FAQ |
Calendar |
![]() |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Bejatnya moral sampah masyarakat yang menyebarkan penyakit berbahaya, yakni gigolo, pelacur, germo, dan preman yang tersebar di mana-mana telah meresahkan masyarakat.
Lebih meresahkan lagi ketika mereka ini beroperasinya di alun-alun depan masjid hampir di setiap kota. Semua orang tahu, namun gejala yang sangat meresahkan itu tetap berlangsung. Dibiarkan tingkah busuk itu menyengat perasaan bagi setiap orang yang beriman. Entah kenapa, apakah memang ada yang memelihara, kadang sampah-sampah masyarakat itu justru tampak berani sekali. Gejala buruk itu telah meresahkan masyarakat. Bila dibiarkan, maka akan menghancurkan kehidupan masyarakat. Secara akal pun telah tampak bahayanya. Sedang secara agama, maka ada ancaman keras dari Nabi Muhammad shallallahu �alaihi wa sallam: Apabila zina dan riba telah tampak nyata di suatu kampung (negeri) maka sungguh mereka telah menghalalkan adzab Allah untuk diri-diri mereka. (HR. Al-Hakim dengan menshahihkannya dan lafadh olehnya, At-Thabrani, dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Al-Albani dan Adz-Dzahabi). Rusaknya masyarakat akibat �dipeliharanya� gigolo dan pelacur di antaranya tergambar seperti ini: Seorang gigolo (lelaki pelacur) di Surabaya mengaku, ia lebih sering mendapat klien perempuan yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil) dan wanita karir, berusia 30 hingga 45 tahun, sudah berumah tangga, dan sudah punya anak. Isteri gigolo di Bali yang diwawancarai pada film dokumenter Cowboys in Paradise mengaku, sang suami ada kalanya membawa �klien� khususnya ke rumah. Bila hal itu terjadi, maka sang istri mengalah, sama sekali tidak sekamar dengan sang suami yang sedang menjalankan profesinya sebagai gigolo. Hal tersebut bisa berlangsung berhari-hari. Dari 1.500 wanita pelacur yang tercatat di kota Denpasar Bali, seperlimanya atau 20 persen di antaranya terindikasi mengidap HIV/AIDS. Selain mengidap HIV/AIDS, ada beberapa pelacur itu terserang penyakit infeksi menular seksual (IMS), kata Sri Mulyanti, asisten koordinator KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Denpasar, Selasa (23/11) 2010 sebagaimana diberitakan hidayatullah.com, Wednesday, 24 November 2010 08:27) Tidak sedikit wanita yang berzina kemudian hamil, lalu mereka nekat meneruskan dengan kejahatan baru lagi yakni aborsi (pengguguran kandungan). Penelitian di 10 kota besar dan enam kabupaten di Indonesia memperkirakan sekitar 2 juta kasus aborsi, 50 persennya terjadi di perkotaan. Padahal pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada sembilan belas resiko kesehatan dan keselamatan fisik yang akan dihadapi seorang wanita. (lihat nahimunkar.com, February 1, 2009 10:08 pm, Sembilan Belas Bencana Akibat Aborsi, http://www.nahimunkar.com/233/) Kampung gigolo Sebutan Gigolo tak lain dan tak bukan tertuju kepada sosok pelacur pria yang melayani bukan hanya wanita, tetapi juga pria pengidap homoseks (gay). Heboh film dokumenter Cowboys in Paradise, tentang gigolo yang berkeliaran di pantai Kuta (Bali), rupanya menutup fakta lain tentang keberadaan kampung gigolo di kawasan Boyolali, Jawa Tengah. Boyolali adalah sebuah kabupaten di provinsi Jawa Tengah, yang memiliki 262 desa. Dua desa di antaranya, Cabean dan Bakalan, dikenal sebagai �produsen� gigolo. Sehari-hari, dari pagi hingga siang, para gigolo beraktivitas sebagaimana biasanya, seperti membuat keranjang ayam untuk dijual ke pasar. Namun, begitu senja menjelang, mereka berganti profesi menjadi gigolo. Pada umumnya, para gigolo ini merupakan pelajar putus sekolah. Mereka menjalankan aktivitas gigolo melalui mucikari atau independen dengan cara langsung terjun menjajakan diri di pinggir jalan. Targetnya, tante girang dan om senang. Di kawasan ini mudah ditemukan sejumlah salon yang berperan ganda sebagai tempat memoles para gigolo. Karena pagi hingga siang hari para pemeran ganda ini bekerja sebagaimana layaknya pemuda desa, maka keberadaan mereka sebagai gigolo pada malam hari tidak terlalu disadari oleh masyarakat sekitarnya, termasuk aparat desa. Para pemuda belasan yang sudah terlanjur terjerembab ke lembah nista ini umumnya enggan beranjak dari kubangan zina karena sudah terlanjur menikmati mudahnya mendapat uang ratusan ribu rupiah dari �klien� mereka. Di kedua desa tersebut juga mudah ditemukan sejumlah makelar gigolo, yang peranannya persis mucikari alias germo. Sang germo ini salah satu peranannya adalah memberikan arahan kepada calon gigolo di dalam menghadapi �klien� mereka kelak. Bila sudah dianggap siap, gigolo tersebut tidak hanya dipasarkan di sekitar Boyolali, tetapi hingga ke luar kota, antara lain Semarang. Sebelum menjalankan praktik, para gigolo ini diperkenalkan dengan dunia perkotaan, diajak ke pusat perbelajaan dan sebagainya, sebelum akhirnya terjun ke dunia penuh nista sebagai gigolo. Di Semarang, misalnya, terdapat sebuah tempat transit para gigolo, yaitu daerah Pos Ponjolo. Keberadaan kampung gigolo Boyolali, meski pernah diungkap Tim Sigi SCTV pada 24 Maret 2010, namun sepertinya tidak menarik perhatian media massa lainnya, bahkan cenderung ditenggelamkan oleh kampung gigolo Bali. Apalagi, setelah kehadiran film dokumenter berjudul Cowboys in Paradise (sekitar April 2010), yang menggambarkan kehidupan dan aktivitas gigolo di sekitar Pantai Kuta, Bali. Keberadaan kampung gigolo Boyolali boleh jadi lebih disebabkan oleh faktor kemiskinan semata. Sedangkan di Bali, selain didorong oleh kemiskinan juga disuburkan oleh industri pariwisata yang liberal, permissif, dan tentu saja jauh dari misi menawarkan keindahan alam dan budaya Bali. Di Boyolali, sosok gigolo pada siang hari tampil sebagaimana pemuda desa umumnya. Barulah pada malam hari, ia bermetamorfosa menjadi penjaja maksiat sebagai gigolo. Terkesan masih ada sikap malu-malu. Berbeda dengan di Boyolali, gigolo di Bali karena dikemas ke dalam paket industri pariwisata, kiprah para gigolo ini hadir dengan terang benderang. Apalagi, ada media penyamaran yang cukup efektif berupa keberadaan komunitas anak pantai yang tidak mencurigakan. Para gigolo ini tampil bagai anak pantai biasa. Atau, mereka yang semula hanya anak pantai kemudian tergiur materi dengan terjun ke lembah nista gigolo. Lebih memprihatinkan, oleh pihak keluarganya aktivitas penuh maksiat ini diakui sebagai profesi yang setara dengan profesi lain dalam rangka menghidupi keluarga. Antara lain sebagaimana bisa dilihat pada sikap seorang istri gigolo yang diwawancarai pada film dokumenter Cowboys in Paradise. Sang suami ada kalanya membawa �klien� khususnya ke rumah. Bila hal itu terjadi, maka sang istri mengalah, sama sekali tidak sekamar dengan sang suami yang sedang menjalankan profesinya sebagai gigolo. Hal tersebut bisa berlangsung berhari-hari. Di Bali, terutama di Pantai Kuta, praktik gigolo konon sudah berlangsung sejak 20 tahun lalu. Ciri-ciri gigolo Pantai Kuta ini selain berbadan atletis dan berkulit gelap, juga berambut gondrong. Penampilan mereka khas anak pantai yang jago berselancar, dan mempunyai kemampuan berbahasa asing yang lumayan, terutama bahasa Inggris. Gigolo Pantai Kuta mempunyai perbedaan dengan gigolo yang mencari mangsa di berbagai caf� atau tempat hiburan lainnya. Gigolo Pantai Kuta tidak selalu memandu syahwat tetapi juga memandu perjalanan selama �klien� mereka berlibur di Bali atau ke tempat wisata lain di luar Bali. Biasanya, gigolo Pantai Kuta sudah dikontak sebelum �klien� mereka tiba di Bali. Sedangkan gigolo yang mencari mangsa di caf� dan tempat hiburan lainnya di Bali, umumnya mereka berinteraksi dalam jangka waktu terbatas, sebagaimana pelacur biasa, dan sama sekali tidak membawa misi pariwisata. Juga, tidak menjalankan fungsi memandu turis mengunjungi objek wisata selain memandu syahwat semata. Menurut Asana Viebeke Lengkong, tokoh masyarakat Kuta, ada tiga kategori yang dapat menggambarkan sosok gigolo Pantai Kuta. Pertama, gigolo sebagai profesi permanen untuk mendapatkan uang. Gigolo ini bekerja secara profesional untuk memenuhi hasrat para turis. Kedua, gigolo kontemporer. Awalnya, mereka masuk ke dunia gigolo hanya untuk mencoba-coba. Selanjutnya, ada yang menekuni gigolo sebagai profesi, namun ada juga yang tidak. Ketiga, gigolo musiman. Gigolo kelompok ini semata-mata mencari duit dan tidak menjadikan aktivitasnya sebagai profesi. Dari kelompok ini ada yang suka berbuat nekat dan membahayakan, sebagaimana pernah terjadi pada serangkaian kasus terbunuhnya wanita Jepang di Kuta beberapa waktu lalu. Gigolo Surabaya Pada hari Selasa tanggal 16 November 2010, di Surabaya aparat kepolisian setempat menangkap Ahmad Mas�ud alias Vino alias Daud (21 tahun) yang berprofesi sebagai germo gigolo. Ia mengelola praktik prostitusi gigolo berusia belasan tahun, umumnya masih menyandang status sebagai pelajar SMA. Ahmad Mas�ud adalah warga Semamper, Surabaya, Jawa Timur, dan bagian dari jaringan gigolo yang dikendalikan oleh Ahmad Sidik alias Ujang (35 tahun), warga Desa Kamojing Timur, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Praktik prostitusi gigolo ini dikemas Ahmad dalam bentuk layanan pijat 24 jam yang diiklankan melalui media lokal. Pada iklan tersebut, disertakan nomor telepon untuk memudahkan kontak. Saat tertangkap, Ahmad Mas�ud sedang membawa serta dua gigolo binaannya, yaitu IWG (17 tahun) dan RST (18 tahun). Keduanya masih duduk di bangku SMA kelas XII, dan sudah menjalani praktik prostitusi (pelacuran) ini sejak dua bulan lalu, dengan bayaran antara Rp 200 ribu hingga Rp 400 ribu. Separuh dari tarif itu, masuk ke kantong Ahmad Mas�ud. Berdasarkan Undang Undang Perdagangan Manusia, Ahmad Mas�ud bisa dikenai ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Berbeda dengan gigolo Boyolali yang hampir semuanya terjerumus karena faktor ekonomi, gigolo Surabaya ada pengecualian. Selain faktor ekonomi, juga ada yang didorong oleh desakan kebutuhan seksual yang besar (hiperseks). Menurut Yanto, salah satu germo gigolo Surabaya, sebagian gigolo binaannya ada yang berasal dari keluarga mampu, namun karena mengidap hiperseks, ia terjun menjadi gigolo. Tipe gigolo ini tidak terlalu memilih perempuan, dan uang bukan faktor utama. Sedangkan gigolo yang berasal dari keluarga tidak mampu, faktor utamanya adalah uang. Biasanya, menurut Yanto, gigolo jenis ini agak rewel dan lebih suka melayani perempuan yang royal. Sebagai germo gigolo Surabaya, Yanto membina gigolo yang belum menikah, masih kuliah, dan berumur antara 20-25 tahun. Salah satu gigolo Surabaya yang cukup berpengalaman, Hero (28 tahun) mengatakan, tidak semua �klien� menjadikan gigolo sebagai pemuas syahwat semata, tetapi ada juga yang menjadikan gigolo sebagai teman curhat (curahan hati). Hero juga mengaku, ia lebih sering mendapat klien perempuan yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil) dan wanita karir, berusia 30 hingga 45 tahun, sudah berumah tangga, dan sudah punya anak. Hero yang sudah jadi gigolo sejak tahun 2009 ini, rata-rata dibayar antara Rp 300 hingga 500 ribu. Di Surabaya, salah satu cara mendapatkan gigolo, antara lain ditempuh dengan mendatangi kampus-kampus. Bahkan, ada germo gigolo yang sudah lebih dari 5 tahun beroperasi, dalam rangka mencari calon gigolo ia menyusupkan orang-orang kepercayaannya di kampus-kampus swasta ataupun negeri. Bila ada calon yang dianggap cocok, orang-orang ini akan menghubungi sang germo. Para gigolo Surabaya, agar tetap eksis mereka menempuh berbagai cara, antara lain memanfaatkan internet melalui situs jejaring sosial untuk medapatkan pelanggan. Artinya, mereka bisa medapatkan �klien� yang tidak terbatas dari dalam kota Surabaya saja, tetapi dari kota-kota lain seperti Jakarta, Bali dan sebaganya. Untuk �klien� luar kota, foto gigolo dikirimkan via e-mail. Bila sudah disetujui, gigolo akan diterbangkan ke tempat �klien�. Biaya pesawat ditanggung pemesan. Fenomena gigolo sudah sedemikian mengindustri. Bahkan, para germo gigolo Surabaya menyediakan fasilitas garansi: uang kembali bila �klien� tidak puas. Astaghfirullah, untuk urusan maksiat mereka begitu serius mengelolanya, seperti penjual mobil profesional yang menyediakan garansi. Membahayakan kehidupan Itu masih pula ditambah dengan pelacur dan germo plus preman yang semuanya sangat membahayakan kehidupan. Kasus-kasus dan data berikut ini sebagai bukti nyata. Dari 1.500 wanita pelacur yang tercatat di kotaDenpasar Bali, seperlimanya atau 20 persen di antaranya terindikasi mengidap HIV/AIDS. Selain mengidap HIV/AIDS, ada beberapa pelacur itu terserang penyakit infeksi menular seksual (IMS), kata Sri Mulyanti, asisten koordinator KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) Kota Denpasar, Selasa (23/11) 2010. Dia menjelaskan, para pelacur menjadi salah satu potensi terbesar penyebaran HIV/AIDS di ibu kota Provinsi Bali ini. "Karena perilaku mereka paling beresiko menularkan ataupun sebaliknya tertular virus mematikan tersebut," katanya. Seperti diketahui, ucapnya, penyebab penularan virus HIV/AIDS yang masih tinggi adalah perilaku melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan. Perilaku itulah yang membuat para penjaja seks tersebut, katanya, menjadi salah satu kelompok yang paling beresiko. (lihat hidayatullah.com, Wednesday, 24 November 2010 08:27) Ketika maksiat jadi dagangan Ketika maksiat zina dan semacamnya justru dijadikan barang dagangan, maka seolah kejahatan itu dipelihara. Dan memang kemungkinan ada yang memeliharanya. Oleh karena itu ketika kejahatan --yang cepat atau lambat pasti akan merusak dan meresahkan-- ini diupayakan untuk diberantas, maka kadang para penjahatnya berani mengamuk. Kenapa gerbong dibiarkan ditempati pelacur ya? Maksiat seharusnya diberantas. Tetapi tampaknya dibiarkan, bahkan dipiara, bahkan dibisniskan. Akibatnya, yang tidak punya modal untuk bermaksiat, berani nekad. Inilah contoh kasusnya. Seharusnya para pejabat atau yang berwenang merasa tertampar mukanya. Ini baru contoh kasus saja: Quote:
|
![]() |
|
|