![]() |
Nasehat habib wahhabi untuk para habaib sufi dan syiah Sungguh merupakan suatu kemuliaan tatkala seseorang ternyata termasuk Ahlul Bait, tatkala seseorang merupakan cucu dan keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, menjadi keturunan orang yang paling mulia yang pernah ada di atas muka bumi.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan kita untuk memperhatikan para Ahlul Bait. Kita sebagai seorang ahlus sunnah, bahkan sebagai seorang muslim harus menghormati keturunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika keturunan Nabi tersebut adalah orang yang bertakwa. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : وأهلُ بَيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي، أُذكِّرُكم اللهَ في أهل بيتِي "Dan keluargaku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baiti (keluargaku), aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang keluargaku, aku mengingatkan kalian kepada Allah tentang ahlu baiti keluargaku" (HR Muslim no 2408) Yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bertakwa kepada Allah dalam memperhatikan hak-hak Ahlul Bait, dan memerintahkan kita untuk menghormati mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Ahlul Bait memiliki manzilah dalam Islam. Abu Bakar radhiallahu 'anhu pernah berkata kepada Ali bin Abi Thholib : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أحبُّ إليَّ أنْ أَصِلَ من قرابَتِي "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh kerabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih aku sukai untuk aku sambung (silaturahmi) daripada kerabatku sendiri" (HR Al-Bukhari no 3711) Sungguh begitu bahagianya tatkala saya bertemu dengan cucu-cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Kota Nabi shallallahu yang tegar dan menyerukan sunnah Nabi dan memerangi kesyirikan dan kebid'ahan. Begitu bahagianya saya tatkala sempat kuliah di Unversitas Islam Madinah program jenjang Strata 1 selama 4 tahun (tahun 2002 - 2006) di fakultas Hadits yang pada waktu itu dekan kuliah hadits adalah Doktor Husain Syariif al-'Abdali yang merupakan Ahlul Bait�yang menegakkan sunnah-sunnah leluhurnya dan memberantas bid'ah yang tidak pernah diserukan oleh leluhurnya. Alhamdulillah hingga saat artikel in ditulis beliau masih menjabat sebagai Dekan Fakultas Hadits Akan tetapi merupakan perkara yang sangat menyedihkan tatkala saya mendapati sebagian ahlul bait yang menjadi pendukung bid'ah�pendukung aqidah dan amalan yang tidak pernah diserukan oleh Leluhur mereka habibuna Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan betapa banyak orang syi'ah Rofidoh yang mengaku-ngaku sebagai cucu-cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan mereka mengkafirkan ahlul bait yang sangat dicintai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu istri beliau 'Aisyah radhiallahu 'anhaa. Demikian juga mereka mengkafirkan lelaki yang paling dicintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu Abu Bakar radhiallahu 'anhu. Wallahul Musta'aan� Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa'ah terhadap Ahlul Bait adalah sikap tengah antara sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan sikap kurang/keras kepada Ahlul Bait. Ahlus Sunnah wal Jama'ah mengenal keutamaan orang yang menggabungkan antara keutamaan takwa dan kemuliaan nasab. - Maka barangsiapa diantara Ahlul Bait yang merupakan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka Ahlus Sunnah mencintainya karena tiga perkara, karena sebagai sahabat Nabi, karena ketakwaannya dan karena kekerabatannya dengan Nabi. - Barangsiapa diantara Ahlul Bait yang bukan merupakan sahabat akan tetapi bertakwa maka Ahlus Sunnah mencintainya karena dua perkara, karena ketakwaannya dan karena kekerabatannya. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kemuliaan nasab mengikuti kemuliaan takwa dan iman. Adapun barangsiapa diantara Ahlul Bait yang tidak bertakwa maka kemuliaan nasabnya tidak akan memberi manfaat baginya. Allah telah berfirman : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu (QS Al-Hujuroot : 13). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ "Barang siapa yang amalannya memperlambatnya maka nasabnya tidak akan bisa mempercepatnya" (HR Muslim no 2699) Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits ini : مَعْنَاهُ مَنْ كَانَ عَمَلُهُ نَاقِصًا لَمْ يُلْحِقْهُ بِمَرْتَبَةِ أَصْحَابِ الأَعْمَالِ فَيَنْبَغِى أَنْ لاَ يَتَّكِلَ عَلَى شَرَفِ النَّسَبِ وَفَضِيْلَةِ الآبَاءِ وَيُقَصِّرُ فِى الْعَمَلِ "Makna hadits ini yaitu barang siapa yang amalnya kurang maka nasabnya tidak akan membuatnya sampai pada kedudukan orang-orang yang beramal, maka seyogyanya agar ia tidak bersandar kepada kemuliaan nasabnya dan keutamaan leluhurnya lalu kurang dalam beramal" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 17/22-23) Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata : فَمَنْ أَبْطَأَ بِهِ عَمَلُهُ أَنْ يَبْلُغَ بِهِ الْمَنَازِلَ الْعَالِيَةَ عِنْدَ اللهِ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ فَيُبَلِّغُهُ تِلْكَ الدَّرَجَاتِ، فَإِنَّ الله تَعَالَى رَتَّبَ الْجَزَاءَ عَلَى الأَعْمَالِ لاَ عَلَى الأَنْسَابِ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّوْرِ فَلاَ أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَتَسَاءَلُوْنَ "Barangsiapa yang amalnya lambat dalam mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah maka nasabnya tidak akan mempercepat dia untuk mencapai derajat yang tinggi tersebut. Karena Allah memberi ganjaran/balasan atas amalan dan bukan atas nasab sebagaimana firman Allah فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُونَ (١٠١) "Apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya" (QS Al-Mukminun : 101)" (Jaami al-'Uluum wa al-Hikam hal 652) Ibnu Rojab berkata selanjutnya: "Dan dalam Musnad (*Ahmad) dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengutus beliau ke negeri Yaman maka Nabi keluar bersama beliau sambil memberi wasiat kepada beliau, lalu Nabi berpaling dan menghadap ke kota Madinah dengan wajahnya dan berkata : إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِي الْمُتَّقُوْنَ، مَنْ كَانُوْا حَيْثُ كَانُوْا "Sesungguhnya orang-orang yang paling dekat dengan aku adalah orang-orang yang bertakwa, siapa saja mereka dan di mana saja mereka" (*HR Ahmad no 22052) Dan At-Thobroni mengeluarkan hadits ini dengan tambahan : إِنَّ أَهْلَ بَيْتِي هَؤُلاَءِ يَرَوْنَ أَنَّهُمْ أَوْلَى النَّاسِ بِي وَلَيْسَ كَذَلِكَ، إِنَّ أَوْلِيَائِي مِنْكُمُ الْمُتَّقُوْنَ مَنْ كَانُوْا وَحَيْثُ كَانُوْا "Sesungguhnya Ahlul Bait mereka memandang bahwasanya mereka adalah orang yang paling dekat denganku, dan perkaranya tidak demikian, sesungguhnya para wali-waliku dari kalian adalah orang-orang yang bertakwa, siapapun mereka dan di manapun mereka" (*HR At-Thobroni 20/120 dan Ibnu Hibbaan dalam shahihnya no 647. Al-Haitsaimy dalam Majma' Az-Zawaid (10/400) berkata : Isnadnya jayyid (baik), demikian juga Syu'aib Al-Arnauuth berkata : Isnadnya kuat) Dan semua ini didukung oleh sebuah hadits yang terdapat di Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim dari 'Amr bin Al-'Aash bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : إِنَّ آلَ أَبِي فُلاَنٍ لَيْسُوْا لِي بِأَوْلِيَاءِ وَإِنَّمَا وَلِيِّي اللهُ وَصَالِحُو الْمُؤْمِنِيْنَ "Sesungguhnya keluarga ayahku �yaitu si fulan- bukanlah para waliku, dan hanyalah para waliku adalah Allah, dan orang-orang mukmin yang sholih" (*HR Al-Bukhari no 5990 dan Muslim no 215) Rasulullah memberi isyarat bahwa walaa' kepada beliau tidak diperoleh dengan nasab meskipun dekat nasabnya, akan tetapi diperoleh dengan keimanan dan amalan sholeh. Maka barangsiapa yang imannya dan amalannya semakin sempurna maka walaa'nya semakin besar kepada Nabi, sama saja apakah ia memiliki nasab yang dekat dengan Nabi ataukah tidak. Dan dalam penjelasan ini seorang (penyair) berkata : لعمرُك ما الإنسانُ إلَّا بِدِيْنِهِ فَلاَ تَتْرُكِ التَّقْوَى اتِّكالاً عَلَى النَّسَبِ لَقَدْ رَفَعَ الإِسْلاَمُ سَلْمَانَ فَارِسٍ وَقَدْ وَضَعَ الشِّرْكُ النَّسِيبَ أبا لَهَبِ "Tidaklah seseorang (bernilai) kecuali dengan agamanya Maka janganlah engkau meninggalkan ketakwaan dan bersandar kepada nasab Sungguh Islam telah mengangkat Salman Al-Farisi (*yang bukan orang arab) Dan kesyirikan telah merendahkan orang yang bernasab tinggi si Abu Lahab". (Demikian perkataan ibnu Rojab, Jaami' al-'Uluum wa al-Hikam, hal 653-654, Syarah hadits ke 36) Al-Imam An-Nawawi mengomentari hadits di atas: ومعناه إِنما وليي من كان صالحا وإِن بَعُدَ نَسَبُه مِنِّي وليس وليي من كان غير صالح وان كان نسبه قريبا "Dan maknanya adalah : Yang menjadi Waliku hanyalah orang yang sholeh meskipun nasabnya jauh dariku, dan tidaklah termasuk waliku orang yang tidak sholih meskipun nasabnya dekat" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 3/87) Sungguh sangat menyedihkan ternyata di tanah air Indonesia ada sebagian Ahlul Bait yang menjadi pendukung bid'ah dan aqidah yang menyimpang. Sehingga sebagian masyarakat muslim Indonesia langsung tertarik dengan dakwah yang diserukannya. Bahkan sebagian masyarakat Indonesia menyangka bahwa apa saja yang dibawa dan didakwahkan olehnya itulah kebenaran. Padahal di sana masih banyak Ahlul Bait (para Habib) yang menyeru kepada sunnah Nabi dan memerangi bid'ah. Oleh karenanya pada artikel ini saya ingin menjelaskan kepada para pembaca bahwasanya para habib bukan hanya mereka-mereka yang menyeru pada acara bid'ah (habib-habib sufi) atau mereka-mereka yang menyeru kepada kekufuran (seperti habib-habib syi'ah rofidhoh) akan tetapi masih banyak habib-habib yang menyeru kepada tauhid dan sunnah serta memerangi kesyirikan dan bid'ah. lanjut ke bawah ya gan... </div> |
All times are GMT +7. The time now is 04:00 PM. |