|
Go to Page... |
Post Reply |
Tweet | Thread Tools |
#1
|
||||
|
||||
![]()
Assalamu�alaikum dan Salam Sejahtera, Permisi, teman-teman, saya ingin membuat sebuah tulisan. Tulisan ini saya susun bukan untuk memojokkan pihak-pihak tertentu, tetapi hanya hasil pengamatan sehari-hari semata. Tulisan ini juga tidak akan repost karena murni tulisan saya sendiri. Mudah-mudahan tulisan ini bisa dijadikan bahan refleksi bagi saya sendiri dan teman-teman sekalian. Tidak dapat dipungkiri bahwa harta (tepatnya uang) adalah hal yang sangat penting untuk hidup di dunia ini. Uang bisa memberikan kesenangan dan ketenangan. Bahkan, bagi saya, uang bisa membeli surga sekalipun, asal kita pintar membelanjakannya. Namun ironisnya, sepertinya banyak orang yang justru merasa miskin ketika ia mendapatkan banyak uang. Mungkin dari teman-teman sudah pernah melihat/mengalami, bagaimana orang yang kaya justru ngotot ketika uang kembalian belanjaannya kurang 500 atau 1.000. Atau mungkin mereka yang ngotot hanya mau bayar parkir 1.000 padahal tarifnya jelas 2.000. Okelah, mungkin uang kembalian itu memang hak dan mungkin parkirnya juga parkir tidak resmi, tapi apa iya harus sengotot itu. Saya kadang mengamati interaksi antara orang kaya (yang bermobil) dengan para pedagang asongan yang menjual barang dari mulai kerupuk, lap, minuman, koran, hingga mereka yang melakukan pertunjukan topeng monyet di pinggir jalan. Fenomena semacam ini sering saya lihat, terutama menjelang masuk gerbang tol. Saya sendiri tidak mengendarai mobil, jadi tidak terjebak pada situasi seperti itu. Saya berpikir, alangkah sia-sianya mereka yang berjualan. Mereka hanya menjajakan barang yang �kumuh� dan seadanya, mana mau mereka yang bermobil mewah itu membeli barang mereka. Walaupun, saya berpikir si pengguna mobil itu tentunya mampu membeli, bahkan jika ingin memborong sekalipun. Tapi ya itu tadi, si orang kaya tetap terjebak pada kemacetannya dan si pedagang asongan terjebak pada kesia-siaannya. Kalau saja, di sebuah kota, katakanlah Jakarta, ada 3 juta orang kaya yang penghasilannya di atas 10 juta misalnya, dan mereka menyumbang 100 ribu per bulan, maka akan terkumpul uang 300 miliar per bulan. Jumlah yang besar untuk mengurusi mereka yang tinggal di kolong jembatan, yang mengemis tiap hari, yang harus mengorek-ngorek tempat sampah untuk mencari makan. Tapi, siapa yang bisa menerapkan dan mengelola itu? Kepercayaan kita kepada orang lain, terutama pemerintah toh mungkin sudah hampir tidak ada. Ada teman-teman di Jakarta yang sering lewat di Sudirman-Thamrin atau Gatot Subroto-MT Haryono? Mungkin Anda pernah melihat seorang Bapak pedagang asongan yang menyeret semacam skateboard yang di atasnya ada anaknya yang mengalami keterbatasan, si anak tidak memiliki kaki. Saya lupa nama mereka, tapi yang jelas foto mereka pernah ada di Gedung Metro TV saat lomba foto. Itu hanya salah satu cermin betapa menderitanya masyarakat kita. Saya menganalogikan harta itu ibarat air tawar untuk para penggunanya yang bijaksana. Mereka akan menggunakannya dengan hati-hati, jika diperlukan saja, ada batasannya, dan jika ia juga memiliki kemurahan hati, maka air itu akan diberikannya pula kepada orang lain. Tapi, untuk mereka yang rakus, harta ibarat air laut, yang konon katanya semakin diminum justru semakin membuat haus dan tidak aka nada rasa puas sebelum tidak bernyawa lagi. Saya paling salut dengan orang yang ber-ada tetapi gaya hidup dan pembawaannya bersahaja. Saya masih ingat pernah membaca di situs ini, bagaimana ada seseorang yang ingin memberikan sedekah kepada seorang nenek yang berpakaian lusuh, padahal nenek tersebut ternyata adalah anak seorang kepala bagian perusahaan besar dan naik mobil mewah. Namun, saya kira, sebenarnya kita tidak perlu menunggu sampai tua untuk bisa bersikap bersahaja. Sekian tulisan saya. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Saya tidak menolak kalau diberi ![]() ![]() Wassalam. Terkait:
|
Sponsored Links | |
Space available |
Post Reply |
|