Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > DISKUSI > News > Surat Pembaca

Surat Pembaca Posting ataupun baca komentar,keluhan ataupun laporan dari orang-orang dengan pengalaman baik/buruk.

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 20th February 2015
Gusnan's Avatar
Gusnan Gusnan is offline
Moderator
 
Join Date: Jun 2013
Posts: 27,623
Rep Power: 49
Gusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyakGusnan memiliki kawan yg banyak
Default D’Academy dan Selera Penonton Indonesia

Large Image Link (334 kB)



A Fahrizal Aziz


Munculnya kembali ajang pencarian bakat menyanyi dangdut semisal Dangdut Akademi (D’Academy) yang beberapa hari ini tayang di Indosiar, menunjukkan jika animo masyarakat terhadap musik dangdut masih lumayan tinggi. Itu terlihat dari banyaknya peserta audisi dan juga komersial break yang begitu lama. Komersial break tersebut menunjukkan jika rating acara tinggi. Ditambah, tayangnya di jam primetime. Pun ketika melihat kualitas panggungnya yang megah, semakin menunjukkan jika musik dangdut masih memiliki jumlah penggemar yang signifikan.

Saya mengikuti beberapa acara pencarian bakat semacam itu, jika tak punya kesempatan menonton tayangan live-nya, biasanya lihat di youtube. Sejak AFI (Akademi Fantasi Indosiar), Indonesian Idol, x-factor, Idola Cilik hingga Rising Star saya juga mengikuti. Yang jarang justru Dangdut, misalkan ketika ada KDI di TPI (sekarang MNCTV). Kali ini, mumpung ada D’Academy, saya ingin mengikuti agar tambah pengetahuan soal lagu-lagu Dangdut. Konon, Dangdut is the music of my country. Lucu juga kalau saya (yang asli warga Indonesia) justru tak tahu lagu dangdut.

Menyanyikan lagu dangdut memang tidak mudah. Butuh cengkok tertentu. Tapi jika melihat penampilan para kontestan, rasanya generasi musik dangdut di negeri ini masih bejibun. Apalagi kontenstan yang masih muda, berusia 15-25 tahun. Dangdut pun sudah bukan lagi musik pinggiran, hampir semua lapisan masyarakat, baik kelas grass root hingga elite, juga mendengarkan lagu dangdut. Kontes D’Academy saja misalkan, jika melihat desain panggungnya, tak kalah dengan x-factor.

Hanya saja, baru beberapa kali menonton tayangan D’Academy, saya jadi agak malas. Bukan tidak suka dengan musik dangdutnya, melainkan porsi dan konsep acaranya terlalu over di beberapa hal. Misal komentar juri, ditambah komentar coach dan beberapa konflik buatan plus guyonan yang pada akhirnya ‘substansi’ dangdutnya agak terlewatkan. Ajang yang seharusnya bisa menjadi show up-nya calon bintang, justru yang nampak show up adalah host dan dewan juri. Belum lagi, komentar panggung dan busana yang menjadi penilaian terbuka. Seharusnya, hal-hal semacam itu dibahas saja dibelakang panggung.

Sebagai penonton awam seperti saya, tentu tidak paham juga dengan detail busana, atau penampilan panggung. Ingin fokus mendengarkan suara kontestan dan juga komentar juri. Karena dari komentar juri, biasanya kita mendapatkan banyak wawasan baru.

Pihak penyelenggara mungkin bertujuan agar kontestan bisa mendapatkan masukan yang detail, akan tetapi bagi penonton awam hal semacam itu bisa jadi sangat over. Kadang kala, bernyanyi dengan natural justru terlihat lebih menarik. Misalkan, Raja Dangdut Rhoma Irama, bernyanyinya hanya berdiri sambil memainkan gitar. Tapi enak dinikmati. Masyarakat menikmati Rhoma Irama bukan dari goyangan, tetapi fokus ke lagu, lirik, dan musik.

Apalagi, jika mengamati industri musik atau selera penonton kita, penyanyi yang unggul secara teknikal kadang masih kalah dibandingkan yang memiliki ciri khas. Contohnya x-factor, Novita Dewi secara taknik mungkin lebih unggul dari Fatin, tapi animo penonton justru lebih kuat ke Fatin. Yang terbaru Rising Star, siapa sangka Indah Nevertari berhasil menjadi juara, menyingkirkan kontestan yang bahkan bisa menyanyikan banyak genre. Saiful Jamil sendiri, bisa menjadi penyanyi dangdut yang populer, meskipun secara teknik mungkin biasa saja.

Selera penonton mungkin berbeda dengan selera juri atau penyelenggara. Bagi penonton, asal menghibur. Terlepas dari busana, aksi pangung, dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak berhubungan dengan suara. Lagipula, boleh-boleh saja para kontestan di latih di asrama, dikomentari busana, aksi panggung, dll. Tetapi setelah acara kontes berakhir, semuanya akan kembali ke masyarakat. Tak sedikit yang setelah kontes berakhir, namanya tak terdengar lagi. Berbeda dengan ajang pencarian bakat lain, yang non dangdut, nama mereka beberapa berkibar, semisal Judika, Fatin, Virzha, Mikha, dll.

Padahal, ajang D’Academy ini bisa menjadi jangkar untuk mencetak calon bintang dangdut karena animo masyarakat dan ratingnya yang tinggi. Bahkan saya yang awalnya tak terlalu interest dengan dangdut, sangat tertarik untuk menonton. Hanya saja, seperti kritik saya di awal, peserta justru hanya diperankan sebagai obyek bukan subyek, serta konsep acara yang terlalu over di beberapa segmen. Akhirnya, setelah acara berakhir, yang kita ingat bukan penampilan para kontestan, yang membekas justru lawakannya, komentar jurinya, dan konflik buatan antara juri, host dan coach. Setelah kontes selesai, para penonton akhirnya lupa.

Padahal, dengan jumlah penggemar yang signifikan tersebut, harusnya musik dangdut bisa memiliki pasar yang kompetitif dengan musik pop atau rock. Apalagi, setelah ada kontes yang menyedot jutaan pasang mata ini. Sebagian produser tentu akan berfikir mengorbitkan mereka. Bersaing dengan penyanyi non dangdut seperti Afgan, Tulus, Raisha, dll. Atau minimal, bersaing dengan jebolan kontes lain semisal Judika, Fatin, Virzha, Nowela, Indah Nevertari, dll.

Meskipun sama-sama ajang pencarian bakat, tetapi konsep yang ditawarkan berbeda, dan kontes penyanyi Dangdut memang nampak so-old. Akankah music dangdut akan mampu bagian dari trend masyarakat Indonesia? Semisal music melayu di Malaysia atau musik Bollywod india? Di Jepang, sekalipun tidak serta merta menolak musik pop dan rock, ada kombinasi dengan alat musik tradisional hingga menciptakan aliran baru Japanese pop dan Japanese Rock.

D’Academy memang menarik, menyedot banyak penonton, tetapi dengan konsep yang ada, justru membuat penonton tak fokus dengan peserta. Apalagi, durasi bernyanyi dengan yang lainnya sangat timpang. Sampai kapanpun, mungkin dangdut belum akan mampu menggeser superioritas musik pop dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun secara teknik, bernyanyi dangdut jauh lebih sulit.

Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 05:11 AM.


no new posts