for
Review Buku 1...:
Judul:
Piyu from the Inside Out: Life, Passion, Dreams, and His Legacy
Penulis:
Adib Hidayat (AH)
Penerbit:
PT Elex Media Komputindo
Cetakan:
I, Januari 2011
Tebal:
164 halaman
Ini adalah autobiografi; kisah pribadi dari seorang musikus populer. Ia merasa belum sukses. Baginya, kesuksesan itu ibarat puncak gunung. Siapapun yang ingin sampai ke puncak, harus melewati perbukitan terlebih dahulu. Ia mengaku sudah melalui banyak bukit. Olehnya, ia pun ingin berbagi pengalaman kepada mereka yang baru ingin menapaki bukit. sebelum sampai pada paragraf berikutnya, bahwa berbagi, terutama lewat tulisan yang terbukukan, akan selalu tampak elok. Yang berbagi pengalaman di sini adalah Satriyo Yudi Wahono. Demikianlah nama asli Piyu, gitaris sekaligus pencipta kebanyakan lagu-lagu Band Padi. Ia sudah memilih jalan elok untuk berbagi lewat buku lux nan penuh warna hingga, akibatnya, harga jual buku ini tak bisa dibilang murah.
Buku ini dibagi ke dalam delapan bagian. Dan, seperti yang lazim pada buku-buku autobiografi, buku ini dimulai dari masa kecil Piyu di kota kelahirannya, Surabaya. Pada bagian narasi masa kecil hingga jelang dewasa ini, pembaca digiring memasuki nostalgia Piyu tidak hanya lewat kata-kata yang berjejer, melainkan juga dengan gambar-gambar penuh warna: mulai dari foto-foto keluarga, hingga ketika mulai membentuk grup musik, termasuk bersama Makki, yang sekarang justru berperan sebagai pembetot bass grup band Ungu, berikut laku khas anak muda tanggung yang berangkat dari keluarga sederhana, ingin mandiri, dan berani bermimpi.
Dari Surabaya, pembaca kemudian digiring ke masa-masa ketika Piyu mulai membentuk grup band Padi, grup band yang membesarkan namanya di belantika musik populer Tanah Air. Ada ragam kisah yang terurai di sini: mulai dari proses awal terbentuknya Padi, masuk dapur rekaman, menjadi kru gitar Andra Ramadhan, hingga suka duka menembus label sekelas Sony Music Indonesia.
Setelah menandatangani kontrak bersama Sony Music untuk album perdana, dan lagu-lagu Padi mulai akrab di telinga penikmat musik Tanah Air, Piyu mulai tampil di panggung-panggung berbagai kota di Indonesia. Dari sini, Piyu mulai merintis sebuah studio musik bernama Paz. Pembuatan studio ini tidak dengan isi kantongnya sendiri. Di tahun 2001, Piyu belum lagi punya banyak uang. Untuk mendirikan studio ini, ia harus meminjam uang kepada kerabat plus tambahan cicilan dari bank. Berkat kegigihannya, dalam waktu 2 tahun, cicilan sudah mampu ia lunasi.
Dari kisah tentang Piyu dan Padi, pembaca dibawa ke bagian proses kreatif Piyu sebagai salah seorang hits maker di Tanah Air. Pada bagian ini, ia berbagi rumus dalam menyusun lirik, lengkap dengan contoh gambar tulisan tangan dan coret-coretan. Dalam hal proses penulisan lirik, Piyu punya teori khusus yang disebutnya dengan teori timbul-tenggelam. Selain itu, untuk membuat lirik yang kuat dengan diksi yang tak umum, ia membekali pengetahuannya dengan sederet novel dan puisi mistikus sekelas Kahlil Gibran serta Jalaluddin Rumi, di samping Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bahkan, begitu seringnya mencari padanan kata di KBBI, ia mengaku punya begitu banyak hafalan padanan kata, sehingga tak harus membuka kamus lagi. Lirik-lirik puitis yang ia hasilkan lantas digabungkan dengan melodi, dan Piyu juga membagikan rahasia hal ihwal penggabungan lirik dengan melodi di buku ini.
Segaris dengan pepatah tentang buah yang jatuh tak pernah jauh dari pohonnya, demikian juga kisah asmara Piyu. Dari aktifitas sebagai pemusik, ia berkenalan dengan Florine Limasnax, yang akrab disapa Flo, perempuan cantik yang dengannya Piyu kini hidup berbagi dan dikaruniai dua orang putri. Bersama Flo, Piyu kemudian melebarkan sayapnya di dunia industri musik Tanah Air dengan mendirikan manajemen artis bernama E-Motion.
Di E-Motion, Piyu kerap bertindak sebagai produser. Band pertama yang relatif sukses ia produseri adalah Drive. Dari Drive, Piyu lantas terlibat dalam banyak proyek musik artis-artis lainnya, seperti Armada, Tompi, dan Titi Kamal. Tidak hanya sampai di situ, Piyu juga aktif berkeliling ke berbagai kota di Indonesia untuk mencari band-band berkualitas di bawah slogan Piyu Padi Search for the Next Superband. Alhasil, di bagian akhir buku ini, Piyu membagi banyak saran di sekitar produksi di dunia industri musik, seperti bagaimana membuat studio musik, alat-alat yang harus diperhatikan serta disediakan agar studio tersebut mampu menghasilkan sound berkarakter, bagaimana mengemas sebuah show, dan kriteria pemusik yang baik yang, menurutnya, niscaya memiliki empat G, yakni (1) good performance; (2) good skills; (3) good attitude; dan (4) good song.
Dari semua aktifitas yang telah ia jalani sampai di saat ketika autobiografi ini ditulis, patutlah disebut bahwa Piyu bukan sekedar seorang pemusik. Banyak hal yang juga telah ia lakoni, seperti bertindak sebagai produser rekaman, sutradara, CEO Upbeat Studio, artis, pebisnis, penulis, dan keynote speaker. Gado-gado, mungkin. Tetapi, bagi Piyu, apa yang ia jalani saat ini merupakan hasil afirmasi dalam bermusik yang telah ia tekuni sejak masa kecil.
Demikianlah. Piyu telah berbagi lewat buku berkertas spesial penuh foto-foto. Foto-foto di buku ini tertata apik dan mampu merepresentasikan setiap bagian yang sedang dibahas. Kalaupun ada yang agak mengganggu dari buku autobiografi Piyu ini, maka itu adalah soal model penulisan: di satu sisi, buku ini tampak ini menampilkan Piyu sebagai penulisnya lewat kata ganti tunggal (aku). Akan tetapi, di sisi yang lain, terlalu banyak kata ganti orang ketiga untuk Piyu, sehingga kehadiran The Ghost Writer di buku ini sangat terasa. Walakhir, jika nama Piyu sejatinya lahir dari salah ucap terhadap kata view dalam judul lagu Duran Duran, A View to A Kill, maka beginilah akhir repiyu buku ini.