabu. Narkoba bernilai lebih dari Rp 180 miliar rencananya akan dikirim ke Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan ke sejumlah daerah di Pulau Jawa. Atas kejahatan Ng Hai, jaksa tidak memberikan pintu maaf dan menuntutnya dengan hukuman mati. "Berdasarkan bukti dan keterangan saksi selama di persidangan, kami majelis hakim sepakat menjatuhkan vonis mati terhadap terdakwa," kata ketua majelis hakim Amin Ismanto, Selasa (15/9/2015) kemarin. Tiga vonis mati sisanya diketok oleh Mahkamah Agung (MA) yang dilansir kemarin. Pertama, vonis mati dijatuhkan kepada WN China, Lai Shieu Chung (35). Lai memulai bisnisnya dengan sangat rapi. Ia menyaru menjadi pengusaha mainan anak dan masuk Indonesia pada Juli 2013. Setelah itu ia mengontrak apartemen, mengontrak gudang dan membuka usaha di Mangga Dua. Dirasa penyamarannya berhasil, lalu ia mengimpor satu kontainer mainan. Ternyata di dalamnya sudah disisipi 91 kg sabu. Aksi ini tercium oleh Polda Metro Jaya dan Lai ditangkap di depan toko B 5 No 271 Mangga Dua Square pada 29 April 2014. Lai pun diseret ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. JPU Aji Suanto menuntut Lai dijatuhi hukuman mati. Tapi apa daya, majelis hakim berkata lain. Pada 26 November 2014, ketua majelis hakim PN Jakpus, Casmaya, memutuskan terdakwa Lai Shieu Chung dijatuhi penjara seumur hidup. Vonis ini dikuatkan oleh PT Jakarta. Tidak terima, jaksa lalu kasasi dan dikabulkan. "Mengabulkan permohonan pemohon," putus majelis kasasi yang diketuai Prof Dr Surya Jaya dengan hakim anggota Desnayeti dan Syarifuddin. Terakhir, dua vonis mati kedua ditujukan kepada duo mafioso narkoba WN Malaysia Teng Huang Hui dan WNI Hermanto. Teng dan Hermanto ditangkap aparat pada 29 April 2014 di rumah mereka di Taman Puncak Mas, Bukit Golf, Babakan Madang, Bogor. Dari kicauan mereka, keduanya mengaku menyimpan sabu di sebuah hotel di Jakarta. Setelah itu polisi menyasar hotel di Mangga Dua, Jakarta, dan ditemukan narkoba jenis sabu seberat 3,2 kg dalam sebuah tas hitam yang disimpan di kamar. Keduanya lalu disidangkan dan dituntut mati. Namun dengan dalih agama, PN Cibinong pada 21 Januari 2015 enggan menghukum mati keduanya. Menurut majelis hakim tidak ada yang berhak menentukan hidup dan mati seseorang selain Tuhan YME. Putusan ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Bandung. Atas vonis tersebut, jaksa tidak terima dan melawan dengan mengajukan kasasi. Gayung pun bersambut. Ketua majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar dengan anggota Surya Jaya dan Sri Murwahyuni mengabulkan permohonan itu. Rentetan putusan ini mengukuhkan Indonesia sebagai negara pro hukuman mati. Putusan Mahkamah Agung (MA) ini menjadi rujukan yurispudensi para hakim di bawahnya. Namun sayang, Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon memilih memberi penafsiran sendiri atas hukuman mati. Atas pertimbangan tidak ada penelitian bahwa pidana mati menjadi efek jera bagi pelaku bisnis narkoba, PN Lhoksukon meloloskan sekawanan penyelundup narkoba 14 Kg sabu dari Malaysia lolos dari hukuman mati. Mereka adalah Ramli (49), istrinya Nani (39) dan anaknya, Muzakir (20) serta rekannya Herman (48). Majelis hakim memilih membebani rakyat untuk memberikan keempatnya makan, minum dan tempat tinggal di bui hingga meninggal dunia di penjara. |
![]() |
|
|