FAQ |
Calendar |
![]() |
|
Nasional Berita dalam negeri, informasi terupdate bisa kamu temukan disini |
![]() |
|
Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Halaman 1 dari 3
![]() Jakarta - Menulis soal Denny adalah menulis kontroversi. Menulis Indrayana adalah menulis pro dan kontra. Saya ingin memulai tulisan ini dengan rima seperti itu. Sudah beberapa hari ini saya ingin menulis tentang Profesor Denny Indrayana. Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu sedang dibidik atas kasus payment gateway di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Niat itu selalu tertunda-tunda. Selain rasa malas yang secara manusiawi sering menghinggapi seorang penulis, hal lain yang menerpa saya adalah ketidaksiapan menerima 'risiko' diumpat banyak pihak. Terutama, tentu saja, mereka yang tidak suka dengan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) itu. Hal lain lagi, Denny, toh, belum tersangka. Baru sekadar diperiksa. Belum jadi tersangka, juga belum ditahan. Jadi, ya, nggak seru. Cuma kalau jadi tersangka dulu baru menulis, saya merasa berdosa juga. Soalnya tidak main-main, kasus yang bakal menjerat Denny itu adalah kasus korupsi. Akan menjadi paradoks luar biasa bila sosok yang selama ini sangat vokal dan berada di garda terdepan dalam barisan antikorupsi itu menjadi tersangka korupsi. Nalar saya jelas sangat tidak bisa menerima. Bagaimana mungkin? Isu Antikorupsi Saya mengenal Denny – begitu saya menyapanya – sudah sejak lama. Sejak di Kampus UGM. Denny, yang angkatan 91, dua tahun di bawah saya yang angkatan 89. Saya 'ikut' mengenalkan Denny pada dunia aktivitas kampus dan dunia hukum tatanegara. Tidak heran hingga saat ini Denny tetap memanggil saya 'Abang'. Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tatanegara dari Universitas Andalas, Padang, yang juga akrab dengan kami berdua, kerap protes soal legacy itu. Kepada Saldi, Denny memanggil nama saja. Padahal, di antara kami bertiga, Saldi yang paling tua. Denny kelahiran 1972, saya 1970, dan Saldi 1968. (Soal kelahiran, dasar 'anak kampung', Saldi menyatakan kemungkinan ia lahir pada tahun 1969. Namun, karena lahir di desa, orang tuanya tidak tahu persis tahun kelahirannya). Selain dunia hukum tatanegara, soal yang menggerus perhatian Denny adalah isu-isu antikorupsi. Sudah dua lembaga yang didirikan Denny yang terkait dengan isu tersebut di Yogyakarta. Pertama, ICM (Indonesian Court Monitoring), lembaga yang dimaksudkan untuk memantau proses peradilan. Kedua, Pukat Korupsi UGM (Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada). Denny menjadi Ketua Pukat Korupsi pertama sebelum digantikan Zainal Arifin Mochtar. Jabatan itu ditanggalkan karena Denny melangkahkan kakinya ke istana. Baik sebagai Ketua Pukat Korupsi UGM maupun 'orang istana SBY', Denny sesungguhnya tidak pernah berubah, tetap antikorupsi. Aktivis-aktivis antikorupsi, dari ICW (Indonesian Corruption Watch) misalnya, sangat merasakan betul fungsi Denny sebagai bridging (jembatan) antara negara (state) dan masyarakat sipil (civil society) dalam isu-isu antikorupsi. Termasuk antara istana dan lembaga-lembaga negara independen semacam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Next Halaman 1 2 3 Next |
#2
|
|||
|
|||
![]()
Keren nih orang gan
![]() Spoiler for Jangan Buka:
|
![]() |
|
|