TEMPO Interaktif, Jakarta - Jika facebook dan twitter di Mesir dan Indonesia mampu menggerakkan massa, namun itu belum berlaku di beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Kontrol pemerintah pun masih cukup kuat membelenggu media baru ini.
Pengamat web politik sosial Singapura Alex Au Waipang mengatakan, masyarakat Singapura tak terlalu banyak menggunakan jejaring sosial twitter untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat mereka. Penggunaannya memang hanya untuk bersosialisasi.
"Kebanyakan isinya paling tentang keju terbaru yang paling enak, apa yang sedang in, atau gambar remaja yang sedang berciuman di bus," ujar Alex dalam acara Diskusi dan Workshop tentang Kebebasan Berekspresi di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (9/2).
Sedangkan penggunaan blog juga tak terlalu banyak mengubah masyarakat. Hanya terdapat beberapa blog yang isinya lebih memberi warna yang berbeda yakni Temasek Review dan The Online Citizen. Menurut Alex, Pemerintah Singapura mengontrol penggunaan internet cukup ketat.
Alex mengatakan kondisi di Singapura saat ini tidak ada kebutuhan atau 'kelaparan' berita besar untuk menjadi berita alternatif dan tidak ada frustasi besar terhadap kondisi sosial politik.
Berbeda di Singapura, penggunaan facebook dan twitter diakui cukup ampuh sebagai media baru di Indonesia. Ketua AJI Indonesia Nezar Patria menjabarkan beberapa kasus yang jadi gerakan sosial berkat dorongan media jejaring sosial itu.
Dia mencontohkan kasus Prita Mulyasari yang kemudian berhasil di advokasi dengan gerakan Facebook dan Koin untuk Prita. Ada pula kasus Cicak vs Buaya yang melampaui satu juta pendukung dan Indonesia Unite untuk mendukung Indonesia melawan serangan terorisme.
Selain pemakaian jejaring sosial, platform media di Indonesia juga berkembang ke media online.
Di Thailand, penggunaan media baru, internet, masih butuh reformasi. Wakil Ketua Advokasi Media dan Kampanye Reformasi Media Populer Thailand Supinya Klangnarong mengatakan, sebelumnya masyarakat Thailand masih sulit untuk mengekspresikan pendapat. Terutama untuk membicarakan keluarga kerajaan.
Namun saat ini sudah mulai melonggar. Dia juga mengatakan, online sebagai media baru dinilai merusak pemerintah. "Jadi musuh negara," ujar Supinya.
Supinya juga mengatakan, Thailand saat ini masih di persimpangan dan masyarakatnya secara idelogis masih terpolarisasi. Karena itu Pemerintah Thailand harus memutuskan ketentuan untuk penggunaan dan media baru. Thailand bisa meniru model pemerintah Cina atau meniru pemerintah dan media barat. "Sekarang ini peluang untuk bertransformasi" ujarnya.
DIAN YULIASTUTI