20th February 2011
|
 |
Member Aktif
|
|
Join Date: Nov 2010
Posts: 151
Rep Power: 0
|
|
Lakkang, Pulau dalam Kota
Quote:
Desa Lakkang, Keluarahan Lakkang, Makassar. ANTARA/Sahrul Manda Tikupadang
TEMPO Interaktif, Makassar --Siang masih terik. Panas seperti ini membuat kulit kian gelap karena terkena sinar matahari. Namun saya tetap memilih sepeda motor untuk berkendara ke Desa Lakkang melalui Tamalanrea dengan pertimbangan, saya bisa mengelilingi Desa Lakkang tanpa harus jalan kaki. Desa ini dijadikan daerah percontohan pariwisata oleh Dinas Kebudayaan Pariwisata Kota Makassar. Letaknya di tengah Sungai Tallo.
Ada tiga jalur dermaga yang bisa dipilih untuk menyeberangi sungai ke pulau kecil tersebut. Salah satu dermaga yang banyak dipilih oleh warga adalah Dermaga Kera-kera, yang berada di kampus Tamalanrea, tepatnya di lokasi teaching farm Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Hasanuddin. Sedangkan dermaga lain berada di lokasi tol lama, yakni di kawasan pergudangan industri Makassar.
"Satu dermaga lagi sebenarnya berupa tambak. Jadi, tidak langsung ke perkampungan. Kalau melalui jalur ini, kita harus jalan kaki melewati pematang tambak," kata Yusran, 30 tahun, penarik perahu di Dermaga Kera-kera.
Sekitar setengah jam saya menunggu giliran untuk diangkut. Biasanya, penarik perahu menunggu penumpang terkumpul sedikitnya lima orang untuk menyeberang ke Desa Lakkang. Perahu yang digunakan Yusran ditopang oleh dua perahu kecil, yang di atasnya diberi papan berukuran 4 x 3 meter. Perahu ini mampu memuat delapan sepeda motor dan 20 penumpang.
"Kalau penumpang tanpa sepeda motor, dikenakan biaya Rp 2.000. Kalau bawa sepeda motor, tambah Rp 1.000, Pak," kata Yusran. Ia lalu menjalankan perahu menelusuri sungai menuju Desa Lakkang. Perahu berjalan tenang di atas Sungai Tallo, sungai terbesar di Makassar. Desa Lakkang terlihat jelas dari dermaga. Sebab, pulau ini hanya dipisahkan oleh sungai dari Tamalanrea.
"Itu di depan, 10 meter sudah Lakkang, Pak. Hanya, kita harus jalan lagi melewati pematang tambak kalau hanya menyeberang dari dermaga," kata Yusran sambil menunjuk pematang tambak di depan dermaga yang ditutupi pohon nipah dan bakau.
Lakkang adalah delta atau bisa disebut pulau yang dikelilingi oleh sungai. Lebar sungainya hanya 10 meter di bagian depan Dermaga Kera-kera. Tapi, jika berada di pertengahan sungai menuju Dermaga Lakkang, lebar sungai bisa mencapai 50 meter dengan kedalaman empat hingga lima meter.
Menyusuri Desa Lakkang sepanjang sungai terasa teduh. Pohon bakau dan nipah menjadi santapan mata selama perjalanan. Saya pun membayangkan kota air, Venesia, Italia. Saya juga berpikir, andai di atas perahu ini tersedia alat untuk memancing, hasilnya bisa langsung diolah menjadi santapan ikan bakar, pasti akan lebih menarik banyak pengunjung.
Khayalan saya dijawab oleh Yusran, "Bisa itu, Pak. Bakar ikan sambil mancing. Ikan baronang, mujair, dan bandeng paling banyak di sini. Ada juga kepiting hitam yang besar." Tapi dalam perjalanan kali ini, mimpi itu belum terwujud karena saya tak membawa alat pancing.
Dua puluh menit kemudian, perahu merapat di Dermaga Lakkang. Saya menuju kantor Kelurahan Lakkang, setelah menurunkan motor dari perahu. Jarak antara kantor dan dermaga hanya 100 meter. Jalannya terbuat dari paving block selebar dua meter. Sisi kiri dan kanan jalan berjejer rumah panggung.
Informasi di kantor kelurahan menyebutkan, Desa Lakkang memiliki luas 165 hektare. Wilayah ini didominasi lahan tambak seluas 122 hektare, yang berada di pesisir sungai. Selain tambak, masyarakat Desa Lakkang menghasilkan padi dengan luas sawah sekitar 15 hektare, yang berada di pusat perkampungan.
"Masyarakat di sini dominan petambak. Sisanya itu mereka bertani. Tergantung musim. Kalau musim kering, mereka menambak, kalau musim hujan, mereka bertani," kata Ruslan Haji Lallo, 36 tahun, pegawai kelurahan setempat.
Dataran Tinggi yang Tak Terlupakan
Desa Lakkang, berdasarkan sejarah, dulunya bernama Bonto Mallangere. Dalam bahasa Makassar, Bonto Mallangere diartikan sebagai gunung tinggi dan memiliki pendengaran yang tajam. Menurut cerita warga setempat, pada zaman penjajahan, penduduk bisa mendengar kejadian yang ada di Makassar dengan naik ke puncak tebing.
"Kalau ada ledakan bom, suara, atau cahaya ledakan, bisa kita rasakan di sini," kata Ruslan Haji Lallo, 36 tahun, warga Desa Lakkang. "Pernah ada peneliti, dia bilang desa ini adalah daerah dengan permukaan paling tinggi di Makassar," katanya. Dia memastikan, desa ini tidak akan tergenang air. "Kalau desa sampai banjir, bagaimana dengan Makassar? Mungkin sudah tenggelam."
Haji Muhammad Yusuf, ketua RW yang juga tokoh masyarakat setempat, membenarkan informasi Ruslan. Menurut Yusuf, penduduk pertama di pulau ini mengungsi setelah kedatangan penjajah Jepang yang membangun bungker di sini.
"Tapi tidak lama. Mungkin tujuh bulan. Karena Hiroshima dibom, mereka keluar dari Lakkang," ujarnya. Ada tujuh bungker tua peninggalan Jepang di perkampungan ini. Tapi yang tampak hanya permukaannya saja. Sedangkan terowongan di bagian dalam sudah tertimbun oleh tanah.
Setelah Jepang pergi, gerombolan Kahar Muzakkar sempat menempati desa ini. "Warga juga diusir. Nah, gerombolan ini ditumpas oleh tentara dari Jawa. Warga yang terusir itu kembali lagi ke desa ini. Dari situlah nama Lakkang diambil," kata Yusuf. Lakkang artinya tidak bisa berpisah. "Entah kenapa warga tidak bisa melupakan desa ini," kata Haji Kaning Daeng Nompo, generasi keempat Desa Lakkang.
| ICHSAN AMIN
|
|
Maaf ya klo repost ato salkam, masih nubie nih 
nya dunk ndan 
