TEMPO Interaktif, Jakarta - Amir Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Abdul Basit Amir menyatakan lemahnya sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Ahmadiyah sebagai salah satu pemicu penyerangan terhadap Ahmadiyah.
�SKB tidak tersosialisasi dengan baik hingga ke akar rumput sehingga masyarakat di bawah mengira bahwa SKB berisi pelarangan dan pembekuan. Padahal kan tidak,� kata Abdul Basit saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat di gedung DPR tadi malam.
Akibat tak baiknya sosialisasi SKB, kata Abdul Basit, banyak anggota masyarakat tak mengetahui Ahmadiyah tidak dibekukan. Dia pun berharap pemerintah serius mensosialisasi SKB tersebut, karena itulah masalah utamanya.
Abdul Basit mengaku tak pernah diajak berdiskusi oleh MUI soal keberadaan mereka. �MUI pusat tidak ajak kami untuk dialog memperkecil perbedaan. Kami hanya disebut sesat,� ujarnya.
Dia mengatakan, dalam memutuskan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, MUI juga tak memerinci dasar yang digunakan. Bahkan, Abdul Basit melanjutkan, sejak MUI mengeluarkan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah, tindak kekerasan terhadap mereka semakin meningkat. �Itu terbukti dari hasil laporan Komnas HAM pada 2006 lalu,� ujarnya.
Mengenai penyerangan di Cikeusik, Abdul Basit mengatakan kedatangan rombongan pemuda Ahmadiyah ke rumah Ismail Suparman adalah untuk menjaga aset Suparman. Sebelum massa datang, kata dia, Suparman sempat menelepon pengurus pusat Ahmadiyah bahwa dia sedang terancam.
Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding mengatakan, DPR menggelar rapat dengar pendapat itu untuk mendengarkan keterangan dari pihak Ahmadiyah perihal ajarannya yang selama ini dianggap sesat.
�Tidak spesifik tentang (penyerangan) Cikeusik, tapi secara umum. Untuk memperjelas semua, maka kami panggil mereka (Ahmadiyah) dan MUI,� kata Abdul Kadir.
Komisi VIII menilai penyerangan terhadap anggota Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 6 Februari lalu, sebagai peristiwa yang terorganisasi.
ARIE FIRDAUS