Ceriwis  

Go Back   Ceriwis > HOBI > Travel, Wisata, Liburan > Domestik

Reply
 
Thread Tools
  #1  
Old 20th February 2011
kafir's Avatar
kafir kafir is offline
Member Aktif
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 151
Rep Power: 0
kafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophet
Default Menikmati Kemolekan Pantai Samudra Hindia di Jember

Quote:

Selat Bali di Watu Ulo, Banyuwangi. TEMPO/ Arie Basuki


TEMPO Interaktif, Jember - Hujan deras sejak subuh meninggalkan gerimis halus dan jalanan licin, Kamis (3/2) pagi. Dengan mantel membungkus badan, saya memacu motor dengan kecepatan sedang, menelusuri jalanan basah. Setelah melewati enam wilayah kecamatan, dengan puluhan desa dan dusun, menempuh sekitar 2,5 jam perjalanan, melintas 37 kilometer ke arah selatan kota Jember-Jawa Timur, akhirnya saya tiba di pinggir Desa Sumberejo dan Desa Lohjejer, Kecamatan Ambulu.

Inilah desa di bibir pantai Samudra Hindia, yang memiliki pantai dengan pemandangan eksotis; Pantai Watu Ulo, Tanjung Papuma, dan Pantai Malikan.

Gerimis halus masih saja mengucur, berliuk-liuk diterpa angin pantai. Saya segera masuki pintu gerbang Pantai Wisata Watu Ulo setelah sebelumnya membeli karcis Rp 8.000 untuk 1 orang dewasa dan 1 motor. "Kalau hari biasa, bukan hari libur begini Rp 5.000 per orang,"tutur Zamroni, seorang petugas loket pantai Watu Ulo.

Jalanan mulai menanjak sekitar 600 meter ke arah barat, memasuki areal pantai wisata yang selalu dikaitkan dengan legenda Nyai Roro Kidul itu. Saya pun langsung memacu motor melewati jalanan aspal selebar 6 meter yang membujur searah garis pantai Watu Ulo yang penuh bebatuan dan pasir hitam itu.

Meskipun langit mendung dan gerimis masih saja mengucur, puluhan pengunjung tampak asyik menikmati pemandangan. Mereka terlihat gembira, duduk tersebar di bangku-bangku kecil dari potongan bambu, dan di emperan enam bangunan tempat
peristirahatan yang tak terawat.

Angin pantai cukup kencang bertiup. Ombak setinggi 2 meter terus saja bergulung menghantam gugusan karang dan mengecup bibir pantai yang 'dipagari ' tumbuhan pandan dan puluhan pohon waru yang tampak kerdil dan sebagian besar kering meranggas itu.

Di kejauhan, sekitar 3 kilometer di sebelah barat, gulungan ombak tampak tak henti menampar tebing gunung Watangan, setinggi 25 meter. Tak jauh dari tebing itu, teronggok sederetan batu panjang yang berjajar mirip tubuh seekor ular. Batu kehitaman berderet sepanjang 16 meter dengan lebar sekitar 4 meter, meliuk dari tepi pantai hingga menjorok ke bibir laut. Dari kejauhan terlihat seperti tubuh seekor ular raksasa tanpa kepala, yang tengah merayap di pantai.

Konon, batu panjang itu adalah seekor ular raksasa. Hingga kini, warga Dusun Payangan, Desa Sumberrejo masih meyakini jika batu itu merupakan penjelmaan ular yang mati dan membatu setelah turun dari gunung Watangan, karena dikutuk penguasa Samudera Hindia, Nyi Roro Kidul. Konon pula, akibat kutukan sang Nyai, kepala ular itu terputus dan terpental hingga ke pantai selatan wilayah Kabupaten Banyuwangi.

Versi lain dalam cerita rakyat setempat menyebutkan pada zaman dahulu kala ada seekor ular yang sedang bertapa di pantai itu. Setelah terkabul permohonannya kepada Yang Maha kuasa maka berwujudlah ia menjadi sebuah batu yang persis seekor ular dengan kepalanya menjulur ke laut, sedang badannya berada di daratan. "Makanya pantai ini disebut 'watu ulo' atau batu ular," tutur Abduh (53), seorang penjaga.

Sayang, angin bertiup semakin kencang, dan saya tak berhasil mendapatkan tempat atau posisi yang bagus untuk mengabadikan 'batu ular' itu.

Ombak laut yang besar serta terpaan angin ke pantai berdesir dan rindangnya pepohonan yang ada di bukit kecil di tepi pantai membuat suasana semakin syahdu. Ibarat perkawinan silang, pertemuan bibir pantai dengan bukit dan hutan yang rindang, membuat suasana di kawasan tersebut sangat indah. Sayangnya, kini kawasan Pantai Watu Ulo itu terlihat kotor.

Didirikannya beberapa warung penjual makanan dan minuman di sekitar bibir pantai rupanya tidak dibarengi upaya menjaga kebersihan pantai itu.

Apalagi ketika musim liburan sekolah, tahun baru atau lebaran tiba. Aneka pertunjukan biasa digelar di pantai itu selama tujuh hari tujuh malam dalam satu paket acara tradisional Pekan Raya Watu Ulo.

Pekan raya itu biasanya menyuguhkan berbagai kesenian, dari tradisional hingga ke pentas dangdut dan rock. Momen ini yang dimanfaatkan pengunjung untuk melengkapi wisata Lebaran mereka ke pantai itu. Bila datang, mereka selalu tampak menyemut. Semua jenis kendaraan biasa mereka pakai menuju tempat itu, tak terkecuali traktor pembajak dan pedati yang ditarik sapi.

Ratusan wisatawan asing dan puluhan ribu wisatawan lokal, tiap tahunnya datang ke lokasi wisata tersebut. Puncak keramaian di kawasan wisata pantai tersebut terjadi pada hari-hari libur nasional. Terutama tujuh hari setelah lebaran Idul Fitri.

Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, ada semacam 'tradisi' dari siswa-siswi Kabupaten Jember, yang merayakan kelulusan sekolahnya di Watu Ulo. Ribuan siswa dengan mengendarai sepeda motor secara berkelompok berkeliling kota dan akhirnya berkumpul di Watu Ulo hingga petang.

Namun selama dua-tiga tahun terakhir ini Pantai Watu Ulo tak ubahnya sebuah pantai yang mati. Pengunjung hanya menjadikan lokasi sekitar pantai ini sebagai lahan parkir bagi truk atau bus yang sulit menjangkau pantai pasir putih Malikan, dan Tanjung Papuma yang terletak di sebelah barat kawasan Pantai Watu Ulo.

"Kebanyakan para pengunjung lebih memilih berjalan-jalan di atas perbukitan Watangan dan istirahat di Pantai Papuma, karena pantai Watu Ulo tidak terawat, atau kotor," tutur Misnali (40), salah seorang petugas loket pantai Watu Ulo.

Hotel Wisnu, satu-satunya tempat peristirahatan di obyek wisata itu, yang dulu sempat marak dikunjungi tamu, kini pun tinggal kenangan lantaran tak beroperasi lagi. Terhitung sejak 1997 silam, pihak pengelolanya menutupi seluruh sisa bangunan hotel tua itu dengan pagar tembok dengan gedhek (dinding dari anyaman bambu). Pemandangan yang suram itu menambah keengganan orang untuk menyinggahi pantai yang pernah jadi kebanggaan warga Jember ini.

Jarum jam menunjukkan pukul 11.30 WIB. Saya beranjak meninggalkan kawasan pantai yang tak lagi bersih seperti sembilan tahun lalu itu. Ya, saat itu saya masih menikmati pantai sepanjang 4 kilometer itu masih molek dan bersih. Pasirnya yang hitam legam, selalu ditampar ombak putih kebiruan setinggi 2-3 meter, membiaskan siluet yang begitu kontras, memukau sekaligus mendebarkan.

Saya pun menggerakkan motor, ke arah barat, menaiki jalanan aspal menuju kawasan Pantai Pasir Putih Malikan atau disingkat Papuma dan Tanjung Papuma. Pantai dan tanjung itu terletak di sebelah barat pantai Watu Ulo. Dipisahkan tebing tinggi dan kawasan Gunung Wanawisata Watangan.

Secara geografis, pantai berpasir putih yang dikelilingi kawasan hutan lindung Perum perhutani itu terletak di kawasan wisata hutan dan pantai yang memiliki luas sekitar 50 hektare di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan.

Nama Papuma merupakan akronim dari Pasir Putih-Malikan. Kata ''tanjung'' ditambahkan di depannya, untuk menggambarkan adanya sebuah daratan yang menjorok ke laut arah barat daya dari wilayah itu. Selain pantainya, hutan yang terletak di sisi lainnya juga jadi daya tarik obyek wisata ini.

Jika pantai Watu Ulo dikelola pemerintah desa dan Dinas Pariwisata Kabupaten Jember, Kawasan Pantai dan Tanjang Papuma dikelola Perum Perhutani KPH Jember. Tentu saja, seperti pengunjung lainnya, saya pun harus kembali merogoh kocek Rp. 7.000 untuk membayar tiket masuk ke kawasan itu.

Untuk mencapai Pantai dan Tanjung Papuma, saya harus memacu motor dengan gigi 1 atau 2, akibat jalanan yang naik turun. Setelah menembus kawasan hutan jati yang tak lagi lebat itu, akhirnya saya tiba di sisi selatan Gunung Watangan yang berbatasan langsung dengan laut selatan.

Pantai Tanjung Papuma memang merupakan salah satu tempat wisata pantai yang menjadi rujukan wisatawan lokal dan mancanegara. Pantai yang terletak di Desa Lohjejer, Kecamatan Wuluhan, itu menyajikan hamparan pasir putih di bibir laut. Di pasir tersebut para pengunjung bisa bermain bola. Sedangkan bagi yang ingin menghabiskan sore bisa sekadar duduk-duduk di pasir tersebut.

Di pantai dekat pasir putih itu pula, bisa kita temukan puluhan perahu nelayan yang ditambatkan. "Bagi sebagian pengunjung perahu yang ditambatkan akan menjadi pemandangan tersendiri tetapi bagi yang lain tali yang digunakan untuk menambatkan perahu sering mengganggu permainan bola pantai.Yah namanya pengunjung keinginannya beda-beda tetapi kita tetap harus menampung keinginan nelayan," ujar Sudarwi, salah satu staf pengelola Pantai-Tanjung Papuma.

Puluhan perahu tersebut memang milik nelayan pantai itu. Setiap pagi dan siang mereka mendarat dengan menurunkan hasil tangkapan mereka. Para pengunjung bisa langsung membeli ikan dari nelayan dengan harga yang relatif lebih murah daripada harga di pasar.

Ketika sang ombak sedang bersahabat, kita juga dapat mendekati beberapa "atol" atau pulau karang, yang terletak sekitar dua mil dari pantai ke tengah teluk. Dari kejauhan pulau-pulau tanpa penghuni itu tampak menyerupai seekor katak raksasa.

Keasrian panorama atol-atol di sekitar Papuma akan semakin elok bila dipandang dari "Sitihinggil", sebutan untuk sebuah menara di atas bukit di ujung barat Tanjung Papuma. Menara itu sengaja dibuat oleh pihak Perum Perhutani Jember sebagai tempat pelancong menatap seluruh panorama di kawasan Papuma, sekaligus untuk tempat pemantauan keamanan satwa-satwa yang ada di kawasan itu.

Dari sana pula setiap pengunjung bisa menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau karang kecil sekaligus memancing. Pulau-pulau karang yang agak besar itu, sudah memiliki nama-nama dewa dalam dunia pewayangan yakni Batara Guru, Kresna, dan Narada.

Di pantai ini, hawanya sejuk. Tepian pantai penuh pepohonan rimbun nan hijau seperti pandan laut, palem hutan, serut, dan beragam jenis pohon lainnya -- sebuah kawasan hutan Gunung Watangan dengan berbagai satwa yang dilindungi.

Sekitar 2 kilometer di arah barat pantai pasir putih, kita bisa melihat Tanjung Papuma. Onggokan daratan kecil yang menjorok ke laut itu juga menyimpan beragam flora dan fauna khas tropis. Sekitar 500 meter di sebelah barat Tanjung Papuma, ada Pantai Malikan. Seperti halnya sembilan tahun lalu, saat ini pun saya masih merasa betah di pantai landai berpasir putih itu. Keelokan kawasan wisata pantai dan Tanjung Papuma masih terjaga. Bersih dan dapat dinikmati dalam cuaca apa pun, baik di musim kemarau maupun ketika musim hujan tiba.

Meski ombak pantai Tanjung Papuma cukup tenang, namun hampir setiap 3 menit saya menyaksikan gulungan ombak setinggi 3-4 meter yang datang dari arah selatan. Gulungan ombak tinggi itu menerpa gugusan atol (pulau karang) yang tersebar sekitar 50 hingga 100 meter dari bibir pantai. Permukaan laut yang berwarna hijau kebiru-biruan selalu mengundang hasrat untuk berenang atau sekadar menyentuhkan kaki di riak ombak yang bergulir ke pantai. Pasir pantai yang putih dan sangat halus begitu terasa di tapak kaki saya yang melepaskan sepatu sandal.

Sekitar 40 menit memuaskan diri di kawasan pantai pasir putih itu saya kembali menaiki motor, melewati jalanan aspal berliku menuju Tajung Papuma di arah barat. Rupanya di kawasan ini cukup ramai. Kebanyakan muda-mudi tampak asyik berkencan di atas motor yang mereka parkir di pinggir jalan yang terletak sekitar 7 meter di atas pantai pasir putih itu.

Setelah memarkir motor dan mengamankannya dengan kunci roda, saya menapaki tangga beton, menanjak, menuju "Sitihinggil", sebutan untuk sebuah menara di atas bukit di ujung barat Tanjung Papuma. Menara itu sengaja dibuat oleh pihak Perum Perhutani Jember sebagai tempat pelancong yang hendak menikmati keindahan hampir seluruh wilayah pantai dan Tanjung Papuma dari ketinggian 15 meter.

Aha...., di pelataran Sitihinggil yang luasnya sekitar 6 X 6 meter, dengan 6 tiang dan atap genting di bangunan tanpa dinding itu, rupanya ada tiga pasang muda-mudi yang juga asyik bercengkrama. Seolah tak mempedulikan kedatangan saya, mereka menikmati suasana di beberapa sudut bukit Tanjung Papuma, melihat gugusan atol dan deretan ombak dari ketinggian.

Beberapa menit kemudian, dua orang petugas Wanawisata berseragam menyusul naik. Mereka ramah dan bersahabat, meski tampak garang dengan setelan baju hijau. "Tempat ini, memang ramai. Jadi favorit anak-anak muda pacaran, Mas. Jadi harus
sering diawasi, jangan sampai mereka berbuat yang tidak-tidak," tutur Solekan (45) salah seorang petugas.

Sekitar 20 menit berlalu tanpa terasa. Tak terasa, sebotol besar air mineral dan 3 bungkus roti gulung yang jadi 'ransum' saya tandas, untuk ngobrol bersama Solekan dan Seturiyono, dua petugas itu. Keduanya lantas saya ajak bergerak turun.

Mereka dengan senang hati 'mengantar' saya dengan motor trailnya menyusuri jalan aspal ke arah barat, menuju kawasan pantai yang baru tahun 2000 lalu dibuka oleh Perhutani dan disebut dengan nama Pantai Malikan. Wajah Malikan bukanlah hamparan pasir hitam atau putih, tapi lebih berupa karang-karang pipih yang mirip kerang raksasa berjajar di sepanjang bentangan pantai yang menghadap ke barat.

Karang-karang kecil berwarna-warni mudah ditemui di sini. Ini merupakan pecahan-pecahan terumbu karang yang terbawa ombak. Bila mujur, kita juga bisa menemukan lobster di sela-sela bebatuan pipih di pantai Malikan. Apalagi bila air laut sedang surut. Udang-udang yang oleh nelayan setempat disebut sebagai urang barong itu memang selalu terdampar saat ombak surut. "Deburan ombak akan membolak-balikan batu yang ada di pantai tersebut. Itulah sebabnya, kenapa pantai itu disebut pantai Malikan," kata Seturiyono.

Kawasan pantai Papuma dan Malikan juga menyimpan beberapa flora yang bernilai tinggi, seperti kayu Balsa. Kayu jenis itu biasanya jenis kayu yang ringan tetapi memiliki kekuatan lentur yang cukup baik. Kayu ini biasa digunakan oleh para penggemar 'Aero-modeling ' sebagai bahan pembuatan pesawat terbang model, para arsitek dan mahasiswa arsitektur sebagai bahan untuk pembuatan maket bangunan (maquette), karena kayu ini sangat ringan tetapi kuat dan mudah dikerjakan.

Selain itu, kayu cendana yang harum juga masih mudah ditemui di beberapa sudut Tanjung Papuma. Pandan laut dan Palem yang menjadi ciri khas utama tepian pantai Malikan juga mudah kita temui. Kawasan wisata yang tenang ini juga menyimpan
berbagai satwa di antaranya Biawak dan Lutung (kera hitam) yang sesekali keluar dari tempat persembuyiannya.

Agak masuk ke arah utara kawasan hutan di sebelah Pantai Malikan itu, terdapat peninggalan bersejarah berupa goa eks Perang Dunia II yang masih berdiri tegar menganga. Konon, pada zaman pendudukan Jepang, wilayah Gunung Watangan di sekitar Pantai Watu Ulo dan Pantai Papuma itu sempat dijadikan benteng pertahanan dan pengintaian bala serdadu musuh yang mau menyusup daratan melalui pantai. Benteng Jepang yang berjumlah lima buah tersebut oleh masyarakat setempat disebut sebagai Goa Jepang dan merupakan salah satu lokasi wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Di samping Goa Jepang, di sebelah Watu Ulo ada sebuah Goa Lawa (Goa Kelelawar) yang dihuni ratusan ribu kelelawar. Goa ini bisa dimasuki oleh pengunjung dengan menyusuri dan melewati pantai berpasir. Karena tempatnya yang sunyi dari keramaian, goa ini sering dijadikan tempat bermeditasi bagi orang-orang tertentu, apalagi mengingat goa ini mempunyai kedalaman 100 meter.

Menurut Cahyono dan Udin, konon, goa ini dipercaya sebagai tempat bersemedinya Patih Nambi.

Setelah sempat melihat-lihat gua Jepang dan kelelawar dari arah luar, kami pun kembali mengitari jalan aspal dalam hutan hingga mencapai puncak perbukitan. Dari puncak bukit akan terlihat jika Tanjung Papuma tersebut berbentuk kerucut.

* Nikmatnya Ikan Bakar
Berwisata di Papuma terasa tak lengkap bila kita tak mengenyam kehidupan nelayan setempat di saat senja tiba. Beberapa jam menjelang matahari terbenam, puluhan nelayan asal dusun Payangan, Desa Sumberejo, Kecamatan Ambulu, selalu tampak menepikan perahu dan jaringnya. Hasil tangkapan mereka berupa ikan kerapu, putihan, kakap, tongkol, maupun tuna, Cumi-cumi dan lobster dapat langsung dibeli dan dibakar di atas perapian alam dari ranting-ranting kayu kering di tepi pantai.

Lelah setelah seharian bermain di pantai ataupun berenang di laut, pengunjung bisa menikmati kelezatan ikan bakar.

Setidaknya ada tujuh warung makan yang menyajikan ikan bakar sebagai menu khas daerah tersebut."Per kilo ikan bakar kita jual Rp 20.000 sampai Rp 30.000, tergantung jenis ikan yang kita jual. Jika ikannya jenis yang enak ya makin mahal," ujar P.Lukman (41), salah satu penjual ikan bakar.

Ikan bakar itu disajikan dengan sambal kecap dan terasi. Pembeli bisa membawa ikan sendiri setelah membeli di nelayan atau juga langsung memesan kepada warung-warung yang ada di tempat itu. Selain ikan bakar, es kelapa muda yang disajikan dengan batok kelapanya juga menjadi ciri khas warung-warung di Tanjung Papuma.

Penikmat ikan bakar dan es kelapa muda akan langsung bisa memandang luasnya laut, sebab warung-warung tersebut menghadap hamparan laut. Namun jika makan di pagi atau senja hari, kita akan mudah bertemu dengan beberapa hewan yang dilindungi seperti kera berbulu abu-abu, hitam dan oranye, ayam hutan dan juga biawak. Kera itu keluar dari hutan yang berada di belakang warung-warung tersebut. "Terkadang jadi tontotan anak-anak kecil," kata P.Lukman. Kera-kera tersebut dengan tenang bergelantungan di pohon-pohon yang tumbuh di dekat warung.

Bagi yang ingin bermalam di kawasan ini, di Pantai Papuma tersedia 21 pondok wisata. Kamar cukup bersih, terawat semua dengan pendingin ruangan, tv dan tersedia air panas dengan tarif Rp.150 ribu. "Tarifnya antara Rp 150.000 sampai Rp 400.000 per malam. Ada yang hanya satu kamar tapi ada juga yang bisa disewa satu rumah untuk satu keluarga seperti vila itu, tarifnya Rp 450.000 tersebut," kata Solekan.

Sedangkan bagi yang ingin berkemah, tempat wisata ini juga menyediakan lahan untuk camping. "Tetapi jika hanya sedikit orang dan dia minta di pinggir pantai ya kita sediakan juga. Tetapi pagi pukul 07.00 WIB sudah harus dibongkar tendanya karena kita sebenarnya punya lahan camping di belakang wisma," tambahnya.

Bagi pengunjung yang hobi memancing, dapat menyalurkan hobinya di sepanjang pantai. Bisa juga ikut memancing dengan perahu nelayan pada tempat-tempat pencarian ikan atau menggunakan perahu sewa, tentunya pada musim yang memungkinkan, yaitu pada saat ombak sedang bersahabat.

Hari menjelang magrib. Cuaca cerah kini kembali memudar. Mendung tebal tampak mulai bergulung ditimpali angin kencang.Ini pertanda hujan akan kembali mengguyur kawasan itu. Saya memutuskan untuk kembali pulang, kembali memacu motor menerobos kawasan hutan Watangan, naik turun perbukitan, dan meluncur melewati jalur utama Desa Sumberrejo. Rasa pegal di pundak dan pantat karena berjam-jam diatas motor, serasa terobati setelah menikmati kemolekan pantai-pantai Samudera Hindia di pesisir selatan Jember itu.


-----------------------------------------------------------------------------
Untuk mencapai lokasi tempat wisata Watu Ulo dan Tanjung Papuma sangat mudah, terutama bagi pengunjung yang naik kendaraan pribadi atau carteran. Jalan beraspal mulai dari kota Jember hingga ke tempat parkir tempat wisata tersebut.

Namun bagi para pengunjung yang naik kendaraan umum harus berganti beberapa kali. Dari Teminal Tawangalun ataupun stasiun kereta api Jember, calon pengunjung menuju terminal Ajung terlebih dahulu.

Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan naik angkutan pedesaan menuju alun-alun Ambulu. Dari alun-alun ini, calon pengunjung mesti naik ojek menuju Tanjung Papuma. "Biayanya Rp 10.000," ujar penjaga loket Tanjung Papuma, Asmari.

Sedangkan untuk karcis masuk pengunjung dikenakan biaya Rp 5.000 per orang untuk hari biasa, dan Rp 7.000 jika hari libur.

Kalau naik motor, dari arah kota Jember kita mesti menuju wilayah Kecamatan Ajung, sekitar 4 kilometer arah barat kota. Setelah itu terus mengkuti jalan menuju arah selatan melewati wilayah kecamatan Ajung, Jenggawah, Ambulu. Atau dari kecamatan Rambi puji, Balung, Wuluhan, Ambulu.

MAHBUB DJUNAIDY


Reply With Quote
  #2  
Old 20th February 2011
kafir's Avatar
kafir kafir is offline
Member Aktif
 
Join Date: Nov 2010
Posts: 151
Rep Power: 0
kafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophetkafir is Ceriwis Prophet
Default

Quote:

Maaf ya klo repost ato salkam, masih nubie nih
nya dunk ndan
...........
Reply With Quote
Reply


Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off


 


All times are GMT +7. The time now is 08:34 PM.


no new posts